ABUL A’LA
AL-MAUDUDI
Biografi dan Pemikiran Abul A’la Al-Maududi
Dosen Pembimbing : Dr. Abdul Muthalib, MA
Makalah
Disusun untuk Memenuhi Syarat pada Matakuliah Pemikiran
Modern dalam Islam
Oleh :
Enis Khaerunisa
(1111032100021)
Fadhilati Haqiqiyah
(1111032100028)
Fahmi Dzilfikri
(1111032100030)

JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF
HIDAYATULLAH
JAKARTA
2013
I.
Pendahuluan
Anak Benua Asia yang dikenal dengan sebutan
India yang berpenduduk mayoritas Hindu dan Budha pernah dikuasai sebelas
dinasti Islam, yaitu dinasti Ghaznawiyah (997-1186M) sampai dinasti Mughal
(1526-1605 M) selama lebih kurang delapan setengah abad. Sejarah Islam di India
dimulai sejak pemerintahan Yamin al-Daulah Mahmud (998-1030 M) dari daulah
Ghaznawiyah, Dinasti yang meletakkan sendi khilafah Islam yang kokoh adalah
dinasti Ghariyah (1000-1215 M) yang memerintah satu negara kecil di pegunungan
Afghanistan.[1]
Diantara kerajaan Islam yang tekenal dan terbesar di India adalah Kerajaan
Mughal. Kerajaan Mughal adalah
salah satu kerajaan adikuasa di dunia Islam yang menguasai anak benua India
pada awal abad ke 17. Dua kerajaan lainnya yang juga adikuasa adalah kerajaan
Turki Usmani yang berpusat di Istanbul dan kerajaan Safawi di Persia yang menguasai
seluruh Persia. Ketiga kerajaan tersebut adalah adikuasa Islam dan dunia pada
saat itu.[2]
Sebagai reaksi terhadap
imperialisme dan kolonialisme Eropa muncul kesadaran akan kemunduran umat Islam
di India yang bersamaan waktunya dengan Turki. Karena itu dapat
dikatakan bahwa modernisme dalam Islam berawal dari keberadaan imperialisme dan
kolonialisme Eropa. Dalam hal ini sebahagian umat Islam konservatif, tidak mau
sejalan dengan Eropa, bahkan banyak yang menentang mereka melalui perjuangan
dan gerakan, sementara dilain pihak kaum modernis berharap dapat menerima
bahkan mengambil elemen-elemen peradaban Eropa.[3]
Faktor lain yang mendorong
bangkitnya gerakan pembaruan di India selain reaksi dari penjajahan Inggris
adalah munculnya keberagaman umat yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam
yang murni yaitu al-Qur’an
dan al-Sunnah dalam bentuk praktik kekeramatan sufisme, praktik mistik, bid’ah
dan ritual masyarakat awam India. Diantara
para pemikir Islam India
dan Pakistan seperti Syekh Waliyullah, Sayyid Ahmad Khan, Sayyid Amir Ali,
Yusuf Ali, Muhammad Iqbal, Fazhlur Rahman, al-Nadawi dan lain-lain, al-Maududi sajalah yang mencoba dengan
sangat tekun untuk menyuguhkan Islam sebagai suatu sistem komprehensif bagi
kehidupan manusia. Meskipun terkadang ada kritik keras yang dilontarkan oleh
pemikir Islam sendiri kepada Maududi, tetapi tidaklah menggoyahkan semangat dan
kemantapan tata-pikir al-Maududi yang begitu solid.[4]
Dalam tulisan ini,
akan diuraikan tentang biografi, pemikiran dan perjuangan Abul A’la al-Maududi.
II.
Biografi Abul A’la Al-Maududi
Abul A’la al-Maududi dilahirkan di Aurangabad (Deccan) wilayah Hyderabad
India Selatan, pada tanggal 3 Rajab 1321 H bertepatan 25 September 1903 M di
salah satu rumah sakit di New York Amerika. Ayahnya bernama Ahmad Hasan, yang
lahir pada 1855 M. Ahmad Hasan merupakan seorang pengacara yang pernah belajar di
Universitas Aligarh. Maududi adalah anak ketiga dari tiga bersaudara.[5]
Keluarga al-Maududi merupakan keluarga terpandang (keluarga tokoh Muslim
India) dari Delhi. Keluarga ini keturunan wali sufi besar tarekat Chishti yang
membantu menanamkan benih Islam di bumi India. Keluarga Maududi pernah mengabdi
pada Moghul dan khususnya dekat dengan istana selama pemerintahan Bahadur Syah
Zafar[6],
penguasa terakhir dinasti itu. Keluarga Maududi kehilangan statusnya, setelah
terjadi pemberontakan besar dan jatuhnya Moghul pada tahun 1858.
Warisan pengabdian keluarga Maududi kepada penguasa Muslim menyebabkan
mereka dapat terus merasa dekat dengan kejayaan sejarah Muslim India, karena
itu mereka tidak akur dengan pemerintahan Inggris. Keluarga Maududi akhirnya
meninggalkan Delhi dan menetap di Deccan. Di sana, mereka mengabdi pada
generasi demi generasi Nizam Hyderabad.[7]
III.
Latar Belakang Pendidikan Abul A’la Al-Maududi
Pada awalnya, Maududi kecil
memperoleh pendidikan dasar di lingkungan keluarga yaitu dalam asuhan
orangtuanya sendiri, Sayid Ahmad Hasan. Keturunannya dari keluarga Qutb ad-Din
Maudud yang silsilahnya sampai kepada Sayyidina Husein bin Ali r.a.. Keluarga ini
terkenal dengan keteguhan dan spiritualnya yang tinggi. Dengan bekal ilmu agama
dan pemikiran Islamiyah yang ditimba dari Syekh Muhyiddin Khan, ayah al-Maududi
sangat memperhatikan pendidikan Islam untuk anak-anaknya. Ayahnya sendiri yang
mengejarkan dan membina pendidikan agama serta memilihkan dan memanggil guru ke
dalam rumahnya.[8]
Pendidikan yang ditempuhnya
bersifat tradisional, dan secara autodidak mempelajari pemikiran-pemikiran
Barat. Mengawali pendidikan pertama dalam rumahnya, Maududi belajar al-Qur’an,
Hadis, Fiqih, Bahasa Urdun, Farsi, dan Bahasa Arab, serta telah menghafal kitab
al-Muwattha karya Imam Malik di luar
kepalanya. Mengetahui kecerdasan Maududi dan mengetahuinya memiliki daya hafal
yang kuat, ayah Maududi ingin menjadikannya seorang yang ahli dalam bidang ilmu
agama dan seorang aktifis dalam dakwah kepada Allah Swt.. Oleh karenanya, ayah
Maududi lebih memfokuskan pada pendidikan Bahasa Arab dan Farsi, Fiqih, Hadis
dan ilmu-ilmu agama lainnya. Sementara Sayyid Ahmad Hasan, ayah Maududi tidak
ada keinginan untuk memberikan pendidikan umum dan Bahasa Inggris serta ilmu-ilmu
yang berhubungan dengan kedua ilmu tersebut kepada anaknya.[9]
Maududi terus belajar di dalam rumah sampai umur sembilan
tahun, pada masa ini Maududi juga mempelajari buku-buku sekolah dasar seperti
sharaf, nahwu, sastra dan fiqih. Ayah Maududi menginginkan Maududi untuk tetap
belajar di rumah dan sengaja untuk tidak menyekolahkan secepatnya ke
sekolah-sekolah formal. Hal itu dilakukannya untuk menjaga akhlak dan bahasa
Maududi, serta keinginannya untuk tetap menanamkan ilmu-ilmu agama kepadanya.
Ayah Maududi sangat berkeinginan memberikan peningkatan kepada anaknya akan
ilmu yang benar dan bahasa yang fasih. Dengan keseriusan dan perhatian besarnya
pada bahasa Arab, maka tak heran pada usia kurang dari tiga belas tahun Maududi
sudah dapat menterjemahkan buku Al-Islam
wal Islah karya Syekh Abdul Aziz Jawisy dari bahasa Arab kepada bahasa
Urdun.[10]
IV.
Gerakan dan Perjuangan Abul A’la Al-Maududi
Gerakan dakwah
Maududi berawal di dunia jurnalistik pada tahun 1918 M. Pada
tahun 1919 di India berdiri gerakan Khilafah dengan tujuan mendukung
kelangsungan Khilafah Islamiyah pada dinasti Usmaniyah yang berpusat di
Istanbul, dan Maududi menggabungkan diri dengan gerakan tersebut, Bakatnya
dalam karang mengarang maupun berpidato merupakan sumbangan yang amat besar
bagi gerakan itu. Tahun 1920 M beliau
membentuk sebuah front jurnalistik yang bertujuan memerdekakan umat Islam dan
menyampaikan Islam. Karir jurnalistiknya sering berpindah-pindah dalam berbagai
surat kabar. Ia pernah menjadi penulis, direktur dan pemimpin redaksi.[11]
Dia merupakan salah seorang
propagandis terkemuka dari gerakan khilafah, dan kemudian dipercaya memimpin
penerbitan organ Panitia Pusat Gerakan itu, bernama al-Jam’iyah dari
tahun 1924 sampai dengan tahun 1928. Disamping itu dia juga merupakan penulis
yang amat produktif.[12]
Mulai bekerja sebagai wartawan
dalam surat kabar berbahasa Urdu untuk mencukupi kehidupannya. Tahun 1920,
berprofesi sebagai editor surat khabar Taj, yang diterbitkan di bandar
Jabalpore sekarang negeri Madhya Pradesh , India. Tahun 1921, Maulana Maududi
pindah ke Delhi bekerja sebagai editor surat khabar Muslim (1921-1923), dan
kemudian editor al-Jam’ayat
(1925-1928), yang diterbitkan oleh Jamâiyat-i Ulama-i Hind,sebuah partai
politik. Hasil kepimpinannya sebagai editor, al-Jami’ah salah satu harian
Islam yang paling berpengaruh dan populer di New Delhi (1920-an) dan minatnya
dalam bidang politik tumbuh pada usia 20 tahun. Buah karya dalam masalah ini
adalah al-Jihad fi al-Islam (Jihad dalam Islam) salah satu buku yang
tajam dan cermat dalam menganalisis hukum Islam, perang dan damai.
Dalam meningkatkan intensitas
perjuangan membangun kembali alam pikiran dan dunia Islam, ia menerbitkan
sebuah majalah “Tarjuman Alquran” (1993) sebagai sarana penyalur
gagasan-gagasannya. Dari sinilah al-Maududi menyoroti berbagai persoalan zaman
modern sekaligus menyodorkan pemecahan-pemecahan Islam untuk menyelesaikannya.
Selanjutnya, ia pindah ke Punjab setelah menerima tawaran Muhammad Iqbal untuk
kerjasama dalam suatu karya riset dan juga untuk mengkodifikasikan hukum
Islam.dan memimpin sebuah lembaga pengkajian Islam sejak tahun 1938.[13]
Pada tanggal 26 Agustus 1941 di
Lahore, Maududi mendirikan partai Jama’at Islamiyah.[14]
Partai ini merupakan perwujudan dari visi ideologinya.
Pada saat yang sama di Mesir berdiri ikhwan al-Muslimin di bawah komando al-Syahid
Imam Hasan al-Banna. Gerakan Islamiyah di Anak benua India Pakistan di bawah
komando Sayyid Maududi memiliki peranan penting dan menjadi titik tolak dalam
memperbaiki dan meluruskan pemikiran-pemikiran dan konsep Islam, serta
menyuguhkan dan menjelaskan akidah Islam yang benar. Semua ini dibangun atas
slogan “Umat terakhir ini tidak akan baik kecuali jika mereka melakukan
perbaikan seperti apa yang telah dilakukan pendahulu mereka seblumnya.” Atas
dasar ini Maududi menegaskan bahwa, mengadakan perbaikan pada umat ini tidak
akan terealisasi kecuali dengan cara atau metode yang telah dilakukan oleh para
Nabi dan sahabat.[15]
V.
Pemikiran Abul A’la Al-Maududi
Abul
A’la al-Maududi mendasarkan
dakwahnya pada al-Qur’an
dan as- Sunnah. Dalam dakwahnya,
ia terpengaruh dengan Syekh Muhammad bin Abdul Wahab. Maududi juga sedikit
banyak terpengaruh dengan filosof muslim Muhammad Iqbal yang telah melahirkan
gagasan pemindahan Pakistan dari India. Maududi merupakan pengagum dari Hasan
al-Banna.
Dalam
buku “Jihad dalam Islam” dikemukakan
kesamaan antara pemikiran Hasan al-Banna
dengan pemikiran Maududi. Pemimpin
Ikhwanul Muslimin ketiga Umar al-Tilmisani
ketika mengadakan studi banding tentang Hasan al-Banna dan Imam Abul A’la al-Maududi dan antara
metode keduanya dalam dakwah islamiah mengatakan bahwa keduanya adalah sosok
yang sama, pengetahuan, metode, cara, dan sarana keduanya dalam dalam dakwah
islamiah benar-benar semuanya bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah.[16]
A.
Teori Politik Abul A’la Al-Maududi
Teori politik yang dikembangkan
oleh al-Maududi adalah teori politik yang berdasarkan Qur’an dan Sunnah. Ia
sangat mengecam sistem kerajaan, karena sistem kerajaan atau monarki memang
tidak memilki tempat dalam Islam. Maududi mengingatkan bahwa seluruh kerajaan
pasti memaksakan ditaatinya kekuasaan secara turun temurun dan karena itu pula
kerajaan itu menjadi mulk adhudh atau “kerajaan yang menggigit” yakni
menindas rakyat dan merampas hak-hak rakyat di bidang politik, ekonomi, hukum
dan lain-lain.[17]
Sementara pemerintahan yang dikehendaki oleh Maududi dalam Islam adalah Theo-Demokrasi.
Konsep theo-demokrasi merupakan
konsep sistem politik Islam yang digagas oleh Abul al-A‟la al-Maududi. Konsep
itu dituangkan dalam bukunya yang terkenal “Islamic Law and Constitution“ terbit
di Pakistan 1975, beliau menguraikan secara jelas tentang teori
politiknya dan dilengkapi dalam bukunya “al-Khilafah wa al-Mulk”
yang terbit di Kuwait tahun 1978.
Pada dasarnya, istilah atau
konsep theo-demokrasi adalah akomodasi dari ide theokrasi dengan ide
demokrasi. Namun, ini tak berarti al-Maududi menerima secara mutlak konsep
theokrasi.[18]
Al-Maududi dalam bukunya Political Theory of Islam, dengan tegas menolak teori
kedaulatan rakyat (inti demokrasi), berdasarkan dua alasan. Pertama, karena
menurutnya kedaulatan tertinggi adalah di tangan Tuhan. Tuhan sajalah yang
berhak menjadi pembuat hukum (law giver). Manusia tidak berhak membuat
hukum. Kedua, praktik kedaulatan rakyat seringkali justru menjadi omong
kosong, karena partisipasi politik rakyat dalam kenyataannya hanya dilakukan
setiap empat atau lima tahun sekali saat Pemilu. Sedang kendali pemerintahan
sehari-hari sesungguhnya berada di tangan segelintir penguasa, yang sekalipun
mengatasnamakan rakyat, seringkali malah menindas rakyat demi kepentingan
pribadi.[19]
Namun demikian, ada satu aspek
demokrasi yang diterima Al-Maududi, yakni dalam arti, bahwa kekuasaan (Khilafah)
ada di tangan setiap individu kaum mukminin. Khilafah tidak dikhususkan bagi
kelompok atau kelas tertentu. Inilah, yang menurut Al-Maududi, yang membedakan
sistem Khilafah dengan sistem kerajaan. Dari sinilah al-Maududi lalu menyimpulkan,
dan ini pulalah yang mengarahkan khilafah Islamiyah ke arah demokrasi, meskipun
terdapat perbedaan asasi antara demokrasi Islami dan demokrasi Barat.
Khalifah
menurutnya hanyalah sebagai pemegang kekuasaan yang bersifat sementara (naib),
manusia tidak boleh memiliki kekuasaan itu secara absolut, bahkan tidak berhak
melakukan sesuatu tanpa petunjuk dan kehendak dari Allah (Sahib al-mulk).
Oleh
karena itu, tidak boleh seorang Muslim menyalagunakan kekuasaan itu demi
kepentingan individu, karena diakhir nanti pasti akan dipertanggung jawabkan.
Dan wajarlah kiranya jika kita menyatakan bahwa orang-orang yang diturunkan
untuk menegakkan hukum Tuhan di bumi adalah sebagai wakil-wakil dari Penguasa
Tertinggi.
Mengenai
theokrasi, yang juga menjadi akar konsep theo-demokrasi, sebenarnya juga
ditolak oleh Al-Maududi. Terutama theokrasi model Eropa pada abad Pertengahan
di mana penguasa (raja) mendominasi kekuasaan dan membuat hukum sendiri atas
nama Tuhan. Meskipun demikian, ada unsur theokrasi
yang diambil Al-Maududi, yakni dalam pengertian kedaulatan tertinggi berada di
tangan Allah. Dengan demikian, menurut Al-Maududi, rakyat mengakui kedaulatan
tertingggi ada di tangan Allah, dan kemudian, dengan sukarela dan atas
keinginan rakyat sendiri, menjadikan kekuasaannya dibatasi oleh batasan-batasan
perundang-undangan Allah Swt.[20]
Dengan
demikian secara esensial, konsep theo-demokrasi berarti bahwa Islam
memberikan kekuasaan kepada rakyat, akan tetapi kekuasaan itu dibatasi oleh
norma-norma yang datangnya dari Tuhan. Dengan kata lain, theo-demokrasi adalah
sebuah kedaulatan rakyat yang terbatas di bawah pengawasan Tuhan. Atau seperti
diistilahkan Al-Maududi, a limited popular sovereignty under suzerainty of
God .
1.
Tentang Perundang-Undangan
Ketentuan membuat undang-undang
harus kepada Allah semata. Dan haram hukumnya rang meninggalkan peraturan ini
dan mengiktui undang-undang buatan manusia yang cenderung menuruti hawa nafsu.
Al Maududi menegaskan bahwa semua
urusan umat islam harus dilaksanakan dengan musyawarah bersama (syura)
dikalangan kaum muslimin.
Orang yang berhak ikut dalam
badan permusyawaratan ini, di bagi menjadi dua:
a.
Orang yang mempunyai dedikasi dan loyalitas yang
mencurahkan seluruh hidupnya untuk perjuangan islam, sehingga orang yang
demikian ini di kenal oleh masyarakat secara luas.
b.
Orang yang terkemuka karena wawasan serta kemampuan
mereka dalam memahami ajaran islam. Orang ini ialah hasil seleksi dari
komunitas islam dan mendapat kepercayaan dari mereka.
Kedua orang ini disebut dengan Ahl
al Halli wa al ‘Aqd, yang tanpa sarannya akan menyebabkan tidak dapat
dilaksanakan keputusan yang berkaitan dengan masalah kenegaraan. Atau disebut
dengan badan kesekutif.
Namun dewasa ini sulit sekali
menemukan orang yang seperti di atas. Maka al Maududi menghalalkan pemilihan
modern (pemilu) untuk lembaga permusyawaratan, dengan catatan tidak boleh
dicemari oleh praktik kotor yang akan menjatuhkan nama baik demokrasi.
Al Maududi mengkritik demokrasi
Barat, yang menurutnya mempunyai kelemahan, diantaranya:
1.
Kelompok penguasa bisa saja bertindak atas nama
rakyat meskipun sebagian pikiran dan tenaga yang dikerahkannya bukan untuk
rakyat, tapi untuk melestarikan kekuasaan yang ia pegang.
2.
Jika kekuasaan mutlak untuk membuat legislasi berada
di tangan pembuat hukum harus sesuai dengan selera dan opini rakyat tidak
mustahil suatu ketika tindakan-tindakan yang tidakmanusiawi menjadi legal
sepenuhnya bila opini publik menuntutnya.
Bila sesudah legislasi
dikehendaki oleh rakyat, meskipun bertentangan dengan jaran moraldan agama,
maka legislasi itu harus berjalan. Sebaliknya, suatu legislasi lain betapa pun
benar dan adil dapat dibatalkan jika rakyat menghendakinya.
Badan eksekutif dalam
pemerintahan, dibentuk berdasarkan kehendak umum kaum muslimin yang juga berhak
untuk menumbangkannya. Semua masalah pemerintahan dan masalah yang tidak di
atur secara jelas dalam syariah islam diselesaikan antar kaum muslimin.
Tujuan dari negara Islam yang
akan dicapai demi terjaminnya masyarakat islam sebagaimana yang diisyaratkan
oleh al Qur’an, yaitu:
1.
Menegakkan terjadinya eksploitasiantar manusia,
antar kelompok, atau kelas dalam masyarakat
2.
Memelihara kebebasab (ekonomi, politik, pendidikan,
dan agama) para warga negara dan melindunginya dari invasi bangasa asing.
3.
Menegakkan sistem kaeadilan sosial yang seimbang
yang dikehendaki oleh al Qur’an
4.
Memberantas kejahatan dan mendorong setiap kebajikan
yang dengan tegas telah digariskan al Qur’an.
5.
Sebagai tempat tinggal yang teduh yang mengayomi
setiap warga negara dengan jalan memberlakukan hukum tanpa diskriminasi.
2.
Sistem Kekuasaan Politik Maududi
Sistem
politik Islam ala al-Maududi ini menganut sistem Theodemocracy, yaitu
kekuasaan ditangan Tuhan. Meskipun kekuasaan ditangan Tuhan, al Maududi membagi
organ negara kepada tiga, antara lain:
1.
Lembaga Legislatif
Ialah
lembaga penengah dan pemberi fatwa atau sama dengan ahl al Halli waal Aqd.
Semua bentuk legislasi harus mencerminkan semangat atau jiwa dari undang-undang
dasra dari al Qur’an dan Hadis
Tugas-tugasnya ialah:
a.
Jika terdapat petunujk Allah dan Nabi Nya secara
eksplisit, lembaga ini berkompeten menjabarkan dan memuat peraturan
pelaksananya.
b.
Jika ada beberapa tafsiran mengenai petunjuk
eksplisit lembaga ini yang memilih salah satu dan merumuskannya
c.
Jika tidak terdapat dalam al Qur’an dan Hadis lembaga
ini mengambil salah satu dari ketentuan fiqh
d.
Jika tidak ada sumber sama sekali, lembaga ini yang
berijtihad.
2.
Lembaga Eksekutif
Tujuannya
ialah untuk menegakkan pedoman serta menyiapkan masyarakat agar meyakini dan
menganut pedoman-pedoman serta menyiapkan masyarakat agar meyakini dan menganut
pedoman untuk diterapkan di kesaeharian
3.
Lembaga Yudikatif
Ini sama
dengan peradilan atau qadha’. Berfungi sebagai penegak hukum ilahi,
menyelesaikan, dan memutuskan dengan adil perkara yang terjadi angtar warganya.[21]
B.
Pemikiran Maududi Tentang Wanita
Konsep Maududi tentang wanita
terlihat dalam buku Purdah and the status of Woman in Islam. Yang
menguraikan bahwa status wanita tergantung pada
perubahan zaman dan peradaban (pada masing-masing negara).
Serangkaian generalisasi mengenai
sikap budaya terhadap perempuan di negara Yunani kuno, Roma, Eropa Kristen, dan
Eropa modern. Dimana status wanita pada beberapa negara ini adalah tergantung
dari tema yang sama, yaitu peradaban. Menurut Maududi, penyimpangan seksual dan
korupsi yang terjadi itu merupakan penyebab dari penurunan peradaban
masing-masing.
Pada abad ke- 20 di Eropa,
Maududi mengiidentifikasikan tiga doktrin masyarakat barat, yaitu:
1.
Kesetaraan antara pria dan wanita.
Di
barat, wanita diperbolehkan bekerja sama seperti laki-laki. Menurut Maududi
melihat kesalahan terhadap kesetaraanya, karena wanita menjadi sangat
terpengaruh dengan ekonomi, politik, dan pengejaran sosial. Sehingga ia
mengabaikan kewajibannya untuk merawat keluarga.
2.
Kemandirian ekonomi pada wanita.
Wanita
yang mandiri ekonominya, mereka tidak lagi merasa berkewajiban untuk memiliki
suami atau keluarga. Kebanyakan wanita muda di beberapa negara barat memilih
hidup tanpa menikah, dan bersetubuh dengan siapa saja.
3.
Pembauran bebas dari jenis kelamin.
Hal
ini cenderung dilakukan karena pamer. Mereka berkumpul tanpa busana dan
melakukan penyimpangan seksual. Pria lebih tinggi nafsu seksual, sementara
wanita mengabaikan pengendalian moralnya unutk menarik lawan jenis.
Maududi mengatakan bahwa,
tampaknya otoritas wanita di negara Islam itu akan sedikit dibatasi. Menurut
Maududi, pria secara alami dapat menjadi jenderal, negarawan, dan administrator,
dan seorang wanita merupakan seorang istri, ibu dan pembantu rumah tangga. Ini
adalah pembagian kerja yang bersifat alamiah dan telah tersuusun antara kedua jenis kelamin
(pria dan wanita).
Konsep wanita menurut al Maududi
bisa dikategorikan pada empat macam:
1.
Laki-laki mempunyai tugas untuk mendidik perempuan
tentang arti sebuah kehidupan.
2.
Perempuan itu untuk menjaga urusan rumah tangga dan
membuat kehidupan rumah tangga yang harmonis, menyenangkan dan damai.
Pendidikan merupakan alat untuk mencapai tugas tersebut.
3.
Wanita itu untuk mempertahankan sistem keluarga dan
menyelamatkannya dari kebingungan. Laki-laki harus dapat menjadi pemimpin dalam
keluarga.
4.
Harus ada perlindungan dalam sistem sosial untuk
mencegah individu dari kebingungan dan mencampuradukkan jenis kegiatan yang
berbeda antara laki-laki dan perempuan.
Maududi menjelaskan bahwa prinsip-prinsip
fundamental yang mendasari sistem sosial islam bisa membantu untuk
mengendalikan dan mengatur dorongan sexual seseorang.
Selain itu, ketika wanita hendak
pergi keluar rrumah atau bertemu dengan laki-laki tanpa disertai dengan mahram
nya dia harus menutupi seluruh badannya. Untuk laki-laki yang harus ditutup
yaitu antara pusar sampai pada lutut. Tapi untuk wanita adalah semuanya dari
tubuhnya.
Pria muslim dan wanita harus
menjaga pandangan mereka dari lawan jenisnya. Dan wanita harus menarik pakaian
mereka ke atas dada, serta tidak menunjukkan perhiasan mereka kecuali kerabat
dekat, perempuan lain, dan budak.
Pernyataan akhir dari Maududi di
atas, adalah pesan spirit al Qur’an. Al Qur’an bukan hanya menyeru untuk
berjilbab saja, tapi lebih dari itu al Qur’an menyuruh wanita untuk menutup
seluruh tubuh termasuk muka dan tangan.[22]
C.
Maududi dan Jihad
Pandangan Maududi tentang
revolusi pada dasarnya adalah Marxism dan kaitannya dengan jihad. Untuk
memahami apa maksud maududi tentang revolusi islam, itu juga penting untuk
dilihat dalam konteks jihad pada konsepnya. Dalam al Jihad fi al Islam,
maududi memulai dengan tanggapan pada orang muslim yang mengkritik jihad dengan
permintaan maaf. Ketika mereka berfikir tentang jihad, dalam menjawab
kritikan-kritikan barat dengan merubah tujuan tentara berbaris dan berjenggot
dan semangat menyala-nyala mengacukan pedang dan menyerang orang kafir
dimanapun mereka bertemu dan mencegat mereka sampai batas pedang untuk menegakkan
kalima ampunan yang menjawab dengan perkataan Islam tidak pernah mengenal
peperangan.
Pada tahun 1939, Islam hampir
tidak terlihat. Itu ideologi sekuler, nazisme, fasisime, marxisme-leninisme,
yang tampaknya membuat kemajuan dengan mengorbankan agama dunia.
Pemahaman Maududi tentang jihad
bukan berarti perang, namun merupakan suatu pembebasan. dalam konteks sejarah,
muslim dibebaskan dari zaman jahiliyah. Jihad adalah perjuangan untuk
perdamaian dan keadilan terhadap konsepsi Hobbes. Tujuan dari jihad, Maududi berpendapat, tidak
memaksa orang untuk mengkonversi ke islam, melainkan untuk membebaskan rakyat
dari ketidakadilan dan perang saudara. Untuk mencapai hal ini, harus ada
struktur politik, dan pandangan Maududi tentang jihad terhubung sangat erat
dengan pandangannya tentang negara Islam yang akan dieksplorasi secara lebih
rinci nanti. Revolusi Maududi menyerukan pemberantasan semua pemerintah dan
pembentukan sebuah umat, di bawah kekuasaan para khalifah dan hukum-nya.
Berarti bahwa orang non muslim tetap akan hidup di bawah aturan Islam. Ini
merupakan konsekuensi dari keyakinan pada satu Tuhan dengan keberadaan mutlak,
universal, nilai-nilai moral yang sempurna.
Maududi mendefinisikan jihad
dalam pidato nya pada tahun 1939, yaitu: “Islam bukan nama agama semata, juga
bukan nama muslim judul bangsa. Kebenaran adalah bahwa islam adalah ideologi
revolusioner yang berusaha untuk mengubah tatanan sosial dari seluruh dunia dan
membangunnya kembali sesuai dengan ajaran dan cita-cita nya sendiri. Jihad
merujuk pada perjuangan revolusioner oleh bangsa / partai islam.”
Menurutnya, jihad itu cenderung
kepada program pembebasan (revolusioner) daripada konflik antar negara.
Kontribusi besar Maududi pada
topik ini (jihad) dalam buku-bukunya ialah konsep dari gagasan jahiliyah. Ia
juga melihat paradigma jihad nabi Muhammad melawan jahiliyah yang paganis dan
Maududi menempatkan ini pada peristiwa kontemporer.[23]
D.
Al-Maududi dan Non-Muslim
Masalah yang sering dihadapi suatu
negara adalah menentukan ideologi negara. Karena ideologi ini menjadi dasar
pemikiran dan petunjuk ke arah mana negara mau di bawa. Seorang Muslim hanya bisa menjalankan
keimanannya dalam sebuah negara dan masyarakat Islam, sebagaimana friman Allah,
“barangsiapa
yang tidak berhukum dengan hukum Allah, ia termasuk kafir”.
Seorang hakim yang telah menentukan
suatu putusan pun masih dilingkupi keraguan. Maududi berpendapat bahwa ketika
hakim harus memutuskan suatu perkara, maka setidaknya itu dilakukan oleh
beberapa orang Muslim yang saleh. Hal ini, mengindikasikan bahwa non-Muslim
tidak mungkin diharapkan untuk menempati posisi penting di negara ala Maududi.
Maududi menolak politik pluralisme agama.
Namun, non-Muslim atau pun kafir dzimmi
yang menunjukan loyalitas mereka kepada negara Islam, mereka termasuk penduduk
dan mendapatkan hak-hak sebagai penduduk. Bagaimanapun Maududi membedakan hak
antara kafir dzimmi dengan muslim, ia bukan seorang pengikut kesamaan
HAM.
Maududi menjamin untuk melindungi
kafir dzimmi dari kehidupan dan anggota badan, kepemilikan dan budaya,
kepercayaan dan kehormatan mereka. Hanya Islam yang menegakan undang-undang dan
aturan-aturan Islam dan memberikan hak yang sama kepada non-Muslim sebagai penduduk
pada umumnya. Tetapi, bentuk negara
Islam yang ditawarkan Maududi berbeda dengan bentuk negara Islam yang ada dalam
sejarah, yang mana membolehkan non-Muslim melaksanakan kegiatan mereka seperti
membuat dan menjual alkohol, mengembang biakan dan menjual babi. Bagaimanapun,
secara politik non-Muslim mempunyai posisi yang terbatas. Pria atau wanita
non-Muslim tidak bisa menjadi kepala negara, akan tetapi boleh menjadi anggota
musyawarah.
Negara Islam yang sempurna adalah
sempurna berdasarkan definisi ; merupakan sebuah bentuk akhir dan dan tidak ada
kelonggaran. Ekpresi-ekspresi dari bentuk dan kepercayaan lain harus lah
ditahan dan dibatasi. Hal ini, terlihat jelas dalam tulisan Maududi bahwa non
Muslim diberikan toleransi tetapi menyediakan untuk mereka jarak dan tidak
diperbolehkan mengembangkan ideologi mereka di dalam komunitas.
Satu hal yang penting, Maududi
berusaha keras memberikan hal yang paling fundamental yang ditawarkan oleh
negara demokrasi modern di dalam sistem Islamnya, sebagaimana dogma tradisional
dibatasi oleh politik liberal dan kebebasan berekspresi dan kepercayaan.
Maududi menegaskan bahwa hak hidup, kebebasan dan kepemilikan semuanya milik
rakyat (baik Muslim maupun non-Muslim), kebebasan bereskpresi, membuat
perkumpulan dan sebagainya, semua dijamin oleh negara Islam dan tidak akan
dijebloskan ke penjara tanpa melalui pengadilan.[24]
VI.
Kesimpulan
Abul
‘Ala al-Maududi merupakan seorang pemikir muslim yang jenius, yang mempunyai
ideologi. Maududi disebut juga sebagai seorang neo-fundamental. Terlihat dari
buah pikirannya yang begitu cemerlang tentang konsep negara, negara Islam.
Negara
yang ditawarakan oleh Maududi ini adalah negara yang berdasarkan Qur’an dan
Sunnah. Oleh karenanya, kekuasaan mutlak berada di “tangan” Tuhan. Tujuan
negara tidak lain adalah menerapkan hukum Tuhan, sehingga membawa kemaslahatan
pada manusia. Dari konsep negara inilah melahirkan berbagai konsep yang
menyangkut aturan kehidupan bernegara. Misalnya konsep purdah atau
burdah untuk perempuan, jihad dan aturan-aturan lain menyangkut negara.
Daftar Pustaka
Abbas, Nurlaelah. Pemikiran dan Perkembangan Politik di India
: Abul A’la Al-Maududi dalam al-Risalah volume 10 nomber 1 Mei 2010
Iqbal, Muhammad, Nasutioan, Amien
Husein, Pemikiran Politik Islam : Dari Masa Klasik hingga Modern. Jakarta:
Kencana Pernada Media Group, 2010.
Jackson, Roy, Mawlana Maududi and Political Islam
Authority and the Islamic State, (London: Routledge), 2011.
Mohammad, Herry
dkk. Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh
Abad 20. Jakarta : Gema Insani. Cet I. 2006
Morgan, K.W. Islam Jalan
Mutlak, terj Abu Salamah, jilid II, dalam artikel “Kebudayaan Islam di
Pakistan” oleh Nazhiruddin Siddiq. Jakarta
: Pembangunan.
1963.
Muhammade, Said Mursi. Tokoh-Tokoh Besar
Islam Sepanjang Sejarah
(terjemah Khoirul Amru Harahap). Jakarta: Pustaka Al
Kausar. Cet III. 2007
Nasution, Harun. Pembaharuan Dalam
Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta : Bulan Bintang. Cet-XIV.
1432 H/ 2011 M.
Rais, Amin. Khilafah dan Kerajaan
: Evaluasi Kritis Atas Sejarah Pemerintahan Islam. Bandung : Mizan. Cet VII. 1419 H/1998 M.
Syadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara
Ajaran, Sejarah dan Pemikiran.
Edisi5. Jakarta : UI Press. 1993.
Syamsudin, M. Din. “Usaha Pencarian Konsep Negara dalam
Sejarah Pemikiran Politik Islam” dalam Andito (Abu Zahra) (ed.). Politik
Demi Tuhan: Nasionalisme Religius di Indonesia. Bandung: Pustaka Hidayah,
Cet. ke-1, 1999.
[1]
K.W. Morgan, Islam Jalan Mutlak, terj Abu Salamah, jilid II, dalam
artikel “Kebudayaan Islam di Pakistan” oleh Nazhiruddin Siddiq, (Jakarta
: Pembangunan, 1963), h. 56.
[2]
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Cet-XIV (Jakarta : Bulan Bintang, 1432 H/ 2011 M), h. 7-10
[4] Amin Rais,
Khilafah dan Kerajaan : Evaluasi Kritis Atas Sejarah Pemerintahan Islam,
cet VII, (Bandung : Mizan, 1419 H/1998 M), h. 6
[5]
Lihat Munawir Syadzali, Islam dan Tata Negara Ajaran, Sejarah dan
Pemikiran, Edisi5, (Jakarta : UI Press, 1993), h. 158.
[6]
Nama asil Bahadur
Syah adalah Mu’azam anak dari Aurangzeb (1707) lihat lebih lanjut dalam Harun
Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Cet-XIV (Jakarta : Bulan Bintang, 1432 H/ 2011 M), h. 10
[7] Herry Mohammad dkk, Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20,
Cet I (Jakarta : Gema Insani, 2006), h. 164
[8] Muhammad Iqbal,
Nasutioan, Amien Husein, Pemikiran Politik Islam : Dari Masa Klasik
hingga Modern (Jakarta: Kencana Pernada Media Group, 2010), h. 172
[13] Said Nursi, Muhammade, Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah,
(Jakarta: Pustaka Al Kausar), 313
[14] Jama’at Islami (di Anak Benua India-Pakistan)
adalah sebuah Jama’ah Islam modern yang memfokuskan aktivitasnya untuk menegakkan syari’at Islam dan
menerapkannya dalam kehidupan nyata. Jama’ah Islam tergolong gigih membendung berbagai
bentuk aliran sekularistik yang berusaha keras mendominasi seluruh negeri.
[16] Mohammad, Herry, Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh abad 20,
cet. l, h. 167-168
[17] Amien Rais,
Kata Pengantar: Khilafah dan Kerajaan (Al-Khilafah wa Al-Mulk). Alih
Bahasa Muhammad al-Baqir. Cet VII, h. 12
[18]Teokrasi adalah pemerintahan yang berlandaskan langsung pada hukum
Tuhan (agama) bertentangan dengan demokrasi ala Barat Lihat Andito (Abu
Zahra) (ed.), Politik Demi Tuhan: Nasionalisme Religius di Indonesia,
(Bandung: Pustaka Hidayah,
Cet. ke-1, 1999), h. 45
[19] M. Din Syamsudin,
“Usaha Pencarian Konsep Negara dalam Sejarah Pemikiran Politik Islam” dalam
Andito (Abu Zahra) (ed.), Politik Demi Tuhan: Nasionalisme Religius
di Indonesia, (Bandung:
Pustaka Hidayah, Cet. ke-1, 1999), h. 45-46
[20] Nurlaelah Abbas, Pemikiran dan Perkembangan Politik di India
: Abul A’la Al-Maududi dalam al-Risalah volume 10 nomber 1 Mei 2010, h.
187-188
[22] Roy Jackson, Mawlana
Maududi and Political Islam Authority and the Islamic State, (London:
Routledge), 2011, h. 133-139
1 komentar:
Ka kuliah di uin jkt? waah kebetuan saya jg mahasiswa uin, kita satu fakultas tapi beda jurusan. udah lulus atau masih kuliah ka?
saya jg dapet tugas tentang al maududi ka, izin copy yaa hehe makasih kaa
btw itu dosen pembimbing nya greget bgt ka haha
Posting Komentar