Rabu, 01 Januari 2014

Filsafat Kenabian



PENDAHULUAN
Setiap agama langit, secara primer atau secara esensial, tentu mendasarkan ajaran-ajarannya pada wahyu dan ilham. Dari wahyu dan ilhamlah agama samawi lahir, dan karena kemukjizatan wahyu dan ilhamlah ia menang, bahkan berdasarkan ajaran-ajaran wahyu dan ilhamlah segala kaidah dan sendinya berdiri tegak. Seorang Nabi tidak lain hanyalah manusia biasa yang diberi kekuatan untuk dapat berhubungan dengan Tuhan dan mengekspresikan kehendak-Nya. Agama Islam seperti halnya dengan agama-agama semit lainnya, mengambil ajaran-ajarannya dari langit dan sumber-sumbernya yang utama adalah al-Kitab sebagai wahyu yang lansung dan as-Sunnah sebagai wahyu yang tidak langsung. Oleh karena itu, barang siapa yang mengingkari wahyu berarti ia menolak Islam secara keseluruhannya, atau sekurang-kurangnya merobohkan sendi-sendi yang utama dan fundamental. Bahkan tindakan itu merupakan pelanggaran terkutuk.
Kita akan melihat bagaimana filsafat kenabian memikul tugas mengemukakan dan menyelesaikan masalah yang muncul dari peran Muhammad Saw., sebagai Nabi dan rasul. Untuk itu, penulis berusaha membahasnya sekuat tenaga guna mencari pengetahuan tentang kenabian.
PEMBAHASAN
A.    Signifikasi  Nabi dan Kenabian
Dalam pengertian agama samawi, nabi adalah manusia yang memperoleh wahyu dari Tuhan tentang agama dan misinya. Lebih khusus lagi terdapat istilah rasul yang dalam agama Islam dibedakan bahwa rasul memiliki kewajiban untuk menyampaikan ajaran yang diterima dari Tuhan.[1]
Ibnu Arbai dalam membedakan antara nabi dengan wali, memberikan pengertian yang mengakar tentang istilah ini adalah: nb’ diartikan dengan mengabarkan. Sedangkan nbw diartikan dengan mengangkat. Berkenaan dengan nb’, bentuk fa’il dapat memiliki makna aktif (fa’il) dan pasif (maf’ul), yaitu istilah nabi yaitu seseorang yang diberi kabar oleh Tuhan, dan seseorang yang pada gilirannya memberi kabar kepada umat. Berkaitan dengan akar yang kedua, ia memiliki arti pasif, yaitu istilah nabi berarti seseorang yang diangkat oleh Tuhan. Makna ini juga berlaku untuk para Ulama, karen adikatakan dalam al Qur’an, “ Tuhan mengangkat mereka ang beriman diantaramu dan mereka yang memiliki pengetahuan
 (QS. 58: 11).
Bentuk aktif yaitu, “seseorang yang memberi berita kepada umat” adalah lebih tepat pada Rasul (mursal) daripada nabi yang bukan rasul dan wali yang menjadi pewarisnya (al wali al warits), sementara makna pasif kedua akar itu lebih tepat bagi wali dan nabi bagi wali dan nabi yang bukan rasul. Namun, terdapat perbedaan antara keduanya: Tuhan memberi kabar Nabi melaui perantara malaikat, sementara wali lewat ilham secara langsung. Selanjutnya, Ibnu Arabi mengacu cerita Khidr dan Musa, dengan mengutip kata-kata Khidir dalam al ur’an, “ Engkau tidak akan memiliki kesabaran denganku. Bagaimana engkau dapat menunjukkan tentang sesuatu yang diluar pengalamanmu?” (Qs. 16:88). Kata-kata Khidir kepada Musa ini jelas menunjukkan bahwa maqam para nabi dan para wali adalah berbeda. Namun, dalam hal ini, Ibnu Arabi tiba-toba menghentikan penjelasan, dengan mengetakan bahwa disini terxdapat rahasia yang akan menggoncangkan ‘Arasy, jika dibuka secara paksa.[2]
At Tirmidzi memiliki perbedaan teori tentang kewalian dengan Ibnu Arabi. Namun ini bukan hanya teori wali saja, namun juga menyangkut dengan teori kenabian nya. Maka menurut Ibnu Arabi, kenabian dibagi menjadi khusus, legislatif dan umum, absolut, dan kenabian umum juga diberikan kepada para wali, sementara kenabian khusu hanya diterapkan pada para rasul. Menurut Ibnu Arabi, dalam diri Nabi, kewaliannyaada;lah lebih tinggi dari kenabian dan kerasulannya.[3]
Seperti Ibnu Arabi, begitu At Tirimidzi juga menyatakan pandangannya tetang Kenabian. Menurut at Tirmidzi kenabian umum dapat diraih, sementara kenabian dengan wewenang legislasi tidak dapat diraih dengan amalan-amalan tambahan disertai tobat secara sungguh-sungguh. Hanya melalui kasih sayang Tuhan sebagai Karunia yang dengannya para sufi dapat mencapai maqam kedekatan, sebagaimana kedekatan, sebagiamanadiungkapkan dalam hadis qurb an nawafil. Manusia dapat menerima berbagai macam pengetahuan Tuhan dengan kemampuan dan kesiapan mereka.[4]
B.     Filsafat Kenabian
Pada masa al Farabi dan Ibnu Sina,teori kenabian merupakan fenomena baru yang khas islami karena tidak ditemukan teori-teori kenabian ini. Oleh karena itu teori yang dihasilkan oleh para filosof muslim merupakan wujud nyata dari tanggung jawab moral mereka untuk menjelaskan secara rasional dogma-dogma ajaran islam yang mereka anut.
Filosof muslim telah memberikan sumbangan yang penting, yaitu tentang penemuannya pancaindera batin yang ditambahkan pancaindera lahir yang terkenal. Salah satu indera batin yang relevan dengan teori kenabian ini adalah imajinasi. Imanjinasi yang disebut Ibnu Sina sebagai imajinasi kompositif, adalah daya mental yang dapat menggabung-gabungkan bentuk fisik yang telah dicerap oleh indera lahiriah kita ke dalam bentuk-bentuk yang unik, yang tidak ditemukannya di alam fisik.
Selain imajinasi, teori yang dapat menopang filsafat kenabian adalah teori metafisika emanasi, khusus nya yang berkenaan dengan ittishal yang membicarakan kemungkinan bagi akal manusia untuk mengadakan kontak dengan akal aktif, yaitu akal ke sepuluh (Malaikat Jibril). Melalui doktrin Ittishal (kontak dengan akal aktif), para filosof menunjukkan bahwa kontak dengan agen spiritual merupakan inti dari nubuwah.
Menurut al Farabi, Kenabian merupakan efek alamiah yang dimiliki emanasi cahaya akal aktif atas kecakapan imajinasi reseptis. Dia membagi Nabi ke dalam dua level. Dalam kenabian berlevel rendah, emanais akal aktif bergerak melalui kecakapan rasional, lalu memasuki kecakapan imajinatif dari seseorang yang belum secara penuh mengembangkan akalnya. Pada levelini, Kenabian bisa menghasilkan pengetahuan tentang peristiwa-peristiwa individual yangberada di luar jangkauan indera, apakah peristiwa saat ini yang terjadi di tempat yang jauh, atau peristiwa masa depan, dan bisa memberikan pemerian figuratif dari kebenaran teoretis. Dalam kenabian yang lebih tinggi (Wahyu), emanasi dari akal aktif bergerak melaui akal manusia yang telah dikembangkan secara penuh, dan karena itu ia telah mengadakan kontak dengan akal aktif.
Kenabian dalam pelbagai manifestasinya merupakan hasilinteraksi antara akal dengan kemampuan meniru dari daya imajinasi. Pengetahuan kenabian unik, karena ahwa baik nabi maupun filosof dapat meraih pengetahuan dari sumber yang sama yaitu akal aktif, atau malaikat Jibril. Apa yang membuat unik, adalah kenabian sejati merupakan simbolisasi dari kebenaran yang sama yang diketahi secara demonstratif dan intelektual dalam filsafat.
Para Nabi memiliki daya imajinasi yang sensitif, disamping intelektual yang memungkinkan imajinasi mereka menerima arus atau emanasi entitas-entitas abstrak dari akal aktif, sebuah emanais yang hanya bisa dicadangkan untuk daya intelektual. Namun, karena imajinasi sesuai dengan tabiat yang tidak bisa menerima ma’qulat yang abstrak, nabi memanfaatkan kemampuan meniru untuk merepresentasikan ide keagungan ke dalam bentuk simbol yang konkret. Dengan cara itu, apa yang biasanya diperoleh hanya oleh sebagian kecil manusia terpilih (filosof) yang telah mencapai akal mustafad, dapat dikomunikasikan oleh nabi melalui samaran cinta indriawi kepada publik non filosofis yang lebih luas.
Filsafat Kenabian Ibnu Sina lebih halus dan ortodok.[5]  Pentingnya gejala kenabian dan wahyu ilahi merupakan sesuatu yang oleh Ibnu Sina telah diusahakan untuk dibangun dalam empat tingkatan: intelektual, “imajinatif”, keajaiban, dan sosio politis. Totalitas keempat tingkatan ini memberi kita petunjuk jelas tentang motivasi, watak dan arah pemikiran keagamaan.Akal manusia terdiri empat macam yaitu akal materil, akal intelektual, akal aktuil, dan akal mustafad. Dari keempat akal tersebut tingkatan akal yang terendah adalah akal materiil. Ada kalanya Tuhan menganugerahkan kepada manusia akal materiil yang besar lagi kuat, untuk hal ini, Ibnu Sina diberi nama al-hads yaitu intuisi.
Menurut filsafat kenabian Ibnu Sina, daya pada akal materiil begitu besar, sehingga tanpa melalui latihan dengan mudah berhubungan dengan akal aktif dan menerima cahaya atau wahyu dari Tuhan. Akal serupa ini mempunyai daya suci. Inilah bentuk akal tertinggi yang dapat diperoleh manusia dan terdapat hanya pada nabi-nabi. Jadi wahyu dalam pengertian teknis inilah kemudian mendorong manusia untuk beramal dan menjadi orang baik, tidak hanya murni sebagai wawasan intelektual dan ilham belaka. Maka tak ada agama yang hanya berdasarkan akal murni. Namun demikian, wahyu teknis ini, dalam rangka mencapai kualitas potensi yang diperlukan, juga tak pelak lagi menderita karena dalam kenyataannya wahyu tersebut tidak memberikan kebenaran yang sebenarnya, tetapi kebenaran dalam selubung simbol-simbol.[6]
Ibnu Sina mendefinisikan jiwa sebagaimana Aristoteles mendefinisikannya pada waktu sebelumnya. Menurut Ibnu Sina, jiwa adalah kesempurnaan awal, karena dengannya spesies (jins) menjadi sempurna sehingga menjadi manusia nyata. Pengertian kesempurnaan menurut Ibnu Sina adalah sesuatu yang dengan keberadaannya tabiat jenis menjadi manusia.
Ibnu Sina membagi daya jiwa menjadi tiga bagian, yaitu :
1.      Jiwa Tumbuh-tumbuhan
Menurut Ibnu Sina, jiwa tumbuh-tumbuhan memiliki tiga daya, yaitu :
a.       Daya nutrisi, yaitu daya yang mengubah makanan menjadi bentuk tubuh, dimana daya itu ada di dalamnya.
b.      Daya pembuluh, yaitu daya penambah kesesuaian pada seluruh bagian tubuh yang diubah karena makanan, baik dari sisi panjang, lebar, maupun volume.
c.       Daya generativ, yaitu daya yang mengambil dari suatu bagian tubuh yang secara potensial sama.
2.      Jiwa Hewan
Ibnu Sina berpendapat bahwa jiwa hewan memiliki kekuatan, yaitu :
1.      Daya penggerak, yang terdiri dari dua bagian, yaitu penggerak sebagai pemici dan penggerak sebagai pelaku. Penggerak sebagai pemicu adalah daya hasrat. Daya penggerak sebagai pemicu ini terbagi menjadi dua sub-bagian, yaitu daya syahwat dan daya daya emosi.    
Daya penggerak sebagai pelaku adalah daya yang muncul di dalam urat dan syaraf untuk melakukan gerakan yang sesuai dengan tujuan untuk mewujudkan keinginan.
2.      Daya persepsi, terbagi menjadi dua bagian, yaitu daya yang mempersepsi dari luar (panca indera eksternal) dan daya yang mempersepsi dari dalam (indera batin, semisal indera kolektif, daya konsepsi, daya fantasi, waham, dan memori).
3.      Jiwa Rasional
Seperti yang dilakukan al-Farabi, Ibnu Sina membedakan dua daya di dalam jiwa rasional, yaitu :
1.      Daya akal praktis, cenderung untuk mendorong manusia memuaskan perbuatan yang pantas dilakukan atau ditinggalkan, dapat disebuat juga perilaku moral.
2.      Daya akal teoritis, adalah mempersepsi potret-potret universal yang  bebas dari materi. Ada beberapa tingkatan akal teoritis, yaitu : 1) Akal potensial (akal hayulani); 2) Akal bakat (habitual); 3) Akal aktual; 4) Akal perolehan.[7]
Ibnu Sina percaya bahwa kanabian terjadi akibat emanasi dari akal aktif kepada daya imajinasi, yang ia sebut Daya Imajinasi Kompositif (al Mutakhayyilah). Namun, pada tingkat yang lebih tinggi nabi memiliki sebuah daya suci atau bahkan disebut intuisi suci (al hads al qudsi), yaitu daya yang paling tinggi yang diperoleh manusia. Dengan daya ini, nabi nabi mengadakan kontak dengan akal aktif tanpa usaha keras dan didikan khusus terhadap daya rasionalnya. Ibnu Sina membagi kenabian menjadi dua. Kategori rendah (umum) berfokus pada imajinasi manusia yang berfokus menjadi dua: daya imajinatif rentetif (khayal) dan daya imajinatif kompositif (mutakhayyilah). Kecakapan kognitif memainkan peranan penting dalam semua upaya yang menyeluruh untuk memperoleh pengetahuan. Namun untuk waktu yang panjang, ketika sedang tidur atau terjaga, kecakapan imajinatif kompositif mengadakan kontak dengan wilayah supernal (malaku), yakni jiiwa, benda langit, akal non fisik, terutama akal aktif. Maka, kontak akal manusia dengan akal aktif menghasilkan emanasi oleh jiwa dari akal aktif, demikian juga kontak imajinasi kompositif dengan wilayah supernal juuga memberi jiwa sebuah emanasi. Jika peristiwa itu lama, jiwa akan mencapai sebah persepsi tentang benda-benda yang tersembunyi, baik secara pasti seperti adanya atau dipancarkan dalam citra figuratif. Hal tersebut merupakan pemikiran yang masuk akal, atau ramalan masa depan.
Biasanya, imajinasi kompositif mempunyai kendali yang bebas dalam keadaan terjaga hanya dalam kondisi yang tidak normal.. imajinasi kompositif orang ini sangat cocok untuk mengadakan kontak dengan wilayah supernal. Ketika melakukannya, orang tersebut mengalami kenabian yang khusus bagi kecakapan imajinatif kompositif.
Ibnu Sina mengatakan bahwa imajinasi Nabi yang menyimbolkan pengetahuan intelektual memungkinkan nabi melihat dalam jiwanya sendiri bentuk-bentuk psikis atau mendengarkan suara-suara gaib. Yang termasuk kategori kenabian adalah pengatahuan teoretis sejati yang dianugerahkan akal aktif kepada akal manusia tanpa ia sendiri harus menggunakan prosedur-prosedur ilmiah yang baku. Selain itu, nabi juga mempunyai daya mental yang luar biasa yang mana ia dapat menghasilkan peristiwa-peristiwa aneh yang dipandang sebagai mukjizat.
Ibnu Sina dan al Farabi mengatakan bahwa nabi harus tetao dipandang sebagai manusia sejati, dengan keistimewaan tertentu, tidak boleh dipandang sebagai manusia super atau spesies lain yang lebih tinggi dari manusia. [8]
PENUTUP
Kesimpulan
Filasfat kenabian adalah pemikiran atau pengetahuan yang membicarakan tentang hakikat dan kedudukan nabi. Perbedaan filosof dengan nabi adalah filosof adalah manusia biasa dia dapat berhubungan dengan akal kesepuluh dengan latihan dan pemikiran atau  usahanya sendiri, sedangkan nabi adalah manusia pilihan dapat berhubungan dengan akal kesepuluh dengan daya imajinasi. Metode nabi dan filosof menerima epistemologi adalah nabi menerima pengatahuan dengan daya imajinasi tanpa dengan akal, tapi filosof menerima pengetahuan dengan akal mustafat mustafad.
DAFTAR PUSTAKA
Kartanegara, Mulyadi, Pengantar Epistemologi Islam, (Jakarta: Mizan), 2003
Takeshita, Mashataka, Ibn Arabi’s Theory of the Perfect Man and Its Place in the History of Islamic Thought, (Surabaya: Risalah Gusti), 2005
Anis Syarifah, FILOSOF IBNU SINA (Kosmologi, Filsafat Jiwa, Filsafat Kenabian dan Filsafat Wujudnya), diakses pada 22 November 2013, dari syarifahanis.blogspot.com/2012/05/filosof-ibnu-sina-kosmologi-filsafat.html
Mushlihin al Hafizh , Falsafat Kenabian Ibnu Sina, diakses pada 21 november 2013, dari http://www.referensimakalah.com/2012/07/filsafat-kenabian-ibnu-sina.html
Wikipedia, Nabi, diakses pada 22 November 2013, dari http://id.wikipedia.org/wiki/Nabi





[1] Wikipedia, Nabi, diakses pada 22 November 2013, dari http://id.wikipedia.org/wiki/Nabi
[2] Mashataka Takeshita, Ibn Arabi’s Theory of the Perfect Man and Its Place in the History of Islamic Thought, (Surabaya: Risalah Gusti), 2005, h. 191-192
[3] Mashataka Takeshita, Ibn Arabi’s Theory of the Perfect Man and Its Place in the History of Islamic Thought, h. 198
[4] Mashataka Takeshita, Ibn Arabi’s Theory of the Perfect Man and Its Place in the History of Islamic Thought, h. 203
[5] Mulyadi Kartanegara, Pengantar Epistemologi Islam, (Jakarta: Mizan), 2003, h. 102
[6] Falsafat Kenabian Ibnu Sina, Mushlihin al Hafizh, diakses pada 21 november 2013, dari http://www.referensimakalah.com/2012/07/filsafat-kenabian-ibnu-sina.html
[7] Anis Syarifah, FILOSOF IBNU SINA (Kosmologi, Filsafat Jiwa, Filsafat Kenabian dan Filsafat Wujudnya), diakses pada 22 November 2013, dari syarifahanis.blogspot.com/2012/05/filosof-ibnu-sina-kosmologi-filsafat.html
[8] Mulyadi Kartanegara, Pengantar Epistemologi Islam, (Jakarta: Mizan), 2003, h. 102-110

0 komentar:

Posting Komentar