Rabu, 01 Januari 2014

Abul a'la al Maududi



ABUL A’LA AL-MAUDUDI
Biografi dan Pemikiran Abul A’la Al-Maududi
Dosen Pembimbing : Dr. Abdul Muthalib, MA
Makalah
Disusun untuk Memenuhi Syarat pada Matakuliah Pemikiran Modern dalam Islam
Oleh :
Enis Khaerunisa
(1111032100021)
Fadhilati Haqiqiyah
(1111032100028)
Fahmi Dzilfikri
(1111032100030)


UIN LOGO

JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA

2013

              I.          Pendahuluan
Anak Benua Asia yang dikenal dengan sebutan India yang berpenduduk mayoritas Hindu dan Budha pernah dikuasai sebelas dinasti Islam, yaitu dinasti Ghaznawiyah (997-1186M) sampai dinasti Mughal (1526-1605 M) selama lebih kurang delapan setengah abad. Sejarah Islam di India dimulai sejak pemerintahan Yamin al-Daulah Mahmud (998-1030 M) dari daulah Ghaznawiyah, Dinasti yang meletakkan sendi khilafah Islam yang kokoh adalah dinasti Ghariyah (1000-1215 M) yang memerintah satu negara kecil di pegunungan Afghanistan.[1]
Diantara kerajaan Islam yang tekenal dan terbesar di India adalah Kerajaan Mughal. Kerajaan Mughal adalah salah satu kerajaan adikuasa di dunia Islam yang menguasai anak benua India pada awal abad ke 17. Dua kerajaan lainnya yang juga adikuasa adalah kerajaan Turki Usmani yang berpusat di Istanbul dan kerajaan Safawi di Persia yang menguasai seluruh Persia. Ketiga kerajaan tersebut adalah adikuasa Islam dan dunia pada saat itu.[2]
Sebagai reaksi terhadap imperialisme dan kolonialisme Eropa muncul kesadaran akan kemunduran umat Islam di India yang bersamaan waktunya dengan Turki. Karena itu dapat dikatakan bahwa modernisme dalam Islam berawal dari keberadaan imperialisme dan kolonialisme Eropa. Dalam hal ini sebahagian umat Islam konservatif, tidak mau sejalan dengan Eropa, bahkan banyak yang menentang mereka melalui perjuangan dan gerakan, sementara dilain pihak kaum modernis berharap dapat menerima bahkan mengambil elemen-elemen peradaban Eropa.[3]
Faktor lain yang mendorong bangkitnya gerakan pembaruan di India selain reaksi dari penjajahan Inggris adalah munculnya keberagaman umat yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam yang murni yaitu al-Quran dan al-Sunnah dalam bentuk praktik kekeramatan sufisme, praktik mistik, bid’ah dan ritual masyarakat awam India. Diantara para pemikir Islam India dan Pakistan seperti Syekh Waliyullah, Sayyid Ahmad Khan, Sayyid Amir Ali, Yusuf Ali, Muhammad Iqbal, Fazhlur Rahman, al-Nadawi dan lain-lain, al-Maududi sajalah yang mencoba dengan sangat tekun untuk menyuguhkan Islam sebagai suatu sistem komprehensif bagi kehidupan manusia. Meskipun terkadang ada kritik keras yang dilontarkan oleh pemikir Islam sendiri kepada Maududi, tetapi tidaklah menggoyahkan semangat dan kemantapan tata-pikir al-Maududi yang begitu solid.[4]
Dalam tulisan ini, akan diuraikan tentang biografi, pemikiran dan perjuangan Abul A’la al-Maududi.
           II.          Biografi Abul A’la Al-Maududi
Abul A’la al-Maududi dilahirkan di Aurangabad (Deccan) wilayah Hyderabad India Selatan, pada tanggal 3 Rajab 1321 H bertepatan 25 September 1903 M di salah satu rumah sakit di New York Amerika. Ayahnya bernama Ahmad Hasan, yang lahir pada 1855 M. Ahmad Hasan merupakan seorang pengacara yang pernah belajar di Universitas Aligarh. Maududi adalah anak ketiga dari tiga bersaudara.[5]
Keluarga al-Maududi merupakan keluarga terpandang (keluarga tokoh Muslim India) dari Delhi. Keluarga ini keturunan wali sufi besar tarekat Chishti yang membantu menanamkan benih Islam di bumi India. Keluarga Maududi pernah mengabdi pada Moghul dan khususnya dekat dengan istana selama pemerintahan Bahadur Syah Zafar[6], penguasa terakhir dinasti itu. Keluarga Maududi kehilangan statusnya, setelah terjadi pemberontakan besar dan jatuhnya Moghul pada tahun 1858.
Warisan pengabdian keluarga Maududi kepada penguasa Muslim menyebabkan mereka dapat terus merasa dekat dengan kejayaan sejarah Muslim India, karena itu mereka tidak akur dengan pemerintahan Inggris. Keluarga Maududi akhirnya meninggalkan Delhi dan menetap di Deccan. Di sana, mereka mengabdi pada generasi demi generasi Nizam Hyderabad.[7]
        III.          Latar Belakang Pendidikan Abul A’la Al-Maududi
Pada awalnya, Maududi kecil memperoleh pendidikan dasar di lingkungan keluarga yaitu dalam asuhan orangtuanya sendiri, Sayid Ahmad Hasan. Keturunannya dari keluarga Qutb ad-Din Maudud yang silsilahnya sampai kepada Sayyidina Husein bin Ali r.a.. Keluarga ini terkenal dengan keteguhan dan spiritualnya yang tinggi. Dengan bekal ilmu agama dan pemikiran Islamiyah yang ditimba dari Syekh Muhyiddin Khan, ayah al-Maududi sangat memperhatikan pendidikan Islam untuk anak-anaknya. Ayahnya sendiri yang mengejarkan dan membina pendidikan agama serta memilihkan dan memanggil guru ke dalam rumahnya.[8]
Pendidikan yang ditempuhnya bersifat tradisional, dan secara autodidak mempelajari pemikiran-pemikiran Barat. Mengawali pendidikan pertama dalam rumahnya, Maududi belajar al-Qur’an, Hadis, Fiqih, Bahasa Urdun, Farsi, dan Bahasa Arab, serta telah menghafal kitab al-Muwattha karya Imam Malik di luar kepalanya. Mengetahui kecerdasan Maududi dan mengetahuinya memiliki daya hafal yang kuat, ayah Maududi ingin menjadikannya seorang yang ahli dalam bidang ilmu agama dan seorang aktifis dalam dakwah kepada Allah Swt.. Oleh karenanya, ayah Maududi lebih memfokuskan pada pendidikan Bahasa Arab dan Farsi, Fiqih, Hadis dan ilmu-ilmu agama lainnya. Sementara Sayyid Ahmad Hasan, ayah Maududi tidak ada keinginan untuk memberikan pendidikan umum dan Bahasa Inggris serta ilmu-ilmu yang berhubungan dengan kedua ilmu tersebut kepada anaknya.[9]
Maududi terus belajar di dalam rumah sampai umur sembilan tahun, pada masa ini Maududi juga mempelajari buku-buku sekolah dasar seperti sharaf, nahwu, sastra dan fiqih. Ayah Maududi menginginkan Maududi untuk tetap belajar di rumah dan sengaja untuk tidak menyekolahkan secepatnya ke sekolah-sekolah formal. Hal itu dilakukannya untuk menjaga akhlak dan bahasa Maududi, serta keinginannya untuk tetap menanamkan ilmu-ilmu agama kepadanya. Ayah Maududi sangat berkeinginan memberikan peningkatan kepada anaknya akan ilmu yang benar dan bahasa yang fasih. Dengan keseriusan dan perhatian besarnya pada bahasa Arab, maka tak heran pada usia kurang dari tiga belas tahun Maududi sudah dapat menterjemahkan buku Al-Islam wal Islah karya Syekh Abdul Aziz Jawisy dari bahasa Arab kepada bahasa Urdun.[10]
        IV.          Gerakan dan Perjuangan Abul A’la Al-Maududi
Gerakan dakwah Maududi berawal di dunia jurnalistik pada tahun 1918 M. Pada tahun 1919 di India berdiri gerakan Khilafah dengan tujuan mendukung kelangsungan Khilafah Islamiyah pada dinasti Usmaniyah yang berpusat di Istanbul, dan Maududi menggabungkan diri dengan gerakan tersebut, Bakatnya dalam karang mengarang maupun berpidato merupakan sumbangan yang amat besar bagi gerakan itu. Tahun 1920 M beliau membentuk sebuah front jurnalistik yang bertujuan memerdekakan umat Islam dan menyampaikan Islam. Karir jurnalistiknya sering berpindah-pindah dalam berbagai surat kabar. Ia pernah menjadi penulis, direktur dan pemimpin redaksi.[11]
Dia merupakan salah seorang propagandis terkemuka dari gerakan khilafah, dan kemudian dipercaya memimpin penerbitan organ Panitia Pusat Gerakan itu, bernama al-Jam’iyah dari tahun 1924 sampai dengan tahun 1928. Disamping itu dia juga merupakan penulis yang amat produktif.[12]
Mulai bekerja sebagai wartawan dalam surat kabar berbahasa Urdu untuk mencukupi kehidupannya. Tahun 1920, berprofesi sebagai editor surat khabar Taj, yang diterbitkan di bandar Jabalpore sekarang negeri Madhya Pradesh , India. Tahun 1921, Maulana Maududi pindah ke Delhi bekerja sebagai editor surat khabar Muslim (1921-1923), dan kemudian editor al-Jamayat (1925-1928), yang diterbitkan oleh Jamâiyat-i Ulama-i Hind,sebuah partai politik. Hasil kepimpinannya sebagai editor, al-Jamiah salah satu harian Islam yang paling berpengaruh dan populer di New Delhi (1920-an) dan minatnya dalam bidang politik tumbuh pada usia 20 tahun. Buah karya dalam masalah ini adalah al-Jihad fi al-Islam (Jihad dalam Islam) salah satu buku yang tajam dan cermat dalam menganalisis hukum Islam, perang dan damai.
Dalam meningkatkan intensitas perjuangan membangun kembali alam pikiran dan dunia Islam, ia menerbitkan sebuah majalah “Tarjuman Alquran” (1993) sebagai sarana penyalur gagasan-gagasannya. Dari sinilah al-Maududi menyoroti berbagai persoalan zaman modern sekaligus menyodorkan pemecahan-pemecahan Islam untuk menyelesaikannya. Selanjutnya, ia pindah ke Punjab setelah menerima tawaran Muhammad Iqbal untuk kerjasama dalam suatu karya riset dan juga untuk mengkodifikasikan hukum Islam.dan memimpin sebuah lembaga pengkajian Islam sejak tahun 1938.[13]
Pada tanggal 26 Agustus 1941 di Lahore, Maududi mendirikan partai Jama’at Islamiyah.[14] Partai ini merupakan perwujudan dari visi ideologinya. Pada saat yang sama di Mesir berdiri ikhwan al-Muslimin di bawah komando al-Syahid Imam Hasan al-Banna. Gerakan Islamiyah di Anak benua India Pakistan di bawah komando Sayyid Maududi memiliki peranan penting dan menjadi titik tolak dalam memperbaiki dan meluruskan pemikiran-pemikiran dan konsep Islam, serta menyuguhkan dan menjelaskan akidah Islam yang benar. Semua ini dibangun atas slogan “Umat terakhir ini tidak akan baik kecuali jika mereka melakukan perbaikan seperti apa yang telah dilakukan pendahulu mereka seblumnya.” Atas dasar ini Maududi menegaskan bahwa, mengadakan perbaikan pada umat ini tidak akan terealisasi kecuali dengan cara atau metode yang telah dilakukan oleh para Nabi dan sahabat.[15]
           V.          Pemikiran Abul A’la Al-Maududi
Abul A’la al-Maududi mendasarkan dakwahnya pada al-Qur’an dan as- Sunnah. Dalam dakwahnya, ia terpengaruh dengan Syekh Muhammad bin Abdul Wahab. Maududi juga sedikit banyak terpengaruh dengan filosof muslim Muhammad Iqbal yang telah melahirkan gagasan pemindahan Pakistan dari India. Maududi merupakan pengagum dari Hasan al-Banna.
Dalam buku “Jihad dalam Islam” dikemukakan kesamaan antara pemikiran Hasan al-Banna dengan pemikiran Maududi. Pemimpin Ikhwanul Muslimin ketiga Umar al-Tilmisani ketika mengadakan studi banding tentang Hasan al-Banna dan Imam Abul A’la al-Maududi dan antara metode keduanya dalam dakwah islamiah mengatakan bahwa keduanya adalah sosok yang sama, pengetahuan, metode, cara, dan sarana keduanya dalam dalam dakwah islamiah benar-benar semuanya bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah.[16]
    A.    Teori Politik Abul A’la Al-Maududi
Teori politik yang dikembangkan oleh al-Maududi adalah teori politik yang berdasarkan Qur’an dan Sunnah. Ia sangat mengecam sistem kerajaan, karena sistem kerajaan atau monarki memang tidak memilki tempat dalam Islam. Maududi mengingatkan bahwa seluruh kerajaan pasti memaksakan ditaatinya kekuasaan secara turun temurun dan karena itu pula kerajaan itu menjadi mulk adhudh atau “kerajaan yang menggigit” yakni menindas rakyat dan merampas hak-hak rakyat di bidang politik, ekonomi, hukum dan lain-lain.[17] Sementara pemerintahan yang dikehendaki oleh Maududi dalam Islam adalah Theo-Demokrasi.
Konsep theo-demokrasi merupakan konsep sistem politik Islam yang digagas oleh Abul al-A‟la al-Maududi. Konsep itu dituangkan dalam bukunya yang terkenal “Islamic Law and Constitution“ terbit di Pakistan 1975, beliau menguraikan secara jelas tentang teori politiknya dan dilengkapi dalam bukunya “al-Khilafah wa al-Mulk” yang terbit di Kuwait tahun 1978.
Pada dasarnya, istilah atau konsep theo-demokrasi adalah akomodasi dari ide theokrasi dengan ide demokrasi. Namun, ini tak berarti al-Maududi menerima secara mutlak konsep theokrasi.[18] Al-Maududi dalam bukunya Political Theory of Islam, dengan tegas menolak teori kedaulatan rakyat (inti demokrasi), berdasarkan dua alasan. Pertama, karena menurutnya kedaulatan tertinggi adalah di tangan Tuhan. Tuhan sajalah yang berhak menjadi pembuat hukum (law giver). Manusia tidak berhak membuat hukum. Kedua, praktik kedaulatan rakyat seringkali justru menjadi omong kosong, karena partisipasi politik rakyat dalam kenyataannya hanya dilakukan setiap empat atau lima tahun sekali saat Pemilu. Sedang kendali pemerintahan sehari-hari sesungguhnya berada di tangan segelintir penguasa, yang sekalipun mengatasnamakan rakyat, seringkali malah menindas rakyat demi kepentingan pribadi.[19]
Namun demikian, ada satu aspek demokrasi yang diterima Al-Maududi, yakni dalam arti, bahwa kekuasaan (Khilafah) ada di tangan setiap individu kaum mukminin. Khilafah tidak dikhususkan bagi kelompok atau kelas tertentu. Inilah, yang menurut Al-Maududi, yang membedakan sistem Khilafah dengan sistem kerajaan. Dari sinilah al-Maududi lalu menyimpulkan, dan ini pulalah yang mengarahkan khilafah Islamiyah ke arah demokrasi, meskipun terdapat perbedaan asasi antara demokrasi Islami dan demokrasi Barat.
Khalifah menurutnya hanyalah sebagai pemegang kekuasaan yang bersifat sementara (naib), manusia tidak boleh memiliki kekuasaan itu secara absolut, bahkan tidak berhak melakukan sesuatu tanpa petunjuk dan kehendak dari Allah (Sahib al-mulk). Oleh karena itu, tidak boleh seorang Muslim menyalagunakan kekuasaan itu demi kepentingan individu, karena diakhir nanti pasti akan dipertanggung jawabkan. Dan wajarlah kiranya jika kita menyatakan bahwa orang-orang yang diturunkan untuk menegakkan hukum Tuhan di bumi adalah sebagai wakil-wakil dari Penguasa Tertinggi.
Mengenai theokrasi, yang juga menjadi akar konsep theo-demokrasi, sebenarnya juga ditolak oleh Al-Maududi. Terutama theokrasi model Eropa pada abad Pertengahan di mana penguasa (raja) mendominasi kekuasaan dan membuat hukum sendiri atas nama Tuhan. Meskipun demikian, ada unsur theokrasi yang diambil Al-Maududi, yakni dalam pengertian kedaulatan tertinggi berada di tangan Allah. Dengan demikian, menurut Al-Maududi, rakyat mengakui kedaulatan tertingggi ada di tangan Allah, dan kemudian, dengan sukarela dan atas keinginan rakyat sendiri, menjadikan kekuasaannya dibatasi oleh batasan-batasan perundang-undangan Allah Swt.[20]
Dengan demikian secara esensial, konsep theo-demokrasi berarti bahwa Islam memberikan kekuasaan kepada rakyat, akan tetapi kekuasaan itu dibatasi oleh norma-norma yang datangnya dari Tuhan. Dengan kata lain, theo-demokrasi adalah sebuah kedaulatan rakyat yang terbatas di bawah pengawasan Tuhan. Atau seperti diistilahkan Al-Maududi, a limited popular sovereignty under suzerainty of God .
1.      Tentang Perundang-Undangan
Ketentuan membuat undang-undang harus kepada Allah semata. Dan haram hukumnya rang meninggalkan peraturan ini dan mengiktui undang-undang buatan manusia yang cenderung menuruti hawa nafsu.
Al Maududi menegaskan bahwa semua urusan umat islam harus dilaksanakan dengan musyawarah bersama (syura) dikalangan kaum muslimin.
Orang yang berhak ikut dalam badan permusyawaratan ini, di bagi menjadi dua:
a.       Orang yang mempunyai dedikasi dan loyalitas yang mencurahkan seluruh hidupnya untuk perjuangan islam, sehingga orang yang demikian ini di kenal oleh masyarakat secara luas.
b.      Orang yang terkemuka karena wawasan serta kemampuan mereka dalam memahami ajaran islam. Orang ini ialah hasil seleksi dari komunitas islam dan mendapat kepercayaan dari mereka.
Kedua orang ini disebut dengan Ahl al Halli wa al ‘Aqd, yang tanpa sarannya akan menyebabkan tidak dapat dilaksanakan keputusan yang berkaitan dengan masalah kenegaraan. Atau disebut dengan badan kesekutif.
Namun dewasa ini sulit sekali menemukan orang yang seperti di atas. Maka al Maududi menghalalkan pemilihan modern (pemilu) untuk lembaga permusyawaratan, dengan catatan tidak boleh dicemari oleh praktik kotor yang akan menjatuhkan nama baik demokrasi.
Al Maududi mengkritik demokrasi Barat, yang menurutnya mempunyai kelemahan, diantaranya:
1.      Kelompok penguasa bisa saja bertindak atas nama rakyat meskipun sebagian pikiran dan tenaga yang dikerahkannya bukan untuk rakyat, tapi untuk melestarikan kekuasaan yang ia pegang.
2.      Jika kekuasaan mutlak untuk membuat legislasi berada di tangan pembuat hukum harus sesuai dengan selera dan opini rakyat tidak mustahil suatu ketika tindakan-tindakan yang tidakmanusiawi menjadi legal sepenuhnya bila opini publik menuntutnya.
Bila sesudah legislasi dikehendaki oleh rakyat, meskipun bertentangan dengan jaran moraldan agama, maka legislasi itu harus berjalan. Sebaliknya, suatu legislasi lain betapa pun benar dan adil dapat dibatalkan jika rakyat menghendakinya.
Badan eksekutif dalam pemerintahan, dibentuk berdasarkan kehendak umum kaum muslimin yang juga berhak untuk menumbangkannya. Semua masalah pemerintahan dan masalah yang tidak di atur secara jelas dalam syariah islam diselesaikan antar kaum muslimin.
Tujuan dari negara Islam yang akan dicapai demi terjaminnya masyarakat islam sebagaimana yang diisyaratkan oleh al Qur’an, yaitu:
1.      Menegakkan terjadinya eksploitasiantar manusia, antar kelompok, atau kelas dalam masyarakat
2.      Memelihara kebebasab (ekonomi, politik, pendidikan, dan agama) para warga negara dan melindunginya dari invasi bangasa asing.
3.      Menegakkan sistem kaeadilan sosial yang seimbang yang dikehendaki oleh al Qur’an
4.      Memberantas kejahatan dan mendorong setiap kebajikan yang dengan tegas telah digariskan al Qur’an.
5.      Sebagai tempat tinggal yang teduh yang mengayomi setiap warga negara dengan jalan memberlakukan hukum tanpa diskriminasi.
2.      Sistem Kekuasaan Politik Maududi
Sistem politik Islam ala al-Maududi ini menganut sistem Theodemocracy, yaitu kekuasaan ditangan Tuhan. Meskipun kekuasaan ditangan Tuhan, al Maududi membagi organ negara kepada tiga, antara lain:
1.      Lembaga Legislatif
Ialah lembaga penengah dan pemberi fatwa atau sama dengan ahl al Halli waal Aqd. Semua bentuk legislasi harus mencerminkan semangat atau jiwa dari undang-undang dasra dari al Qur’an dan Hadis
Tugas-tugasnya ialah:
a.       Jika terdapat petunujk Allah dan Nabi Nya secara eksplisit, lembaga ini berkompeten menjabarkan dan memuat peraturan pelaksananya.
b.      Jika ada beberapa tafsiran mengenai petunjuk eksplisit lembaga ini yang memilih salah satu dan merumuskannya
c.       Jika tidak terdapat dalam al Qur’an dan Hadis lembaga ini mengambil salah satu dari ketentuan fiqh
d.      Jika tidak ada sumber sama sekali, lembaga ini yang berijtihad.
2.      Lembaga Eksekutif
Tujuannya ialah untuk menegakkan pedoman serta menyiapkan masyarakat agar meyakini dan menganut pedoman-pedoman serta menyiapkan masyarakat agar meyakini dan menganut pedoman untuk diterapkan di kesaeharian
3.      Lembaga Yudikatif
Ini sama dengan peradilan atau qadha’. Berfungi sebagai penegak hukum ilahi, menyelesaikan, dan memutuskan dengan adil perkara yang terjadi angtar warganya.[21]
B.     Pemikiran Maududi Tentang Wanita
Konsep Maududi tentang wanita terlihat dalam buku Purdah and the status of Woman in Islam. Yang menguraikan bahwa status wanita tergantung pada  perubahan zaman dan peradaban (pada masing-masing negara).
Serangkaian generalisasi mengenai sikap budaya terhadap perempuan di negara Yunani kuno, Roma, Eropa Kristen, dan Eropa modern. Dimana status wanita pada beberapa negara ini adalah tergantung dari tema yang sama, yaitu peradaban. Menurut Maududi, penyimpangan seksual dan korupsi yang terjadi itu merupakan penyebab dari penurunan peradaban masing-masing.
Pada abad ke- 20 di Eropa, Maududi mengiidentifikasikan tiga doktrin masyarakat barat, yaitu:
1.      Kesetaraan antara pria dan wanita.
Di barat, wanita diperbolehkan bekerja sama seperti laki-laki. Menurut Maududi melihat kesalahan terhadap kesetaraanya, karena wanita menjadi sangat terpengaruh dengan ekonomi, politik, dan pengejaran sosial. Sehingga ia mengabaikan kewajibannya untuk merawat keluarga.
2.      Kemandirian ekonomi pada wanita.
Wanita yang mandiri ekonominya, mereka tidak lagi merasa berkewajiban untuk memiliki suami atau keluarga. Kebanyakan wanita muda di beberapa negara barat memilih hidup tanpa menikah, dan bersetubuh dengan siapa saja.
3.      Pembauran bebas dari jenis kelamin.
Hal ini cenderung dilakukan karena pamer. Mereka berkumpul tanpa busana dan melakukan penyimpangan seksual. Pria lebih tinggi nafsu seksual, sementara wanita mengabaikan pengendalian moralnya unutk menarik lawan jenis.
Maududi mengatakan bahwa, tampaknya otoritas wanita di negara Islam itu akan sedikit dibatasi. Menurut Maududi, pria secara alami dapat menjadi jenderal, negarawan, dan administrator, dan seorang wanita merupakan seorang istri, ibu dan pembantu rumah tangga. Ini adalah pembagian kerja yang bersifat alamiah dan  telah tersuusun antara kedua jenis kelamin (pria dan wanita).
Konsep wanita menurut al Maududi bisa dikategorikan pada empat macam:   
1.      Laki-laki mempunyai tugas untuk mendidik perempuan tentang arti sebuah kehidupan.
2.      Perempuan itu untuk menjaga urusan rumah tangga dan membuat kehidupan rumah tangga yang harmonis, menyenangkan dan damai. Pendidikan merupakan alat untuk mencapai tugas tersebut.
3.      Wanita itu untuk mempertahankan sistem keluarga dan menyelamatkannya dari kebingungan. Laki-laki harus dapat menjadi pemimpin dalam keluarga.
4.      Harus ada perlindungan dalam sistem sosial untuk mencegah individu dari kebingungan dan mencampuradukkan jenis kegiatan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan.
Maududi menjelaskan bahwa prinsip-prinsip fundamental yang mendasari sistem sosial islam bisa membantu untuk mengendalikan dan mengatur dorongan sexual seseorang.
Selain itu, ketika wanita hendak pergi keluar rrumah atau bertemu dengan laki-laki tanpa disertai dengan mahram nya dia harus menutupi seluruh badannya. Untuk laki-laki yang harus ditutup yaitu antara pusar sampai pada lutut. Tapi untuk wanita adalah semuanya dari tubuhnya.
Pria muslim dan wanita harus menjaga pandangan mereka dari lawan jenisnya. Dan wanita harus menarik pakaian mereka ke atas dada, serta tidak menunjukkan perhiasan mereka kecuali kerabat dekat, perempuan lain, dan budak.
Pernyataan akhir dari Maududi di atas, adalah pesan spirit al Qur’an. Al Qur’an bukan hanya menyeru untuk berjilbab saja, tapi lebih dari itu al Qur’an menyuruh wanita untuk menutup seluruh tubuh termasuk muka dan tangan.[22]
C.    Maududi dan Jihad
Pandangan Maududi tentang revolusi pada dasarnya adalah Marxism dan kaitannya dengan jihad. Untuk memahami apa maksud maududi tentang revolusi islam, itu juga penting untuk dilihat dalam konteks jihad pada konsepnya. Dalam al Jihad fi al Islam, maududi memulai dengan tanggapan pada orang muslim yang mengkritik jihad dengan permintaan maaf. Ketika mereka berfikir tentang jihad, dalam menjawab kritikan-kritikan barat dengan merubah tujuan tentara berbaris dan berjenggot dan semangat menyala-nyala mengacukan pedang dan menyerang orang kafir dimanapun mereka bertemu dan mencegat mereka sampai batas pedang untuk menegakkan kalima ampunan yang menjawab dengan perkataan Islam tidak pernah mengenal peperangan.
Pada tahun 1939, Islam hampir tidak terlihat. Itu ideologi sekuler, nazisme, fasisime, marxisme-leninisme, yang tampaknya membuat kemajuan dengan mengorbankan agama dunia.
Pemahaman Maududi tentang jihad bukan berarti perang, namun merupakan suatu pembebasan. dalam konteks sejarah, muslim dibebaskan dari zaman jahiliyah. Jihad adalah perjuangan untuk perdamaian dan keadilan terhadap konsepsi Hobbes.  Tujuan dari jihad, Maududi berpendapat, tidak memaksa orang untuk mengkonversi ke islam, melainkan untuk membebaskan rakyat dari ketidakadilan dan perang saudara. Untuk mencapai hal ini, harus ada struktur politik, dan pandangan Maududi tentang jihad terhubung sangat erat dengan pandangannya tentang negara Islam yang akan dieksplorasi secara lebih rinci nanti. Revolusi Maududi menyerukan pemberantasan semua pemerintah dan pembentukan sebuah umat, di bawah kekuasaan para khalifah dan hukum-nya. Berarti bahwa orang non muslim tetap akan hidup di bawah aturan Islam. Ini merupakan konsekuensi dari keyakinan pada satu Tuhan dengan keberadaan mutlak, universal, nilai-nilai moral yang sempurna.
Maududi mendefinisikan jihad dalam pidato nya pada tahun 1939, yaitu: “Islam bukan nama agama semata, juga bukan nama muslim judul bangsa. Kebenaran adalah bahwa islam adalah ideologi revolusioner yang berusaha untuk mengubah tatanan sosial dari seluruh dunia dan membangunnya kembali sesuai dengan ajaran dan cita-cita nya sendiri. Jihad merujuk pada perjuangan revolusioner oleh bangsa / partai islam.”
Menurutnya, jihad itu cenderung kepada program pembebasan (revolusioner) daripada konflik antar negara.
Kontribusi besar Maududi pada topik ini (jihad) dalam buku-bukunya ialah konsep dari gagasan jahiliyah. Ia juga melihat paradigma jihad nabi Muhammad melawan jahiliyah yang paganis dan Maududi menempatkan ini pada peristiwa kontemporer.[23]
    D.    Al-Maududi dan Non-Muslim
Masalah yang sering dihadapi suatu negara adalah menentukan ideologi negara. Karena ideologi ini menjadi dasar pemikiran dan petunjuk ke arah mana negara mau di bawa.  Seorang Muslim hanya bisa menjalankan keimanannya dalam sebuah negara dan masyarakat Islam, sebagaimana friman Allah, barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah, ia termasuk kafir.
Seorang hakim yang telah menentukan suatu putusan pun masih dilingkupi keraguan. Maududi berpendapat bahwa ketika hakim harus memutuskan suatu perkara, maka setidaknya itu dilakukan oleh beberapa orang Muslim yang saleh. Hal ini, mengindikasikan bahwa non-Muslim tidak mungkin diharapkan untuk menempati posisi penting di negara ala Maududi. Maududi menolak politik pluralisme agama.
Namun, non-Muslim atau pun kafir dzimmi yang menunjukan loyalitas mereka kepada negara Islam, mereka termasuk penduduk dan mendapatkan hak-hak sebagai penduduk. Bagaimanapun Maududi membedakan hak antara kafir dzimmi dengan muslim, ia bukan seorang pengikut kesamaan HAM.
Maududi menjamin untuk melindungi kafir dzimmi dari kehidupan dan anggota badan, kepemilikan dan budaya, kepercayaan dan kehormatan mereka. Hanya Islam yang menegakan undang-undang dan aturan-aturan Islam dan memberikan hak yang sama kepada non-Muslim sebagai penduduk pada umumnya.  Tetapi, bentuk negara Islam yang ditawarkan Maududi berbeda dengan bentuk negara Islam yang ada dalam sejarah, yang mana membolehkan non-Muslim melaksanakan kegiatan mereka seperti membuat dan menjual alkohol, mengembang biakan dan menjual babi. Bagaimanapun, secara politik non-Muslim mempunyai posisi yang terbatas. Pria atau wanita non-Muslim tidak bisa menjadi kepala negara, akan tetapi boleh menjadi anggota musyawarah.
Negara Islam yang sempurna adalah sempurna berdasarkan definisi ; merupakan sebuah bentuk akhir dan dan tidak ada kelonggaran. Ekpresi-ekspresi dari bentuk dan kepercayaan lain harus lah ditahan dan dibatasi. Hal ini, terlihat jelas dalam tulisan Maududi bahwa non Muslim diberikan toleransi tetapi menyediakan untuk mereka jarak dan tidak diperbolehkan mengembangkan ideologi mereka di dalam komunitas.
Satu hal yang penting, Maududi berusaha keras memberikan hal yang paling fundamental yang ditawarkan oleh negara demokrasi modern di dalam sistem Islamnya, sebagaimana dogma tradisional dibatasi oleh politik liberal dan kebebasan berekspresi dan kepercayaan. Maududi menegaskan bahwa hak hidup, kebebasan dan kepemilikan semuanya milik rakyat (baik Muslim maupun non-Muslim), kebebasan bereskpresi, membuat perkumpulan dan sebagainya, semua dijamin oleh negara Islam dan tidak akan dijebloskan ke penjara tanpa melalui pengadilan.[24]
        VI.          Kesimpulan
Abul ‘Ala al-Maududi merupakan seorang pemikir muslim yang jenius, yang mempunyai ideologi. Maududi disebut juga sebagai seorang neo-fundamental. Terlihat dari buah pikirannya yang begitu cemerlang tentang konsep negara, negara Islam.
Negara yang ditawarakan oleh Maududi ini adalah negara yang berdasarkan Qur’an dan Sunnah. Oleh karenanya, kekuasaan mutlak berada di “tangan” Tuhan. Tujuan negara tidak lain adalah menerapkan hukum Tuhan, sehingga membawa kemaslahatan pada manusia. Dari konsep negara inilah melahirkan berbagai konsep yang menyangkut aturan kehidupan bernegara. Misalnya konsep purdah atau burdah untuk perempuan, jihad dan aturan-aturan lain menyangkut negara.

























Daftar Pustaka

Abbas, Nurlaelah. Pemikiran dan Perkembangan Politik di India : Abul A’la Al-Maududi dalam al-Risalah volume 10 nomber 1 Mei 2010
Iqbal, Muhammad, Nasutioan, Amien Husein, Pemikiran Politik Islam : Dari Masa Klasik hingga Modern. Jakarta: Kencana Pernada Media Group, 2010.
Jackson, Roy,  Mawlana Maududi and Political Islam Authority and the Islamic State, (London: Routledge), 2011.
Mohammad, Herry dkk. Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20. Jakarta : Gema Insani. Cet I. 2006
Morgan, K.W. Islam Jalan Mutlak, terj Abu Salamah, jilid II, dalam artikel “Kebudayaan Islam di Pakistan” oleh Nazhiruddin Siddiq. Jakarta : Pembangunan. 1963.
Muhammade, Said Mursi. Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah (terjemah Khoirul Amru Harahap). Jakarta: Pustaka Al Kausar. Cet III. 2007
Nasution, Harun. Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta : Bulan Bintang. Cet-XIV. 1432 H/ 2011 M.
Rais, Amin. Khilafah dan Kerajaan : Evaluasi Kritis Atas Sejarah Pemerintahan Islam. Bandung : Mizan. Cet VII. 1419 H/1998 M.
Syadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Edisi5. Jakarta : UI Press. 1993.
Syamsudin, M. Din. “Usaha Pencarian Konsep Negara dalam Sejarah Pemikiran Politik Islam” dalam Andito (Abu Zahra) (ed.). Politik Demi Tuhan: Nasionalisme Religius di Indonesia. Bandung: Pustaka Hidayah, Cet. ke-1, 1999.


[1] K.W. Morgan, Islam Jalan Mutlak, terj Abu Salamah, jilid II, dalam artikel “Kebudayaan Islam di Pakistan” oleh Nazhiruddin Siddiq, (Jakarta : Pembangunan, 1963), h. 56.
[2] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Cet-XIV (Jakarta : Bulan Bintang, 1432 H/ 2011 M), h. 7-10
[3] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan. h. 149
[4] Amin Rais, Khilafah dan Kerajaan : Evaluasi Kritis Atas Sejarah Pemerintahan Islam, cet VII, (Bandung : Mizan, 1419 H/1998 M), h. 6
[5]  Lihat Munawir Syadzali, Islam dan Tata Negara Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Edisi5, (Jakarta : UI Press, 1993), h. 158.
[6]  Nama asil Bahadur Syah adalah Mu’azam anak dari Aurangzeb (1707) lihat lebih lanjut dalam Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Cet-XIV (Jakarta : Bulan Bintang, 1432 H/ 2011 M), h. 10
[7] Herry Mohammad dkk, Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, Cet I (Jakarta : Gema Insani, 2006), h. 164
[8] Muhammad Iqbal, Nasutioan, Amien Husein, Pemikiran Politik Islam : Dari Masa Klasik hingga Modern (Jakarta: Kencana Pernada Media Group, 2010), h. 172
[9] Herry Mohammad dkk, Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, Cet I, h. 164
[10] Herry Mohammad dkk, Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, Cet I, h. 164
[11] Herry Mohammad dkk, Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, Cet I, h. 166
[12] Munawir Syadzali, Islam dan Tata Negara Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Edisi5, h. 159
[13] Said Nursi, Muhammade, Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, (Jakarta: Pustaka Al Kausar), 313
[14] Jamaat Islami (di Anak Benua India-Pakistan) adalah sebuah Jamaah Islam modern yang memfokuskan aktivitasnya untuk menegakkan syariat Islam dan menerapkannya dalam kehidupan nyata. Jamaah Islam tergolong gigih membendung berbagai bentuk aliran sekularistik yang berusaha keras mendominasi seluruh negeri.
[15] Herry Mohammad dkk, Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, Cet I, h. 165
[16] Mohammad, Herry, Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh abad 20, cet. l, h. 167-168
[17] Amien Rais, Kata Pengantar: Khilafah dan Kerajaan (Al-Khilafah wa Al-Mulk). Alih Bahasa Muhammad al-Baqir. Cet VII, h. 12
[18]Teokrasi adalah pemerintahan yang berlandaskan langsung pada hukum Tuhan (agama) bertentangan dengan demokrasi ala Barat Lihat Andito (Abu Zahra) (ed.), Politik Demi Tuhan: Nasionalisme Religius di Indonesia, (Bandung: Pustaka Hidayah, Cet. ke-1, 1999), h. 45
[19]  M. Din Syamsudin, “Usaha Pencarian Konsep Negara dalam Sejarah Pemikiran Politik Islam” dalam Andito (Abu Zahra) (ed.), Politik Demi Tuhan: Nasionalisme Religius di Indonesia, (Bandung: Pustaka Hidayah, Cet. ke-1, 1999), h. 45-46
[20] Nurlaelah Abbas, Pemikiran dan Perkembangan Politik di India : Abul A’la Al-Maududi dalam al-Risalah volume 10 nomber 1 Mei 2010, h. 187-188
[21] M. Iqbal Nasution, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Klasik Hingga sekarang, h. 175-186
[22] Roy Jackson, Mawlana Maududi and Political Islam Authority and the Islamic State, (London: Routledge), 2011, h. 133-139
[23] Roy Jackson, Mawlana Maududi and Political Islam Authority and the Islamic State, h. 156-159
[24] Roy Jackson, Mawlana Maududi and Political Islam Authority and the Islamic State, h. 160-161

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Ka kuliah di uin jkt? waah kebetuan saya jg mahasiswa uin, kita satu fakultas tapi beda jurusan. udah lulus atau masih kuliah ka?
saya jg dapet tugas tentang al maududi ka, izin copy yaa hehe makasih kaa
btw itu dosen pembimbing nya greget bgt ka haha

Posting Komentar