PENDAHULUAN
Tasawuf atau sufisme sebagaimana halnya dengan mistisime diluar
agama islam mempunyai tujuan memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan
Tuhan. Sehingga disadari benar bahwa seseorang berada di hadirat Tuhan.
Sedangkan intasari dari mistisisme, termasuk di dalam sufise ialah kesadaran
akan adanya komunikasi dengan Tuhan dengan jalan mengasingkan diri dan
berkontemplasi.
Dalam dunia sufi berbagai macam aliran yang memiliki jalan yang
berbeda untuk dapat berada sedekat mungkin dengan Tuhan. Salah satu nya, adalah
Insan Kamil. Maka, disini penyusun akan menulis tentang Insan Kamil, menurut
Pandangan Ibnu Arabi dan Abdul Karim al Jilli.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Insan Kamil
Insan Kamil
artinya adalah manusia sempurna, berasal dari kata al-insan yang berarti
manusia dan al-kamil yang berarti sempurna. Konsepsi filosofid ini pertama kali
muncul dari gagasan tokoh sufi Ibnu Arabi. Oleh Abdul Karim bin Ibrahim al-Jili
(1365-1428), pengikutnya, gagasan ini dikembangkan menjadi bagian dari renungan
mistis yang bercorak tasawuf filosofis.[1] Secara
umum, istilah "insan kamil" sering dimaknai orang sebagai manusia sempurna.[2]
Insan kamil
ialah manusia yang sempurna dari segi wujud dan pengetahuannya. Kesempurnaan
dari segi wujudnya ialah karena dia merupakan manifestasi sempurna dari citra
Tuhan, yang pada dirinya tercermin nama-nama dan sifat Tuhan secara utuh.
Adapun kesempurnaan dari segi pengetahuannya ialah karena dia telah mencapai
tingkat kesadaran tertinggi, yakni menyadari kesatuan esensinya dengan Tuhan,
yang disebut makrifat.[3]
B.
Ibnu
Arabi
Nama lengkap Ibn Arabi adalah Muhammad bin Ali bin
Ahmad bin Abdullah Ath-Tha’I Al-Haitami dan ia biasa dipanggil dengan nama Abu
Bakar, Abu Muhammad dan Abu Abdullah namun gelarnya yang terkenal adalah Ibnu
Arabi. Ia lahir di Murcia, Andalusia Tenggara, Spanyol, tahun 560 H, dari
keluarga berpangkat, hartawan, dan ilmuwan. Dan wafat pada 638 H di Damaskus,
makamnya terletak di bawah gunung Qayisun di Syiria. Namanya biasa disebut
tanpa “Al” untuk membedakan dengan Abu bakar Ibn Al-Arabi, seorang qadhi dari
Sevilla yang wafat tahun 543 H. Di Sevilla (Spanyol), ia mempelajari Al-Qur’an,
hadits serta fiqih pada sejumlah murid seorang fakih Andalusia terkenal, yakni
Ibn Hazm Al-Zhahiri.
Setelah Ibnu Arabi melewati hidupnya di Murcia, ia
bersama orang tuanya pindah ke Sevilla di mana di kota ini ia tumbuh dan
berkembang dengan memasuki alam pendidikan sebagaimana lazimnya. Setelah
dirasakan cukup menuntut ilmu di kota ini, ia pindah ke Cordova melanjutkan
pelajaran yang lebih tinggi dan lebih luas. Ia mempelajari Ilmu Fiqh, Tafsir,
Hadits dan lain-lain dengan lancar dan berhasil karena kemampuan dan kecerdasan
yang dimilikinya serta dukungan dari orang tuanya yang dapat diandalkan.
Guru-gurunya cukup banyak, di antaranya Syekh Abu Madian. Pada usia yang
relatif muda, ia bertemu dengan dua wanita sufi terkemuka yaitu Yasmin
Mursyaiyah dan Fatimah Qurthubiyah. Pertemuannya dengan kedua sufi wanita itu
amat berpengaruh dalam dirinya dan secara tidak langsung memberi arah kepada
perjalanan hidupnya. Khususnya dengan Fatimah dari Cordova itu, seorang tua
dengan Ilmu yang luas dalam kerohanian, telah mengajari dan membimbing
kerohanian Ibnu Arabi selama tidak kurang dari dua tahun. Ibnu Arabi yang masih
muda telah memperoleh Ilmu dan berkecenderungan ke arah kerohanian.
Atas dorongan ayahnya, ia bertemu dengan filosof
Islam yang besar Ibnu Rusydi. Setelah ia berkali-kali bertemu dengan Ibnu
Rusydi dan setiap kali pertemuan itu menunjukkan perhatian dan keakraban yang
luar biasa dari masing-masing dan selalu terjadi tukar pendapat. Masa
berikutnya, Ibnu Arabi melanglang ke berbagai negeri Islam di Andalusia dan
Afrika Utara, untuk bertemu dengan para sufi dan filosof, belajar dan membutiri
hikmah-hikmah mereka. Di Tunisia ia bertemu dengan kitab Ibnu Qasyim yang
berjudul Khal’un Na’laini (kata-kata dalam ayat 12 surat Thaaha) dan
berkesempatan mempelajari dan mensyarahkannya. Ia juga berkesempatan
mengunjungi perguruan al-Mariyah di bawah pimpinan Ibnu Masarrah dan kemudian
dilanjutkan oleh Ibnu Arief. Dalam perenungan-perenungan di madrasah ini ia
memastikan untuk memasuki alam tasawuf.[4]
Ibnu Arabi (1165-1240), tanpa
diragukan, adalah pemikir paling penting dan berpengaruh dalam sejarah
pemikiran islam belakangan. Filsafat mistiknya, yang kemudian disebut kesatuan
wujud (wahdad al wujud), mendominasi seluruh wilayah budaya muslim
belakangan. Pengaruhnya begitu mendalam sehingga sungguh mustahil untuk
memahami sejarah pemikiran islam setelah abad ke-13 tanpa pemahaman yang baik
tentang pemikiran Ibnu Arabi. Khususnya di dunia sunni, dimana teologi rasional
(kalam) mengalami pengerasan secara bertahap dan filsafat hellenistik (falsafah)
menghilang karenanya sungguh tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa pemikiran
ibnu arabi menjadi satu-satunya teologi dan filsafat. Begitu juga syi’ah di
Iran, dimana filsafat dan teologi terus dikembangkan, pengaruh Ibnu Arabi sangatlah
mencolok pikirannya telah kuat menyatu dengan teologi syiah sejak Haidar Amuli
dan Ibnu Abi Jumhur, dan menjadi salah satu sumber utama tradisi filsafat syi’ah,
sebagaimana diwakili oleh mulah Shadra. Bahkan dalam bidang puisi yang sejak
dulu menjadi ungkapan yang paling disukai, tidak luput dari pengaruh Ibnu Arabi
yang diterima luas. Tidak saja penyair-penyair sufi mempuisikan filsafatnya,
tapi juga puisi-puisi para guru besar sufisme, ibnu faridh dan jalaluddin rumi,
diinterpretasikan oleh para komentator berdasarkan filsafat ibnu arabi.
Disamping menjadi filsafat penting
dan berpengaruh, Ibnu Arabi dianggap sebagai pemikir islam paling sulit yang
pernah dihasilkan islam.[5]
C.
Abdul
Karim al Jilli
Nama lengkapnya Abdul Karim Ibnu Ibrahim
ibnu Khalifah Ibnu Ahmad Ibnu Mahmud al-Jilli. Kapan ia lahir dan wafat, dimana
ia lahir dan wafat, para sejarawan dan pengamat sufi berbeda pendapat. Al-Jilli
memang sufi yang misterius, karena riwayat hidupnya juga sangat sulit dilacak.
Menurut pengamat sufi Ignaz Goldziher, Al-Jilli lahir di sebuah desa dekat
Bagdad yang bernama Al-Jil – yang kemudian dinisbatkan di belakang namanya.
Tetapi hal itu kemudian dibantah
oleh Nicholson, pengamat sufi yang lain, dalam sebuah bukunya ia menulis,
Al-Jilli bisa diartikan sebagai pertalian nasab, keturunan. Jil atau Jilan menunjukkan bahwa Al-Jilli
keturunan orang Jilan, sebuah daerah di wilayah Bagdad. Argumentasi ini sejalan
dengan beberapa buku mengenai karya Al-Jilli yang menyebutkan bahwa ia masih
keturunan Syekh Abdul Qadir Al Jilani, pendiri tarekat Qadiriyah.
Menurut Al-Jilli, garis nasabnya
tersambung dari cucu perempuan Syekh Abdul Qadir Jailani. Tapi beberapa ulama
dan pengamat sufi sepakat, Al-Jilli lahir pada bulan Muharram tahun 767 H di
Baghdad, Irak. Namun mengenai wafatnya para ulama dan pengamat sufi – seperti
At-Taftazani, AJ. Arberry maupun Umar Ridha Kahhalah – tidak sepakat.[6]
D.
Konsep
Insan Kamil Ibnu Arabi
Doktrin Insan Kamil terkait erat
dengan wahdat al wujud yang merupakan dasar metafisisnya, adalah
intisari ajaran Ibn Arabi. Yang pertama menggunakan ungkapan ini sebagai suatu
istilah teknis di duga adalah Ibnu Arabi.[7]
Ibn Arabi memandang insan kamil
sebagai wadah tajalli Tuhan yang paripurna. Pandangan demikian
didasarkan pada asumsi, bahwa segenap wujud hanya mempunyai satu realitas.
Realitas tunggal itu adalah wujud mutlak yang bebas dari segenap pemikiran,
hubungan, arah dan waktu. Ia adalah esensi murni, tidak bernama, tidak bersifat
dan tidak mempunyai relasi dengan sesuatu.
Kemudian, wujud mutlak itu ber tajalli
secara sempurna pada alam semesta yang serba ganda ini. Tajalli tersebut
terjadi bersamaan dengan penciptaan alam yang dilakukan oleh Tuhan dengan kodrat
Nya dari tidak ada menjadi ada.[8]
Ibnu Arabi membedakan antara manusia
sempurna pada tingkat universal dengan manusia sempurna pada tingkat
individual. Manusia sempurna pada tingkat universal adalah model asli yang
abadi dan permanen dari manusia sempurna individual, sedangkan manusia
sempurna pada tingkat partikular adalah perwujudan manusia sempurna, yaitu para
nabi dan para wali Allah.
Bagi Ibnu Arabi, Tuhan mempunyai
banyak cermin yang jumlah nya tidak terbatas. Tuhan adalah Esa, tapi bentuk
atau gambar Nya banyak, sebanyak cermin yang memantulkan bentuk atau gambar
ini. Cermin paling sempurna bagi Tuhan adalah manusia sempurna, karena ia
memantulkan semua nama dan sifat Tuhan, sedangkan makhluk-makhluk lain
memantulkan hanya sebagian nama dan sifat itu.[9]
Bagi para sufi, alam dunia adalah
cermin dan sifat-sifat Tuhan dan nama-nama indah-Nya (al-asmā’ al-husnā).
Masing-masing tingkat eksistensi yaitu mineral, tumbuhan dan hewan dipandang
mencerminkan sifat-sifat tertentu Tuhan. Di tingkat mineral, misalnya,
keindahan Tuhan tercermin sampai batas tertentu, dalam batu-batuan atau logam
mulia. Demikian juga dalam dunia tumbuh-tumbuhan ribuan jenis bunga-bunga
dengan aneka warnanya yang unik dan serasi tidak henti-hentinya mengilhami para
penyair dengan inspirasi yang sangat mengesankan. Begitu pula, pesona yang
diberikan oleh berbagai jenis hewan yang sangat beraneka bentuk dan posturnya.
Tetapi dari semua makhluk yang ada di alam dunia, tidak ada yang bisa
mencerminkan sifat-sifat Tuhan secara begitu lengkap kecuali manusia. Ini
karena manusia sebagai mikrokosmos (dunia kecil, manusia bagian kecil dari alam
semesta) yang terkandung di dalamnya seluruh unsur kosmik, bisa mencerminkan
seluruh sifat Ilahi dengan sempurna, ketika ia telah mencapai tingkat kesempurnaannya,
yang disebut insan kamil, manusia sempurna, atau manusia universal.[10]
Setiap makhluk adalah penampakan
diri Tuhan, dan Manusia Sempurna adalah penampakan diri Tuhan yang paling
sempurna. Manusia Sempurna menyerap semua nama dan sifat Tuhan secara sempurna
dan seimbang. Hal ini sesuai dengan pandangan Ibnu Arabi tentang tafadul,
keadaan bahwa sebagian makhluk melebihi sebagian lain. Intensitas penampakan
nama-nama Tuhan pada masing-masing makhluk bervariasi sesuai dengan kesiapan
masing-masing makhluk untuk menerima penampakan itu. Benda-benda mineral
mempunyai kesiapan yang paling kecil untuk menerima penampakan nama-nama Tuhan.
Manusia mempunyai kesiapan yang paling besar menerima penampakan nama-nama
Tuhan. Manusia dapat menerima penampakan semua nama Tuhan.
Sifat asli manusia, yang mempunyai
potensi untuk menerima penampakan semua nama Tuhan, didasarkan pada sebuah
hadis, “Sesungguhnya Allah telah menciptakan Adam menurut bentuk Nya”.
Adam disini adalah manusia dalam arti universal, atau hakikat manusia. Dalam
Bibel juga dikatakan bahwa, manusia diciptakan menurut bentuk Allah.[11]
Isi yang terdapat dalam Alkitab tersebut ialah: Berfirmanlah kepada Allah: ”Baiklah
kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas
ikan-ikan dilaut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh
bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi” (26), “Maka Allah
menciptakan manusia itu menurut gambar Nya, menurut gambar Allah diciptakanNya
dia; laki-laki dan perempuan diciptakan Nya mereka. (27).[12]
Kesempurnaan manusia terletak pada
apa yang disebut perpaduan. Perpaduan
berarti manusia memadukan atau mencakup dalam dirinya semua nama dan sifat
Tuhan dan semua realitas alam. Bentuk
dari manusia adalah kehadirat Ilahi yang identik dengan nama-nama Tuhan, yang
meliputi nama-nama zat, nama-nama sifat, dan nama-nama perbuatan.
Konsekuensi ontologis sifat
teomorfis manusia, yang menampakkan dirinya pada alam sebagai keseluruhannya,
adalah bahwa ia mencakup semua realitas alam. Manusia adalah totalitas alam,
atau alam kecil atau mikrokosmos. Maka alam, olehnya disebut alam besar
atau makrokosmos.
Perpaduan pada manusia berarti pula
perpaduan sifat-sifat yang berlawanan sesuai dengan nama-nama dan sifat-sifat
Tuhan yang berlawanan, yang termanifestasi. Manusia adalah baru dari aspek
bentuk badaniyah nya dan azali dari aspek ilahinya. Manusia adalah kata yang
memisahkan, artinya ia berdiri sebagai batas pemisah atau pembeda antara Tuhan
dan alam karena ia adalah bentuk Tuhan dan alam adalah cermin yang memantulkan
bentuk itu, sedangkan Tuhan adalah zat yang bentuknya adalah manusia. Ibn Arabi
sering menyebut, manusia perantara antara Tuhan dan alam. Selain itu, manusia adalah
perpaduan semua nama Tuhan, dan perpaduan antara sifat-sifat ketuhanan dan
sifat-sifat kemakhlukan.
Perpaduan, Ibnu Arabi beranggapan
bahwa salinan yang tampak dapat disamakan dengan alam secara keseluruhannya,
dan salinan yang tersembunyi dapat disamakan dengan kehadiran Ilahi. Semua nama
Tuhan yang saling berlawanan termanifestasi pada manusia. Perpaduan adalah
keutamaan manusia di atas makhluk lain yang memberinya kedudukan khilafah ,
kewakilan sebagai hak istimewa yang tidak diberikan Allah kepada makhluk lain.
Perpaduan adalah syarat mutlak untuk menduduki jabatan khilafah.
Alam adalah cermin bagi Tuhan. Tujuan
penciptaan alam adalah supaya Tuhan dikenal melalui alam, yang merupakan
cermin bagi Nya. Tujuan ini tidak akan tercapai tanpa manusia. Itulah sebabnya
mengapa manusia oleh Ibnu Arabi dipandang sebagai tujuan alam atau sebagai
tujuan terakhir bagi penciptaan alam atau sebagai tujuan akhir bagi penciptaan
alam, yaitu bahwa manusia adalah perantara bagi perealisasian tujuan ini karena
Allah menciptakan alam supaya melalui manusia, Dia dikenal. Maka, dapat
dikatakan bahwa manusia adalah sebab adanya alam. Alam tidak dapat memantulkan
cermin itu dengan jelas. Manusia lah yang menjadikan cermin itu bening, dan
memantulkan gambar Tuhan dengan jelas. Manusia adalah cermin dan gambar Tuhan
yang paling sempurna.
Manusia sempurna pada tingkat
partikular atau individual. Ibnu Arabi menunjukkan perbedaan antara
manusia sempurna dan manusia binatang. Tidak semua manusia dapat menjadi
manusia sempurna, hanya manusia-manusia pilihan khusus tertentu menjadi manusia
sempurna. Manusia-manusia itu adalah para nabi dan para wali Allah.
Tulis kutipan hal 133
Khilafah di alam diberikan oleh
Allah kepada manusia sempurna atas dasar kualifikasi yang dimilikinya gambar
sempurna. Manusia diberi Allah kedudukan sebagai khalifah karena ia adalah perpaduan
semua nama Tuhan dan semua realitas alam. Aspek lahir manusia adalah makhluk dan
aspek batinnya adalah Tuhan, selainnya adalah manusia binatang. Manusia
binatang memiliki sifat persis seperti sifat semua binatang. Ia berbeda dengan
binatang-binatang lain hanya dalam differentia yang merupakan sifatnya,
seperti perbedaan antara sebagian binatang dan sebagian lainnya dalam differentia.
Manusia pada pandangan Ibnu Arabi
bukanlah merupakan binatang berakal. Kemampuan berpikir bukanlah sifat utama
yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya karena keseluruhan alam
mempunyai kemampuan ini pula. Sifat manusia yang membedakan dengan makhluk
lainnya adalah bentuk ilahi.
Bagi Ibnu Arabi, manusia yang tidak
mencapai kesempurnaan sangatlah hina. Manusia ini bentuk lahirnya memang
manusia, tapi nilai dan derajatnya sama dengan mayat.
Kedua kategori tersebut (manusia
sempurna dengan manusia binatang) disamakan oleh Ibnu Arabi pada kesempatan
lain dengan pengklasisfikasian lain, yaitu hamba Tuan dengan hamba nalar.
Pertama: hamba Tuan, yang disebut juga dengan sufi gnostik. Yakni manusia yang jiwa
dan kalbunya suci. Manusia ini berada dalam keadaan formasi ukhrawi. Manusia
kategori ini mengetahui Allah dari segi tajalli Nya kepadanya, bukan
dari segi nalar rasionalnya. Ibnu Arabi memberikan penghargaan penuh pada
hamba Tuan ini. Bagi nya, tidak ada yang lebih berakal dari para rasul.
Kedua: hamba nalar, adalah manusia yang terikat kepada badan dan hawa nafsunya.
Manusia kategori ini berada dalam formalitas duniawi. Ia mengetahui Tuhan
dengan nalar pikiran, dengan akal. Ia adalah abdi akal, bukan abdi Rabb.
Yang dimaksud Ibnu Arabi dengan
hamba Tuan adalah manusia sempurna pada tingkat partikular, individual, atau
historis, yang terbatas pada orang-orang pilihan khusus tertentu; sedangkan
yang dimaksud dengan hamba nalar adalah manusia binatang yang diwakili oleh mayoritas
orang di muka bumi ini.
Selain hal tersebut,
pengklasifikasian tipikal lain yang tidak bersifat dikotomis diberikan pula
oleh Ibn Arabi. Dalam pengklasifikasian ini, manusia sebagai pencari
ma’rifah dibagi menjadi tiga kategori:
Pertama : Gnostik (arif),
ahli ma’ruf (ahl al ma’ruf), alim, orang yang sampai pada pembuktian kebenaran,
dan ahli penyingkapan intuitif. Manusia kategori ini mengetahui Tuhan
melalui penyingkapan intuitif, kesaksian, dan rasa. Ia bergerak bersama
Tuhan dimana pun Tuhan bergerak dan meyaksikan wajah Tuhan pada setiap obyek
pandangan.
Kedua: Ahli iman dan muslim mu’min. Manusia kategori ini mengetahui Tuhan melalui kesaksian
imajinasi berdasar pada apa yang dibawa oleh para nabi dan para rasul dari
Tuhan. Ia tidak berani kritis terhadap apa yang dianggapnya bertentangan
dengan akal. Ia memahami ayat al Qur’an sebagaimana adanya dan tidak berusaha
menakwilkan dan memalingkan ayat-ayat itu dari arti lahirnya. Ia tidak
menangkap hakikat maknanya yang lebih dalam.
Ketiga: Pemilik pikiran, pemilik nalar, dan tuan pikiran. Bentuk Tuhan yang ditangkapnya adalah bentuk yang dicocokkan
dengan kotak akalnya. Ia tidak menerima apa pun sebagai kebenaran jika
bertentangan dengan akal.
Proses yang harus dilalui oleh
seseorang agar ia menjadi manusia sempurna yaitu al takhallaq bi akhlaq
Allah, atau al takhallaq bi asma’ Allah. Takhalluq berarti
menafikan sifat-sifat kita sendiri dan menegaskan sifat-sifat Allah, yang ada
pada kita, meskipun dalam bentuk potensial. Sesuai dengan doktrin wahdatul wujud,
takhalluq berarti pula menafikan wujud kita dan menegaskan wujud Allah karena
kita dan segala sesuatu selain Allah tidak sempurna wujud kecuali Allah tidak
mempunyai wujud kecuali dalam arti kias. Takhalluq adalah menerima atau
mengambil nama-nama Allah yang telah ada pada diri kita tetapi masih terbentuk
potensial. Takahlluq adalah membuat nama-nama Tuhan yang berbentuk
potensial dalam diri kita menjadi aktual. Takhalluq dicontohkan dengan
sempurna oleh Nabi Muhammad saw. Takhalluq adalah jalan menuju Tuhan
yang melahirkan akhlak mulia. Bagi Ibnu Arabi, takhalluq adalah sinonim
dari tasawuf. Tasawuf ialah mengikatkan diri kepada kelakuan-kelakuan baik
menurut syara’ secara lahir dan batin, dan itu adalah akhlak mulia. Jalan
spiritual menuju Tuhan yang membuahkan akhlak mulia, harus berpedoman kepada
syara’. Ketaatan manusia pada syara’ adalah bukti ketaatan pada Allah. Dilihat
dari sudut hubungan antara hamba dan Tuhannya, kekuatan ini adalah ‘ubudiyah
(penghambaan). Ibnu Arabi mengatakan bahwa upaya manusia untuk mendekatkan diri
kepada Allah tidak akan berhasil kecuali melalui ‘Ubuduiyah.
Bagi Ibnu Arabi, kesempurnaan
manusia tergantung kepada ‘Ubudiyah, yang menurut ketaatan mutlak pada
Allah dengan mengikuti syari’at yang diturunkan Nya. Syari’at adalah timbangan
dan pemimpin bagi manusia untuk berakhlak dengan akhlak Allah. Disini, takhalluq
adalah ketaatan mutlak kepada Allah, ketaatan itu tidak lain dari ‘ubudiyah,
dan ‘ubudiyah tidak lain dari khilafah. Perpaduan sempurna antara ‘ubudiyah
dan khilafah terwujud pada Nabi Muhammad saw.
Perbedaan antara manusia sempurna
dengan manusia binatang adalah relatif karena seseorang, sekalipun dalam
aktualitas bukan manusia sempurna, tetapi mempunyai kemungkinan mencapai
tingkat kesempurnaan.
Manusia sempurna menyerap semua nama
dan sifat Tuhan secara sempura dan seimbang. Manusia sempurna adalah selalu
pasrah, tunduk, patuh, dan taat kepada Tuhan. Kesempurnaan dapat dicapai
manusia karena ia diciptakan Tuhan menurut gambar Nya yang ada dalam
potensialitas. Kesempurnaan akan terwujud dalam diri manusia pada tingkat
individual dan historis, apabila ia mampu mengubah gambar Tuhan dalam
potensialitas yang telah ada dalam dirinya menjadi gambar Tuhan dalam
aktualitas. Dengan alasan ini, doktrin Ibnu Arabi tidak dpat disebut “humanisme
antroposentrisme”, tetapi “humanisme teosentris”.[13]
E.
Konsep
Insan Kamil Abdul Karim al jilli
Abdul Karim al Jilli adalah pengikut
Ibnu Arabi. Dan beliau mengembangkan gagasan ini menjadi bagian dari renungan
mistis yang bercorak tasawuf filosofis. Al Jilli merujuk pada diri Nabi
Muhammad sebagia contoh manusia ideal.
Al Jilli mengidentifikasikan insan kamil dengan dua pengertian,
yaitu:
a.
Insan
Kamil dalam pengertian konsep pengetahuan mengenai manusia yang sempurna. Insan
Kamil terkait dengan pandangan mengenai sesuatu yang mutlak, yaitu Tuhan.
b.
Insan
Kamil terkait dengan jati diri yang mengidealkan kesatuan nama serta
sifat-sifat Tuhan ke dalam hakikat atau esensi dirinya.
Bagi al Jilli, manusia dapat mencapai jati diri yang sempurna
melalui latihan rohani dan mendakian mistik. Latihan rohani ini diawali dengan
manusia bermeditasi tentang nama dan sifat-sifat Tuhan, dan mulai mengambil
bagian dalam sifat-sifat Ilahi serta mendapatkan kekuasaan yang luar biasa.
Pada tingkat ketiga, ia melintasi daerah nama serta sifat Tuhan, masuk ke dalam
suasana hakikat mutlak, dan kemudian menjadi manusia Tuhan atau insan kamil.
Mata nya menjadi mata Tuhan, kata-katanya menjadi kata-kata Tuhan, dan hidup
Tuhan (nur muhammad).[14]
Konsepsi al Jilli mengenai insan kamil ini, tidak lebih hanya
sebagai penerus konsep Ibnu Arabi dan andilnya hanya terdapat dalam upaya
memperjelas dan mensisitematisasi konsep insan kamil Ibnu Arabi yang telah ada
dengan pengembangan yang lebih jauh mengenai konsep insan kamil Ibnu Arabi.[15]
Al-Jili membagi insan kamil atas tiga tingkatan, yaitu:
1.
Tingkat
pertama disebutnya sebagai tingkat permulaan (al-bidāyah). Pada tingkat ini
insan kamil mulai dapat merealisasikan asma dan sifat-sifat Ilahi pada dirinya.
2.
Tingkat
kedua adalah tingkat menengah (at-tawasut). Pada tingkat ini insan kamil
sebagai orbit kehalusan sifat kemanusiaan yang terkait dengan realitas kasih
Tuhan (al-haqāiq ar-rahmāniyah). Sementara itu, pengetahuan yang dimiliki oleh
insan kamil pada tingkat ini juga telah meningkat dari pengetahuan biasa,
karena sebagian dari hal-hal yang gaib telah dibukakan Tuhan kepadanya.
3.
Tingkat
ketiga ialah tingkat terakhir (al-khitām). Pada tingkat ini insan kamil telah
dapat merealisasikan citra Tuhan secara utuh. Di samping itu, ia pun telah
dapat mengetahui rincian dari rahasia penciptaan takdir. Dengan demikian pada
insan kamil sering terjadi hal-hal yang luar biasa.[16]
Al-Jilli merumuskan beberapa maqamat yang harus dilalui oleh
seorang sufi. Dalam istilahnya, maqamat itu disebut Al-martabah
(jenjang/tingkatan). Tingkatan tersebut adalah:
1) Islam.
Islam yang didasarkan pada lima pokok atau rukun dalam pemahaman kaum sufi yang
tidak hanya dilakukan secara ritual, tetapi harus dipahami dan dirasakan lebih
dalam.
2) Iman,
yakni membenarkan dengan sepenuh keyakinan akan rukun iman dan melaksanakan
dasar-dasar islam. Iman merupakan tangga pertama untuk mengungkap tabir alam
gaib dan alat yang membantu seorang untuk mencapai maqam yang lebih tinggi.
3)Ash-Shalah.
Pada maqam ini seorang sufi mencapai tingkatan ibadah yang terus-menerus kepada
Allah dengan perasaan khauf dan raja’.
4)Ihsan.
Maqam ini menunjukkan bahwa seorang sufi mencapai tingkat menyaksikan efek
(atsar) nama dan sifat Tuhan, sehingga dalam ibadahnya merasa seakan-akan
berada di hadapan-Nya.
5)Syahadah.
Pada maqam ini
,
seorang sufi telah mencapai iradah yang bercirikan mahabbah kepada tuhan tanpa
pamrih, mengingat-Nya terus-menerus.
6)Shiddiqiyah.
Istilah ini menggambarkan tingkat pencapaian hakikat ma’rifat yang diperoleh
secara bertahap dari ilmu al-yaqin, ‘ain al-yaqin, dan haq al-yaqin.
7)Qurbah.
Ini merupakan maqam yang memungkinkan seseorang sufi dapat menampakkan diri
Dalam sifat dan nama yang mendekati sifat dan nama Tuhan.[17]
F.
Tahapan-Tahapan
Menuju Insan Kamil
Dengan menerima gagasan Ibn Arabi
tentang kesamaan wujud, al Jilli mengemukakan bahwa penampakan dari Tuhan itu
melalui tiga tahap manifestasi beruntun yang disebutnya: “Kesatuan” (Ahadiyah).
“Ke Diaan” (Hiwiyah), dan “Keakuan” (Aniyah).
Pada tahap Ahadiyah, Tuhan dalam keabsolutannya baru keluar dari al ‘ama, kabut
kegelapan, tanpa nama dan sifat. Pada tahap Huwaiyah, zat dan sifat
Tuhan telah muncul, tetapi Ia masih dalam bentuk potensi. Pada tahap Aniyah,
Tuhan menampakkan diri dengan nama-nama Nya dan sifat-sifat Nya.
Manusia merupakan penampakkan dari
Tuhan yang paling sempurna diantara semua makhluk Nya, namun penampakkan diri
Tuhan tidak sama pada semua manusia. Penampakan diri Tuhan yang sempurna hanya
terdpat dalam Insan Kamil. Dan jalan untuk menuju ke tingkatan Insan Kamil,
menurut al Jilli adalah dengan pengamalan islam, Iman, Shalah, Ihsan, Syahadah,
Shiddiqiyah, dan Qurbah. Melalui beberapa tahapan yaitu: Mubtadi, Mutawasir,
dan Ma’rifat yang kemudian mencapai maqam khatam (penghabisan).
Pada tingkat Mubtadi, seseorang sufi
disinari oleh nama-nama Tuhan, pada sufi yang demikian Tuhan menampakkan diri
dalam nama-nama Nya seperti pengasih, penyayang, dan seterusnya. Pada tingkat
Mutawasir, seorang sufi disinari oleh sifat-sifat Tuhan seperti: Hayat, Ilmu,
Qudrat, dan lain-lain. Pada sufi yang demikian Tuhan menampakkan diri dengan
sifat-sifat Nya. Pada tingkat Ma’rifat, seorang sufi disinari oleh zat Tuhan.
Pada sufi yang demikian Tuhanmenampakkan diri dengan zat Nya. Pada tingkatan
ini seorang sufi mencapai maqam khatam, sehingga mencapai atau menjadi Insan
Kamil. Ia menjadi manusia sempurna, mempunyai sifat keutuhan dan dalam dirinya
terdapat bentuk Allah. Ia adalah bayangan Tuhan yang sempurna.[18]
PENUTUP
Insan Kamil adalah manusia sempurna. Pengagas pertama nya ialah
Ibnu Arabi. Nama lengkap Ibn Arabi adalah Muhammad bin Ali bin Ahmad bin
Abdullah Ath-Tha’I Al-Haitami . Ia merupakan
pemikir paling penting dan berpengaruh dalam sejarah pemikiran islam
belakangan. Namun, yang mempopulerkan doktrin ini adalah Abdul Karim al Jilli.
Al Jilli nama lengkapnya Abdul Karim Ibnu Ibrahim ibnu Khalifah Ibnu Ahmad Ibnu
Mahmud al-Jilli.
Ibn Arabi memandang insan kamil sebagai wadah tajalli Tuhan
yang paripurna. Ibnu Arabi membedakan antara manusia sempurna pada tingkat
universal dengan manusia sempurna pada tingkat individual. Insan Kamil adalah
manusia sempurna. Insan kamil ialah manusia yang sempurna dari segi wujud dan
pengetahuannya. Kesempurnaan dari segi wujudnya ialah karena dia merupakan
manifestasi sempurna dari citra Tuhan, yang pada dirinya tercermin nama-nama
dan sifat Tuhan secara utuh.
Bagi Ibnu Arabi, Tuhan mempunyai banyak cermin yang jumlah nya
tidak terbatas. Tuhan adalah Esa, tapi bentuk atau gambar Nya banyak. Cermin
paling sempurna bagi Tuhan adalah manusia sempurna, karena ia memantulkan semua
nama dan sifat Tuhan, sedangkan makhluk-makhluk lain memantulkan hanya sebagian
nama dan sifatNya. Ibn Arabi sering menyebut, manusia perantara antara Tuhan
dan alam. Selain itu, manusia adalah perpaduan semua nama Tuhan, dan perpaduan
antara sifat-sifat ketuhanan dan sifat-sifat kemakhlukan. Manusia diberi Allah
kedudukan sebagai khalifah karena ia adalah perpaduan semua nama Tuhan dan
semua realitas alam. Manusia binatang memiliki sifat persis seperti sifat semua
binatang. Ia berbeda dengan binatang-binatang lain dalam differentianya. Ibnu
Arabi mengatakan bahwa Kemampuan berpikir bukanlah sifat utama yang membedakan
manusia dengan makhluk lainnya karena keseluruhan alam mempunyai kemampuan ini
pula. Sifat manusia yang membedakan dengan makhluk lainnya adalah bentuk
ilahi. Manusia sempurna dengan manusia
binatang disamakan oleh Ibnu Arabi dengan pengklasisfikasian lain, yaitu hamba
Tuan dengan hamba nalar.
Bagi al Jilli, manusia sebagai pencari ma’rifah dibagi menjadi tiga
kategori: 1. Gnostik (arif), ahli ma’ruf (ahl al ma’ruf), alim. 2. Ahli iman
dan muslim mu’min. 3. Pemilik pikiran, pemilik nalar, dan tuan pikiran.
Konsepsi al Jilli mengenai insan kamil ini, tidak lebih hanya sebagai penerus
konsep Ibnu Arabi dan andilnya hanya terdapat dalam upaya memperjelas dan
mensisitematisasi konsep insan kamil Ibnu Arabi. Al-Jili membagi insan kamil
atas tiga tingkatan, yaitu:
1. Tingkat pertama
disebutnya sebagai tingkat permulaan (al-bidāyah).
2. Tingkat kedua
adalah tingkat menengah (at-tawasut).
3. Tingkat ketiga
ialah tingkat terakhir (al-khitām).
Tahapan-Tahapan
Menuju Insan Kamil
al Jilli mengemukakan bahwa penampakan dari Tuhan itu melalui tiga
tahap manifestasi: “Kesatuan” (Ahadiyah). “Ke Diaan” (Hiwiyah), dan “Keakuan”
(Aniyah).
Jalan menuju ke tingkatan Insan Kamil, menurut al Jilli adalah
dengan pengamalan islam, Iman, Shalah, Ihsan, Syahadah, Shiddiqiyah, dan
Qurbah.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Azhari
Noer, Kautsar, Ibnu al Arabi, Wahdat al Wujud Dalam Perdebatan,
(Jakarta: Penerbit Paramadina), 1995, cet. 1
2.
Kosasih,
Aceng, Konsep Insan Kamil Menurut al Jilli, pdf
3.
Takeshita,
Masataka, Insan Kami pandangan ibnu arabi, Cet.1.Surabaya: Risalah
Gusti, 2005, h.V-IV
4.
Bangkaganteng,
Tasawuf falsafi ibnu arabi dan al jilli, diakses pada 01 desember 2013,
dari
bangkaganteng.wordpress.com/2011/12/24/tasawuf-falsafi-ibn-arabi-dan-al-jilli/
5.
Fajar,
Muhammad, dkk, Insan Kamil, diakses pada 09 Desember 2013, dari http://alqatiry.blogspot.com/2013/11/insan-kamil.html
6.
Miftah,
Konsep Insan Kamil Ibnu Arabi, diakses pada 08 Desember 2013, dari
http://pengkajianpelitahati.wordpress.com/2011/04/25/konsep-insan-kamil-ibn-arabi/
7.
Ramadhan,
Ilham, Ibnu Arabi, diakses pada 09 Desember 2013, dari
http://www.academia.edu/3370450/ibnu_arabi
8.
Sufi
Zona, Mengenai Al Jilli, Sufi Misterius, Kaya Ilmu, dan Kreatif, diakses
pada 09 Desember 2013, dari
http://www.sufiz.com/jejak-sufi/mengenal-al-jilli-sufi-misterius-kaya-ilmu-dan-kreatif.html
9.
Tiffani
Nguyen J, Ajaran Tasawuf Falsafi al Jilli dan Ibnu Arabi, diakses pada
09 Desember 2013, dari
http://zakiirshad.wordpress.com/2009/07/04/ajaran-tasawuf-falsafi-oleh-al-jilli-dan-ibn-arabi/
10.
Ulysses
Ronquillo., Insan Kamil, diakses pada 01 desember 2013, dari
http://fixguy.wordpress.com/insankamil/
11.
Worksite
Pelita Hati, Konsep Insan Kamil Ibnu Arabi, diakses pada 09 Desember
2013, dari
http://pengkajianpelitahati.wordpress.com/2011/04/25/konsep-insan-kamil-ibn-arabi/
[1] Muhammad
Fajar, Muhammad Faldi, Insan Kamil, diakses pada 09 Desember 2013, dari http://alqatiry.blogspot.com/2013/11/insan-kamil.html
[2] Ilham
Ramadha, Ibnu Arabi, diakses pada 09 Desember 2013, dari http://www.academia.edu/3370450/ibnu_arabi
[3] Worksite
Pelita Hati, Konsep Insan Kamil Ibnu Arabi, diakses pada 09 Desember
2013, dari http://pengkajianpelitahati.wordpress.com/2011/04/25/konsep-insan-kamil-ibn-arabi/
[4] Bangkaganteng,
Tasawuf falsafi ibnu arabi dan al jilli, diakses pada 01 desember 2013,
dari
bangkaganteng.wordpress.com/2011/12/24/tasawuf-falsafi-ibn-arabi-dan-al-jilli/
[5] Masataka
Takeshita, Insan Kami pandangan ibnu arabi, Cet.1.Surabaya: Risalah
Gusti, 2005, h.V-IV
[6] Sufi
Zona, Mengenai Al Jilli, Sufi Misterius, Kaya Ilmu, dan Kreatif, diakses
pada 09 Desember 2013, dari http://www.sufiz.com/jejak-sufi/mengenal-al-jilli-sufi-misterius-kaya-ilmu-dan-kreatif.html
[7] Kautsar
Azhari Noer, Ibnu al Arabi, Wahdat al Wujud Dalam Perdebatan, (Jakarta:
Penerbit Paraadina), 1995, cet. 1, h. 126
[8] Worksite
Pelita Hati, Konsep Insan Kamil Ibnu Arabi, diakses pada 09 Desember
2013, dari http://pengkajianpelitahati.wordpress.com/2011/04/25/konsep-insan-kamil-ibn-arabi/
[9] Kautsar
Azhari Noer, Ibnu al Arabi, Wahdat al Wujud Dalam Perdebatan, (Jakarta:
Penerbit Paraadina), 1995, cet. 1, h. 126
[10]
Worksite Pelita Hati, Konsep Insan Kamil Ibnu Arabi, diakses pada 09
Desember 2013, dari http://pengkajianpelitahati.wordpress.com/2011/04/25/konsep-insan-kamil-ibn-arabi/
[11] Kautsar
Azhari Noer, Ibnu al Arabi, Wahdat al Wujud Dalam Perdebatan, h.
[12]
Alkitab, Lembaga Alkitab Indonesia, Kejadian (1:26-27)
[13] Kautsar
Azhari Noer, Ibnu al Arabi, Wahdat al Wujud Dalam Perdebatan, h. 126-143
[14] Ulysses
Ronquillo., Insan Kamil, diakses pada 01 desember 2013, dari
http://fixguy.wordpress.com/insankamil/
[15] Bangkaganteng,
Tasawuf falsafi ibnu arabi dan al jilli, diakses pada 01 desember 2013,
dari bangkaganteng.wordpress.com/2011/12/24/tasawuf-falsafi-ibn-arabi-dan-al-jilli/
[16] Miftah,
Konsep Insan Kamil Ibnu Arabi, diakses pada 08 Desember 2013, dari http://pengkajianpelitahati.wordpress.com/2011/04/25/konsep-insan-kamil-ibn-arabi/
[17] Tiffani
Nguyen J, Ajaran Tasawuf Falsafi al Jilli dan Ibnu Arabi, diakses pada
09 Desember 2013, dari http://zakiirshad.wordpress.com/2009/07/04/ajaran-tasawuf-falsafi-oleh-al-jilli-dan-ibn-arabi/
[18] Aceng
Kosasih, Konsep Insan Kamil Menurut al Jilli, pdf
0 komentar:
Posting Komentar