Rabu, 01 Januari 2014

Agama, Sekularisasi, Modernisasi



PENDAHULUAN
Dalam sejarah telah tercatat bahwa mulai pada abad ke 18 Masehi dunia ini dikatakan telah memasuki periode zaman modern. Yang mana, periode ini muncul, setelah berakhirnya masa-masa pada abad 16-17 Masehi, yaitu Renaisance. Dunia saat ini telah memasuki zaman modern, hal ini ditandai dengan semakin maju dan berkembangnya dunia pada saat ini. Kemajuan-kemajuan ini telah dicapai, yang mana di perlihatkan melalui muncul nya teknologi-teknologi canggih baru. Satu hal yang menjadi kunci atau awal dari muncul nya zaman modern ini, yaitu semakin berkembangnya pemikiran seseorang. Timbulnya ilmu pengetahuan yang modern, berdasarkan metode eksperimental dan matematis. Segala sesuatunya, khususnya di dalam bidang ilmu pengetahuan mengutamakan logika dan empirisme. Pada kesempatan kali ini, penulis akan mengulas sedikit mengenai Agama, Sekelerisasi, dan Modernisasi.
PEMBAHASAN
A.    Agama
Menurut Ensiklopedi Indonesia 1 (Ed. Hassan Shadily), istilah agama berasal dari bahasa sansekerta: a berarti tidak, gam berarti pergi atau berjalan dan a yang berarti bersifat atau keadaan. Jadi, agama berarti bersifat atau keadaan tidak pergi, tetap, lestari, kekal, tidak berubah. Maka, agama adalah pegangan atau pedoman untuk mencapai hidup kekal. Dalam praktek sehari-hari, kata “agama” dipergunakan sebagai terjemahan dan padanan dari kata latin religio, atau kata religion dalam bahasa Inggris. Namun, pengertian tentang agama itu relatif terhadap apa yang akan dibahas selanjutnya. Maka jika mendefinisikan agama sebaiknya menyebutkan unsur-unsur nya, karena definisi agama itu berbeda-beda dikarenakan sudut pandang tertentu.[1] Selain itu para antropolog seperti Haviland, Antony F.C.Wallace juga mendefinisikan agama menurut pandangan mereka.[2]
Adapula definisi lain dari agama yaitu suatu jenis sistem sosial yang dibuat oleh penganut-penganutnya yang berporos pada kekuatan-kekuatan nonempiris yang dipercayainya dan didayagunakannya untuk mencapai keselamatan bagi diri mereka dan masyarakat luas umumnya. Selain itu, beberapa sosiolog juga mendefinisikan agama. Seperti Thomas F.O. Dea juga mendefinisikan agama ialah pendayagunaan sarana-sarana supra empiris untuk maksud-maksud nonempiris atau supra-empiris.[3] Selanjutnya, bagi Joachim Wach aspek yang perlu diperhatikan khusus ialah: pertama, unsur teoretisnya, bahwa agaa adalah suatu sistem kepercayaan. Kedua unsur praktisnya, ialah yang berupa sistem kaidah yang mengikat penganutnya. Ketiga aspek sosiologisnya, bahwa agama mempunyai sistem perhubungan dan interaksi sosial. Nikolas Luhmann enyatakan bahwa yang perlu diperhatikan dalam definisi agama ialah aspek fungsionalnya. Ia melihat agama terutama sebagai suatu cara dengan mana suatu fungsi khas dimainkan dalam situasi evolusioner yang erubah terus menerus.[4]
B.     Sekularisasi
Kata sekularisasi berasal dari kata latin “saeculum”, yang berarti “dunia”, yaitu dunia seperti apa adanya beserta keseluruhan nilai-nilainya yang sering disebut nilai duniawi. Dalam konteks pemikiran ini dunia dan nilai duniawi dipisahkan sama sekali dari agama, dan demikian di nilai baik. Dari kata “saeculu” dibentuk kata “saecularis” atau sekular yang diberi arti “serba duniawi” dalam arti yang lebih baik. Lebih lanjut dari kata yang sama muncul pengertian “sekularisme” dan “sekularisasi”. Yang pertama termasuk golongan ideologi, dan yang kedua berupa suatu gerakan. Sejak abad lalu terdapau dua maca sekularisme, yaitu sekularisme ekstrem dan sekularisasi moderat. Sekularisme ekstrem ialah pandangan hidup atau ideologi yang mencita-citakan otonomi nilai duniawi lepas dari campur tangan Tuhan dan pengaruh agama. Dalam kerangka ini dapat dimasukkan semua pandangan hidup ateis, yang secara prinsipal- metodologis tidak memasukkan pengertian Tuhan yang transenden dalam teori dan praktek. Sedangkan sekularisme moderat ialah pandangan hidup (ideologi) yang encita-citakan otonomi nilai duniawi dengan mengikutsertakan Tuhan dan agama. Pandanga hidup teis dapat dimasukkan dalam kategori ini.[5]
Dalam refrensi lain, Nurcholis Madjid mengartikan sekularisasi sebagai pengakuan wewenang ilmu pengetahuan dan penerapannya dalam membina kehidupan duniawi. Dan ilmu pengetahuan itu sendiri terusberproses dan berkembang menuju kesempurnaannya. Jika sekularisasi merupakan proses yang dinamis, maka sekularisme adalah suatu paham keduniawian. [6] nurcholis Madjid menyatakan bahwa sekularisasi bukan merupakan paham yang statis tetapi suatu proses yang terus berlangsung. [7]
C.     Modernisasi
Arti kata modernisasi dengan kata dasar moden berasal dari bahasa latin modernus yang dibentuk dari kata modo dan ernus. Modo berarti cara dan ernus menunjuk pada adanya periode waktu masa kini. Modernisasi berarti proses menuju masa kini atau proses menuju masyarakat modern. Modernisasi dapat pula berarti perubahan dari masyarakat tradisional menuju masyarakat yang modern. Jadi, modernisasi merupakan suatu proses perubahan sosial dimana masyarakat yang sedang memperbaharui dirinya berusaha mendapatkan ciri-ciri atau karakteristik yang dimiliki masyarakat modern. Di Indonesia, istilah modernisasi seringkali disalahartikan. Orang cenderung mengartikan modernissi sebagai westernisasi, terutama pada sikap para pelakunya yang cenderung selalu meniru secara mutlak pengaruh Barat yang masuk. Modernisasi dianggap kebebasan yang tidak lagi menghiraukan norma-norma yang melekat pada suatu masyarakat. Maka kita harus paham betul pengertian modernisasi. Ciri-ciri manusia modern menurut Alex Inkeles, diantaranya:
1.      Memiliki sikap hidup untuk menerima hal-hal yang baru dan terbuka untuk perubahan
2.      Memiliki keberanian untuk menyatakan pendapat atau opini mengenai lingkungannya sendiri atau kejadian yang terjadi jauh di luar lingkungannya serta dapat bersikap demokratis
3.      Menghargai waktu dan lebih banyak berorientasi ke masa depan daripada masa lau
4.      Memiliki perencanaan dan pengorganisasian
5.      Percaya diri
6.      Perhitungan
7.      Menghargai harkat hidup manusia lain
8.      Percaya pada ilmu pengetahuan dan teknologi
9.      Menjunjung tinggi suatu sikap dimana imbalan yang diterima seseorang haruslah sesuai dengan prestasinya dalam masyarakat.
Gejala-gejala Modernisasi yaitu:
1.      Bidang Budaya, ditandai dengan semakin terdesaknya budaya tradisional oleh masuknya pengaruh budaya dari luar, sehingga budya asli semakin pudar. Contoh budaya gotong royong dalam masyarakat sudah semakin langka karena telah diganti dengan budaya komersial serta adat istiadat perkawinan dilakukan dengan cara yang praktis yang tidak memakan waktu lama serta biaya besar.
2.      Bidang politik, ditandai dengan semakin banyaknya negara yang lepas dari penjajahan, munculnya negara-negara yang baru merdeka, tumbuhnya negara-negara demokrasi, lahirnya lembaga-lebaga politik, dan seakin diakuinya hak-hak asasi manusia.
3.      Bidang ekonomi, ditandai dengan semakin kompleksnya kebutuhan manusia akan barang-barang dan jasa sehingga sektor industri dibangun secra besar-besaran untuk memproduksi barang. Dengan demikian, kita akan semakin mudah untuk memperoleh barang dan jasa.
4.      Bidang sosial, ditandai dengan semakin banyaknya kelompok baru dalam masyarakat, seperti kelompok buruh, kaum intelektual, kelompok manajer, dan kelopok ekonomi kelas. Dengan demikian, terdapat banyak raga spesialisasi pekerjaan sesuai dengan perannya.[8]
D.    Perbedaan antara Sekularisaasi dan Modernisasi
Sekularisasi adalah sebuah proses sosial, yang menyangkut agama dan sebetulnya bukan masalah iman. Oleh karena itu sebenarnya juga tidak langsung menyangkut teologi.  Modernissi menunjuk pada proses perubahan dalam segala bidang kehidupan: ilmu, bersama dengan teknologi dan industrialisasi; sosial-politik, khususnya urbanisasi; dan terutama komunikasi dan seluruh bidang kebudayaan. Sekularisasi adalah sebuah fenomen soaial khusus, yang berhubungan dengan agama. Tentu saja ada hubungan erat antara Modernissi dan sekulariasai, tetapi kedua itu tidak bisa disamakan. Sekularisasi adalah suatu gejala modernisasi dalam situasi kehidupan tertentu, khususnya di Eropa Barat.[9]
E.     Hubungan  antara Agama, Sekularisasi, dan Modernisasi
Sekularisasi bisa diartikan sebagai epmisah antara urusan dunia dan urusan agama. Sekularissi juga proses pembebasan manusia dari agama, metafisika, atau hal-hal yang bersifat transendental dan lebih berfokus pada masalah-masalah keduniawian. Secara sosiologis, proses sekularisasi mempunyai kaitan erat dengan modernisasi, karena modernisasi berimplikasi sekularisasi.[10]
Para pemikir sosial terkemuka abad ke 19 – Auguste Comte, Herbert Spencer, Emile Durkheim, Max Weber, Karl Marx, dan Sigmund Freud – yakin bahwa agama perlahan-lahan akan pudar dan tidak begitu penting peranannya bersamaan dengan makin majunya masyarakat industri.  Sejak zaman pencerahan, tokoh-tokoh utama dalam filsafat, antroplogi, dan psikologi menyatakan bahwa khayalan-khayalan teologis, ritual liturgis simbolis, dan praktik-praktik sakral adalah produk masa lalu yang akan memudar dalam masa modern. Matinya agama merupakan keyakinan yang luas diterima dalam ilmu-ilmu sosial selama sebagian abad ke 20; tak diragukan, hal itu telah dianggap sebagai model utama dari penelitian sosiologis, di mana sekularisasi disejajarkan dengan birokratisasi, rasionalisasi, dan urbanisasi sebagai revolusi-revolusi historis utama yang mengubah masyarakat agraris lama menjadi masyarakat industri modern. Sebagaimana dikemukakan oleh C. Wright Millsmenyangkut proses ini: “Dunia pernah dipenuhi dengan yang sakral dalam pemikiran, praktik, dan bentuk kelembagaan. Setelah reformasi dan renaisans, kekuatan-kekuatan modernisasi menyapu dunia, dan sekularisasi, sebagai proses historis yang mengikutinya, memperlemah dominasi dari yang sakral. Pada waktunya, yang sakral akan sepenuhnya menghilang, kecuali mungkin dalam wilayah pribadi.” [11] Pandangan inilah yang nantinya dikenal sebagai teori modernisasi dalam menganalisa hubungan agama dan negara.[12]
F.      Dampak Modernisasi dan Sekularisasi terhadap Agama
Yang perlu diperhatikan dengan adanya sekularisasi ini adalah semakin merosotnya moral budaya dan agama kita sendiri (dunia ketiga). Proses kemajuan yang diinginkan moderniasasi malah semakin memisahkan manusia dengan manusia. Kemajuan teknologi di masyarakat bukan lagi hal yang sulit kita temui, perkembangan teknologi ini mulai teraktualisasi melalui media elektronik, seperti Handphone, Internet, Televisi, dll. Masyarakat semakin mudah mengakses informasi dari dunia luar. Meskipun pada fungsi normatifnya, penemuan teknologi ini adalah untuk mempermudah masyarakat untuk menambah wawasan, pengetahuan dan informasi yang berguna. Namun pada perjalananya, di dalam kemajuan elektronik itu malah menjerumuskan masyarakat ke dalam hal-hal yang merugikan. Misalnya, maraknya situs porno di Internet.
Sistem ekonomi yang ditawarkan oleh negara maju sangat mudah masuk kedalam negara maju. Berkembangnya Liberasisme yang membebaskan individu untuk mengembangkan modal dan merugikan yang tidak punya modal. Dengan sistem ini kemudian masyarakat tergolong ke dalam kelas-kelas masyarakat (Marx), ada yang kaya untuk mengekploitasi yang miskin.
Banyak anggapan masyarkat bahwa ketika kita masih berpegang kepada agama maka kita akan ketinggalan zaman. Klaim universal ini semakin menjadi tombak masyarakat itu sendiri. Anggapan bahwa agama hanyalah penghalang untuk menjadikan masyarakatnya untuk bersaing. Padahal di dalam agama anjuran untuk menjadi maju dan berkembang itu sudah tertulis dalam kitab suci (Al-Quran).
Modernisasi mempunyai hubungan saling keterkaitan dengan agama. Modernisasi dengan adanya sekularisasi akan mengkerdilkan agama dan disatu sisi merasionalkan agama kedalam kehidupan yang tidak hanya berkecimpung dalam hubungan vertikal. Dan juga, agama harus menkontrol arus zaman ini, dengan adanya reaktualisasi nilai-nilai agama yang terkadung dalam teks.[13]
PENUTUP
Kesimpulan
Saat ini, dunia telah menjadi modern. Yang mana, budaya modern menjadikan pemikiran-pemikiran manusia menjadi sekuler. Munculnya, sekularisme dan sekularisasi adalah akibat dari adanya budaya modernisme yang semakin lama semakin membudaya saja. Sekularisasi merupakan pemisahan antara agama dengan dunia yang mana orang cenderung meninggikan dunia nya daripada agamanya. Maka, dalam dunia modern ini, agama semakin tidak mempunyai peran dalam kehidupan manusia. Karena manusia cenderung mementingkan dunia daripada agamanya. Ini merupakan hubungan antar ketiga subyek tersebut diatas, dan sekaligus merupakan dampak atas membudayanya modernisme dan modernisasi.







DAFTAR PUSTAKA
Hartono SJ, Teologi dan Praksis Komunitas Post Modern, (Yogyakarta: Kanisius), 1994, Cet.
Hardjana, Agus M, Religiositas, Agama, dan Spiritualitas, (Yogyakarta: KANISIUS), 2009, cet. V,
Hendropuspito, Sosioologi Agama, (Jakarta: BPK Gunung Mulia), 2006, cet. XXII, h. 34
Nurcholis Madjid, Islam, Keindonesiaan, dan Kemodernan, (Bandung: Mizan), 1987, h. 244
Maryati, Kun, Sosiologi SMA Kls XII, (Surabaya: Erlangga), 2001, jil. 3
Pippa Noris, Ronald Inglehart, Sekularisasi Ditinjau Kembali Agama dan Politik di Dunia Dewasa Ini, (Jakarta: Pustaka Alvabet&IKAPI), cet. 1, 2009
Rachman, Munawar Budhy, Argumen Islam Untuk Sekularisme, (Jakarta: Grasindo)
Yuni Sare, Antropologi SMA XII, (Jakarta: Grasindo), 2009
Amrizalulya, MODERNISASI DAN SEKULARISASI POLITIK: Sebuah Definisi, diakses pada 26 oktober 2013, dari http://amrizalulya.wordpress.com/2011/12/03/pendahuluanoleh/




[1] Beberapa definisi agama. Agama sebagai jalan dan cara hidup; Agama adalah rangkaian tindakan khas khas seperti do’a, ibadat, dan upacara; agama adalah perasaan tergantung secara mutlak pada satu realitas yang mengatasinya. Hardjana, Agus M, Religiositas, Agama, dan Spiritualitas, (Yogyakarta: KANISIUS), 2009, cet. V, h. 50
[2] (Haviland, 1988: 195-197) mendefinisikkan agama sebagai kepercayaan dan pola perilaku yang dimiliki oleh manusia untuk menangani masalah-masalah penting dan aspek-aspek alam semesta yang tidak dapat dikendalikannya dengan teknologi maupun sistem organisasi sosial yang dikenalnya. (Antony F.C. Wallace): agama sebagai seperangkat upacara yang diberi rasionalisasi lewat mitos dan menggerakkan kekuatan-kekuatan supernatural dengan maksud untuk mencapai atau justru menghindari terjadinya perubahan keadaan pada manusia atau alam semesta.Yuni Sare, Antropologi SMA XII, (Jakarta: Grasindo), h. 31
[3] J Milton Yinger mellihat agama sebagai sistem kepercayaan dan praktek dengan mana suatu masyarakat atau kelompok manusia berjaga-jaga mengahadapi masalah terakhir dari hidup ini. Dunlop mendefinisikan agama sebagai sarana terakhir yang sanggup menolong manusia bilamana instansi lainnya gagal tak berdaya. Ia merupakan institusi atau bentuk kebudayaan yang menjalankan fungsi pengabdian kepada umat manusia yang tidak ada pada lembaga lain. Hendropuspito, Sosioologi Agama, (Jakarta: BPK Gunung Mulia), 2006, cet. XXII, h. 34
[4] Hendropuspito, Sosiologi Agama, h. 35
[5] Hendropuspito, Sosiologi Agama, h. 136
[6] Nurcholis Madjid, Islam, Keindonesiaan, dan Kemodernan, (Bandung: Mizan), 1987, h. 244
[7] Rachman, Munawar Budhy, Argumen Islam Untuk Sekularisme, (Jakarta: Grasindo), h. 16
[8]Berikut pengertian Modernisasi oleh para sosiolog, yaitu: 1. Menurut Wibert E. Moore, modernisasi adalah suatu transformasi total kehidupan bersama dalam bidang teknologi dan organisasi sosial dari yang tradisional ke arah pola-polaekonomis dan politis yang didahului oleh negara-negara Barat yang telah stabil. 2. Koentjaraningrat: adalah usaha untuk hidup sesuai dengan zaman dan keadaan dunia sekarang. 3. Soerjono Soekanto: adalah suatu bentuk dari perubahan sosial yang biasanya terarah dan didasarkan pada suatu perencanaan (social planning). 4. Astrid S. Susanto: ada;lah suatu proses pembangunan yang memberikan kesempatan ke arah perubahan demi kemajuan. 5. Ogburn dan Nimkof: adalah suatu usaha untuk mengarahkan masyarakat agar dapat memproyeksikan diri ke masa depan yang nyata dan bukan pada angan-angan semu.  Maryati, Kun, Sosiologi SMA Kls XII, (Surabaya: Erlangga), 2001, jil. 3, h. 33
[9] Hartono SJ, Teologi dan Praksis Komunitas Post Modern, (Yogyakarta: Kanisius), 1994, Cet. I, h. 29
[10] Rachman, Munawar Budhy, Argumen Islam Untuk Sekularisme, h. 12
[11] Pippa Noris, Ronald Inglehart, Sekularisasi Ditinjau Kembali Agama dan Politik di Dunia Dewasa Ini, (Jakarta: Pustaka Alvabet&IKAPI), cet. 1, 2009 h. 3
[12] Amrizalulya, MODERNISASI DAN SEKULARISASI POLITIK: Sebuah Definisi, diakses pada 26 oktober 2013, dari http://amrizalulya.wordpress.com/2011/12/03/pendahuluanoleh/
[13] Pippa Noris, Ronald Inglehart, Sekularisasi Ditinjau Kembali Agama dan Politik di Dunia Dewasa Ini, (Jakarta: Pustaka Alvabet&IKAPI), cet. 1, 2009 h. 3

insan kamil



PENDAHULUAN
Tasawuf atau sufisme sebagaimana halnya dengan mistisime diluar agama islam mempunyai tujuan memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan. Sehingga disadari benar bahwa seseorang berada di hadirat Tuhan. Sedangkan intasari dari mistisisme, termasuk di dalam sufise ialah kesadaran akan adanya komunikasi dengan Tuhan dengan jalan mengasingkan diri dan berkontemplasi.
Dalam dunia sufi berbagai macam aliran yang memiliki jalan yang berbeda untuk dapat berada sedekat mungkin dengan Tuhan. Salah satu nya, adalah Insan Kamil. Maka, disini penyusun akan menulis tentang Insan Kamil, menurut Pandangan Ibnu Arabi dan Abdul Karim al Jilli.

PEMBAHASAN
A.    Pengertian Insan Kamil
Insan Kamil artinya adalah manusia sempurna, berasal dari kata al-insan yang berarti manusia dan al-kamil yang berarti sempurna. Konsepsi filosofid ini pertama kali muncul dari gagasan tokoh sufi Ibnu Arabi. Oleh Abdul Karim bin Ibrahim al-Jili (1365-1428), pengikutnya, gagasan ini dikembangkan menjadi bagian dari renungan mistis yang bercorak tasawuf filosofis.[1] Secara umum, istilah "insan kamil" sering dimaknai orang sebagai manusia sempurna.[2]
Insan kamil ialah manusia yang sempurna dari segi wujud dan pengetahuannya. Kesempurnaan dari segi wujudnya ialah karena dia merupakan manifestasi sempurna dari citra Tuhan, yang pada dirinya tercermin nama-nama dan sifat Tuhan secara utuh. Adapun kesempurnaan dari segi pengetahuannya ialah karena dia telah mencapai tingkat kesadaran tertinggi, yakni menyadari kesatuan esensinya dengan Tuhan, yang disebut makrifat.[3]
B.     Ibnu Arabi
Nama lengkap Ibn Arabi adalah Muhammad bin Ali bin Ahmad bin Abdullah Ath-Tha’I Al-Haitami dan ia biasa dipanggil dengan nama Abu Bakar, Abu Muhammad dan Abu Abdullah namun gelarnya yang terkenal adalah Ibnu Arabi. Ia lahir di Murcia, Andalusia Tenggara, Spanyol, tahun 560 H, dari keluarga berpangkat, hartawan, dan ilmuwan. Dan wafat pada 638 H di Damaskus, makamnya terletak di bawah gunung Qayisun di Syiria. Namanya biasa disebut tanpa “Al” untuk membedakan dengan Abu bakar Ibn Al-Arabi, seorang qadhi dari Sevilla yang wafat tahun 543 H. Di Sevilla (Spanyol), ia mempelajari Al-Qur’an, hadits serta fiqih pada sejumlah murid seorang fakih Andalusia terkenal, yakni Ibn Hazm Al-Zhahiri.
Setelah Ibnu Arabi melewati hidupnya di Murcia, ia bersama orang tuanya pindah ke Sevilla di mana di kota ini ia tumbuh dan berkembang dengan memasuki alam pendidikan sebagaimana lazimnya. Setelah dirasakan cukup menuntut ilmu di kota ini, ia pindah ke Cordova melanjutkan pelajaran yang lebih tinggi dan lebih luas. Ia mempelajari Ilmu Fiqh, Tafsir, Hadits dan lain-lain dengan lancar dan berhasil karena kemampuan dan kecerdasan yang dimilikinya serta dukungan dari orang tuanya yang dapat diandalkan. Guru-gurunya cukup banyak, di antaranya Syekh Abu Madian. Pada usia yang relatif muda, ia bertemu dengan dua wanita sufi terkemuka yaitu Yasmin Mursyaiyah dan Fatimah Qurthubiyah. Pertemuannya dengan kedua sufi wanita itu amat berpengaruh dalam dirinya dan secara tidak langsung memberi arah kepada perjalanan hidupnya. Khususnya dengan Fatimah dari Cordova itu, seorang tua dengan Ilmu yang luas dalam kerohanian, telah mengajari dan membimbing kerohanian Ibnu Arabi selama tidak kurang dari dua tahun. Ibnu Arabi yang masih muda telah memperoleh Ilmu dan berkecenderungan ke arah kerohanian.
Atas dorongan  ayahnya, ia bertemu dengan filosof Islam yang besar Ibnu Rusydi. Setelah ia berkali-kali bertemu dengan Ibnu Rusydi dan setiap kali pertemuan itu menunjukkan perhatian dan keakraban yang luar biasa dari masing-masing dan selalu terjadi tukar pendapat. Masa berikutnya, Ibnu Arabi melanglang ke berbagai negeri Islam di Andalusia dan Afrika Utara, untuk bertemu dengan para sufi dan filosof, belajar dan membutiri hikmah-hikmah mereka. Di Tunisia ia bertemu dengan kitab Ibnu Qasyim yang berjudul Khal’un Na’laini (kata-kata dalam ayat 12 surat Thaaha) dan berkesempatan mempelajari dan mensyarahkannya. Ia juga berkesempatan mengunjungi perguruan al-Mariyah di bawah pimpinan Ibnu Masarrah dan kemudian dilanjutkan oleh Ibnu Arief. Dalam perenungan-perenungan di madrasah ini ia memastikan untuk memasuki alam tasawuf.[4]
Ibnu Arabi (1165-1240), tanpa diragukan, adalah pemikir paling penting dan berpengaruh dalam sejarah pemikiran islam belakangan. Filsafat mistiknya, yang kemudian disebut kesatuan wujud (wahdad al wujud), mendominasi seluruh wilayah budaya muslim belakangan. Pengaruhnya begitu mendalam sehingga sungguh mustahil untuk memahami sejarah pemikiran islam setelah abad ke-13 tanpa pemahaman yang baik tentang pemikiran Ibnu Arabi. Khususnya di dunia sunni, dimana teologi rasional (kalam) mengalami pengerasan secara bertahap dan filsafat hellenistik (falsafah) menghilang karenanya sungguh tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa pemikiran ibnu arabi menjadi satu-satunya teologi dan filsafat. Begitu juga syi’ah di Iran, dimana filsafat dan teologi terus dikembangkan, pengaruh Ibnu Arabi sangatlah mencolok pikirannya telah kuat menyatu dengan teologi syiah sejak Haidar Amuli dan Ibnu Abi Jumhur, dan menjadi salah satu sumber utama tradisi filsafat syi’ah, sebagaimana diwakili oleh mulah Shadra. Bahkan dalam bidang puisi yang sejak dulu menjadi ungkapan yang paling disukai, tidak luput dari pengaruh Ibnu Arabi yang diterima luas. Tidak saja penyair-penyair sufi mempuisikan filsafatnya, tapi juga puisi-puisi para guru besar sufisme, ibnu faridh dan jalaluddin rumi, diinterpretasikan oleh para komentator berdasarkan filsafat ibnu arabi.
Disamping menjadi filsafat penting dan berpengaruh, Ibnu Arabi dianggap sebagai pemikir islam paling sulit yang pernah dihasilkan islam.[5]
C.     Abdul Karim al Jilli
Nama lengkapnya Abdul Karim Ibnu Ibrahim ibnu Khalifah Ibnu Ahmad Ibnu Mahmud al-Jilli. Kapan ia lahir dan wafat, dimana ia lahir dan wafat, para sejarawan dan pengamat sufi berbeda pendapat. Al-Jilli memang sufi yang misterius, karena riwayat hidupnya juga sangat sulit dilacak. Menurut pengamat sufi Ignaz Goldziher, Al-Jilli lahir di sebuah desa dekat Bagdad yang bernama Al-Jil – yang kemudian dinisbatkan di belakang namanya.
Tetapi hal itu kemudian dibantah oleh Nicholson, pengamat sufi yang lain, dalam sebuah bukunya ia menulis, Al-Jilli bisa diartikan sebagai pertalian nasab, keturunan. Jil  atau Jilan menunjukkan bahwa Al-Jilli keturunan orang Jilan, sebuah daerah di wilayah Bagdad. Argumentasi ini sejalan dengan beberapa buku mengenai karya Al-Jilli yang menyebutkan bahwa ia masih keturunan Syekh Abdul Qadir Al Jilani, pendiri tarekat Qadiriyah.
Menurut Al-Jilli, garis nasabnya tersambung dari cucu perempuan Syekh Abdul Qadir Jailani. Tapi beberapa ulama dan pengamat sufi sepakat, Al-Jilli lahir pada bulan Muharram tahun 767 H di Baghdad, Irak. Namun mengenai wafatnya para ulama dan pengamat sufi – seperti At-Taftazani, AJ. Arberry maupun Umar Ridha Kahhalah – tidak sepakat.[6]
D.    Konsep Insan Kamil Ibnu Arabi
Doktrin Insan Kamil terkait erat dengan wahdat al wujud yang merupakan dasar metafisisnya, adalah intisari ajaran Ibn Arabi. Yang pertama menggunakan ungkapan ini sebagai suatu istilah teknis di duga adalah Ibnu Arabi.[7]
Ibn Arabi memandang insan kamil sebagai wadah tajalli Tuhan yang paripurna. Pandangan demikian didasarkan pada asumsi, bahwa segenap wujud hanya mempunyai satu realitas. Realitas tunggal itu adalah wujud mutlak yang bebas dari segenap pemikiran, hubungan, arah dan waktu. Ia adalah esensi murni, tidak bernama, tidak bersifat dan tidak mempunyai relasi dengan sesuatu.
Kemudian, wujud mutlak itu ber tajalli secara sempurna pada alam semesta yang serba ganda ini. Tajalli tersebut terjadi bersamaan dengan penciptaan alam yang dilakukan oleh Tuhan dengan kodrat Nya dari tidak ada menjadi ada.[8]
Ibnu Arabi membedakan antara manusia sempurna pada tingkat universal dengan manusia sempurna pada tingkat individual. Manusia sempurna pada tingkat universal adalah model asli yang abadi dan permanen dari manusia sempurna individual, sedangkan manusia sempurna pada tingkat partikular adalah perwujudan manusia sempurna, yaitu para nabi dan para wali Allah.
Bagi Ibnu Arabi, Tuhan mempunyai banyak cermin yang jumlah nya tidak terbatas. Tuhan adalah Esa, tapi bentuk atau gambar Nya banyak, sebanyak cermin yang memantulkan bentuk atau gambar ini. Cermin paling sempurna bagi Tuhan adalah manusia sempurna, karena ia memantulkan semua nama dan sifat Tuhan, sedangkan makhluk-makhluk lain memantulkan hanya sebagian nama dan sifat itu.[9]
Bagi para sufi, alam dunia adalah cermin dan sifat-sifat Tuhan dan nama-nama indah-Nya (al-asmā’ al-husnā). Masing-masing tingkat eksistensi yaitu mineral, tumbuhan dan hewan dipandang mencerminkan sifat-sifat tertentu Tuhan. Di tingkat mineral, misalnya, keindahan Tuhan tercermin sampai batas tertentu, dalam batu-batuan atau logam mulia. Demikian juga dalam dunia tumbuh-tumbuhan ribuan jenis bunga-bunga dengan aneka warnanya yang unik dan serasi tidak henti-hentinya mengilhami para penyair dengan inspirasi yang sangat mengesankan. Begitu pula, pesona yang diberikan oleh berbagai jenis hewan yang sangat beraneka bentuk dan posturnya. Tetapi dari semua makhluk yang ada di alam dunia, tidak ada yang bisa mencerminkan sifat-sifat Tuhan secara begitu lengkap kecuali manusia. Ini karena manusia sebagai mikrokosmos (dunia kecil, manusia bagian kecil dari alam semesta) yang terkandung di dalamnya seluruh unsur kosmik, bisa mencerminkan seluruh sifat Ilahi dengan sempurna, ketika ia telah mencapai tingkat kesempurnaannya, yang disebut insan kamil, manusia sempurna, atau manusia universal.[10]
Setiap makhluk adalah penampakan diri Tuhan, dan Manusia Sempurna adalah penampakan diri Tuhan yang paling sempurna. Manusia Sempurna menyerap semua nama dan sifat Tuhan secara sempurna dan seimbang. Hal ini sesuai dengan pandangan Ibnu Arabi tentang tafadul, keadaan bahwa sebagian makhluk melebihi sebagian lain. Intensitas penampakan nama-nama Tuhan pada masing-masing makhluk bervariasi sesuai dengan kesiapan masing-masing makhluk untuk menerima penampakan itu. Benda-benda mineral mempunyai kesiapan yang paling kecil untuk menerima penampakan nama-nama Tuhan. Manusia mempunyai kesiapan yang paling besar menerima penampakan nama-nama Tuhan. Manusia dapat menerima penampakan semua nama Tuhan.
Sifat asli manusia, yang mempunyai potensi untuk menerima penampakan semua nama Tuhan, didasarkan pada sebuah hadis, “Sesungguhnya Allah telah menciptakan Adam menurut bentuk Nya”. Adam disini adalah manusia dalam arti universal, atau hakikat manusia. Dalam Bibel juga dikatakan bahwa, manusia diciptakan menurut bentuk Allah.[11] Isi yang terdapat dalam Alkitab tersebut ialah: Berfirmanlah kepada Allah: ”Baiklah kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan dilaut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi” (26), “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar Nya, menurut gambar Allah diciptakanNya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan Nya mereka. (27).[12]
Kesempurnaan manusia terletak pada apa yang disebut perpaduan. Perpaduan berarti manusia memadukan atau mencakup dalam dirinya semua nama dan sifat Tuhan dan semua realitas alam.  Bentuk dari manusia adalah kehadirat Ilahi yang identik dengan nama-nama Tuhan, yang meliputi nama-nama zat, nama-nama sifat, dan nama-nama perbuatan.
Konsekuensi ontologis sifat teomorfis manusia, yang menampakkan dirinya pada alam sebagai keseluruhannya, adalah bahwa ia mencakup semua realitas alam. Manusia adalah totalitas alam, atau alam kecil atau mikrokosmos. Maka alam, olehnya disebut alam besar atau makrokosmos.
Perpaduan pada manusia berarti pula perpaduan sifat-sifat yang berlawanan sesuai dengan nama-nama dan sifat-sifat Tuhan yang berlawanan, yang termanifestasi. Manusia adalah baru dari aspek bentuk badaniyah nya dan azali dari aspek ilahinya. Manusia adalah kata yang memisahkan, artinya ia berdiri sebagai batas pemisah atau pembeda antara Tuhan dan alam karena ia adalah bentuk Tuhan dan alam adalah cermin yang memantulkan bentuk itu, sedangkan Tuhan adalah zat yang bentuknya adalah manusia. Ibn Arabi sering menyebut, manusia perantara antara Tuhan dan alam. Selain itu, manusia adalah perpaduan semua nama Tuhan, dan perpaduan antara sifat-sifat ketuhanan dan sifat-sifat kemakhlukan.
Perpaduan, Ibnu Arabi beranggapan bahwa salinan yang tampak dapat disamakan dengan alam secara keseluruhannya, dan salinan yang tersembunyi dapat disamakan dengan kehadiran Ilahi. Semua nama Tuhan yang saling berlawanan termanifestasi pada manusia. Perpaduan adalah keutamaan manusia di atas makhluk lain yang memberinya kedudukan khilafah , kewakilan sebagai hak istimewa yang tidak diberikan Allah kepada makhluk lain. Perpaduan adalah syarat mutlak untuk menduduki jabatan khilafah.
Alam adalah cermin bagi Tuhan. Tujuan penciptaan alam adalah supaya Tuhan dikenal melalui alam, yang merupakan cermin bagi Nya. Tujuan ini tidak akan tercapai tanpa manusia. Itulah sebabnya mengapa manusia oleh Ibnu Arabi dipandang sebagai tujuan alam atau sebagai tujuan terakhir bagi penciptaan alam atau sebagai tujuan akhir bagi penciptaan alam, yaitu bahwa manusia adalah perantara bagi perealisasian tujuan ini karena Allah menciptakan alam supaya melalui manusia, Dia dikenal. Maka, dapat dikatakan bahwa manusia adalah sebab adanya alam. Alam tidak dapat memantulkan cermin itu dengan jelas. Manusia lah yang menjadikan cermin itu bening, dan memantulkan gambar Tuhan dengan jelas. Manusia adalah cermin dan gambar Tuhan yang paling sempurna.
Manusia sempurna pada tingkat partikular atau individual. Ibnu Arabi menunjukkan perbedaan antara manusia sempurna dan manusia binatang. Tidak semua manusia dapat menjadi manusia sempurna, hanya manusia-manusia pilihan khusus tertentu menjadi manusia sempurna. Manusia-manusia itu adalah para nabi dan para wali Allah.
Tulis kutipan hal 133
Khilafah di alam diberikan oleh Allah kepada manusia sempurna atas dasar kualifikasi yang dimilikinya gambar sempurna. Manusia diberi Allah kedudukan sebagai khalifah karena ia adalah perpaduan semua nama Tuhan dan semua realitas alam. Aspek lahir manusia adalah makhluk dan aspek batinnya adalah Tuhan, selainnya adalah manusia binatang. Manusia binatang memiliki sifat persis seperti sifat semua binatang. Ia berbeda dengan binatang-binatang lain hanya dalam differentia yang merupakan sifatnya, seperti perbedaan antara sebagian binatang dan sebagian lainnya dalam differentia.
Manusia pada pandangan Ibnu Arabi bukanlah merupakan binatang berakal. Kemampuan berpikir bukanlah sifat utama yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya karena keseluruhan alam mempunyai kemampuan ini pula. Sifat manusia yang membedakan dengan makhluk lainnya adalah bentuk ilahi.
Bagi Ibnu Arabi, manusia yang tidak mencapai kesempurnaan sangatlah hina. Manusia ini bentuk lahirnya memang manusia, tapi nilai dan derajatnya sama dengan mayat.
Kedua kategori tersebut (manusia sempurna dengan manusia binatang) disamakan oleh Ibnu Arabi pada kesempatan lain dengan pengklasisfikasian lain, yaitu hamba Tuan dengan hamba nalar.
Pertama: hamba Tuan, yang disebut juga dengan sufi gnostik. Yakni manusia yang jiwa dan kalbunya suci. Manusia ini berada dalam keadaan formasi ukhrawi. Manusia kategori ini mengetahui Allah dari segi tajalli Nya kepadanya, bukan dari segi nalar rasionalnya. Ibnu Arabi memberikan penghargaan penuh pada hamba Tuan ini. Bagi nya, tidak ada yang lebih berakal dari para rasul.
Kedua: hamba nalar, adalah manusia yang terikat kepada badan dan hawa nafsunya. Manusia kategori ini berada dalam formalitas duniawi. Ia mengetahui Tuhan dengan nalar pikiran, dengan akal. Ia adalah abdi akal, bukan abdi Rabb.
Yang dimaksud Ibnu Arabi dengan hamba Tuan adalah manusia sempurna pada tingkat partikular, individual, atau historis, yang terbatas pada orang-orang pilihan khusus tertentu; sedangkan yang dimaksud dengan hamba nalar adalah manusia binatang yang diwakili oleh mayoritas orang di muka bumi ini.
Selain hal tersebut, pengklasifikasian tipikal lain yang tidak bersifat dikotomis diberikan pula oleh Ibn Arabi. Dalam pengklasifikasian ini, manusia sebagai pencari ma’rifah dibagi menjadi tiga kategori:
Pertama : Gnostik (arif), ahli ma’ruf (ahl al ma’ruf), alim, orang yang sampai pada pembuktian kebenaran, dan ahli penyingkapan intuitif. Manusia kategori ini mengetahui Tuhan melalui penyingkapan intuitif, kesaksian, dan rasa. Ia bergerak bersama Tuhan dimana pun Tuhan bergerak dan meyaksikan wajah Tuhan pada setiap obyek pandangan.
Kedua: Ahli iman dan muslim mu’min. Manusia kategori ini mengetahui Tuhan melalui kesaksian imajinasi berdasar pada apa yang dibawa oleh para nabi dan para rasul dari Tuhan. Ia tidak berani kritis terhadap apa yang dianggapnya bertentangan dengan akal. Ia memahami ayat al Qur’an sebagaimana adanya dan tidak berusaha menakwilkan dan memalingkan ayat-ayat itu dari arti lahirnya. Ia tidak menangkap hakikat maknanya yang lebih dalam.
Ketiga: Pemilik pikiran, pemilik nalar, dan tuan pikiran. Bentuk Tuhan yang ditangkapnya adalah bentuk yang dicocokkan dengan kotak akalnya. Ia tidak menerima apa pun sebagai kebenaran jika bertentangan dengan akal.
Proses yang harus dilalui oleh seseorang agar ia menjadi manusia sempurna yaitu al takhallaq bi akhlaq Allah, atau al takhallaq bi asma’ Allah. Takhalluq berarti menafikan sifat-sifat kita sendiri dan menegaskan sifat-sifat Allah, yang ada pada kita, meskipun dalam bentuk potensial. Sesuai dengan doktrin wahdatul wujud, takhalluq berarti pula menafikan wujud kita dan menegaskan wujud Allah karena kita dan segala sesuatu selain Allah tidak sempurna wujud kecuali Allah tidak mempunyai wujud kecuali dalam arti kias. Takhalluq adalah menerima atau mengambil nama-nama Allah yang telah ada pada diri kita tetapi masih terbentuk potensial. Takahlluq adalah membuat nama-nama Tuhan yang berbentuk potensial dalam diri kita menjadi aktual. Takhalluq dicontohkan dengan sempurna oleh Nabi Muhammad saw. Takhalluq adalah jalan menuju Tuhan yang melahirkan akhlak mulia. Bagi Ibnu Arabi, takhalluq adalah sinonim dari tasawuf. Tasawuf ialah mengikatkan diri kepada kelakuan-kelakuan baik menurut syara’ secara lahir dan batin, dan itu adalah akhlak mulia. Jalan spiritual menuju Tuhan yang membuahkan akhlak mulia, harus berpedoman kepada syara’. Ketaatan manusia pada syara’ adalah bukti ketaatan pada Allah. Dilihat dari sudut hubungan antara hamba dan Tuhannya, kekuatan ini adalah ‘ubudiyah (penghambaan). Ibnu Arabi mengatakan bahwa upaya manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah tidak akan berhasil kecuali melalui ‘Ubuduiyah.
Bagi Ibnu Arabi, kesempurnaan manusia tergantung kepada ‘Ubudiyah, yang menurut ketaatan mutlak pada Allah dengan mengikuti syari’at yang diturunkan Nya. Syari’at adalah timbangan dan pemimpin bagi manusia untuk berakhlak dengan akhlak Allah. Disini, takhalluq adalah ketaatan mutlak kepada Allah, ketaatan itu tidak lain dari ‘ubudiyah, dan ‘ubudiyah tidak lain dari khilafah. Perpaduan sempurna antara ‘ubudiyah dan khilafah terwujud pada Nabi Muhammad saw.
Perbedaan antara manusia sempurna dengan manusia binatang adalah relatif karena seseorang, sekalipun dalam aktualitas bukan manusia sempurna, tetapi mempunyai kemungkinan mencapai tingkat kesempurnaan.
Manusia sempurna menyerap semua nama dan sifat Tuhan secara sempura dan seimbang. Manusia sempurna adalah selalu pasrah, tunduk, patuh, dan taat kepada Tuhan. Kesempurnaan dapat dicapai manusia karena ia diciptakan Tuhan menurut gambar Nya yang ada dalam potensialitas. Kesempurnaan akan terwujud dalam diri manusia pada tingkat individual dan historis, apabila ia mampu mengubah gambar Tuhan dalam potensialitas yang telah ada dalam dirinya menjadi gambar Tuhan dalam aktualitas. Dengan alasan ini, doktrin Ibnu Arabi tidak dpat disebut “humanisme antroposentrisme”, tetapi “humanisme teosentris”.[13]
E.     Konsep Insan Kamil Abdul Karim al jilli
Abdul Karim al Jilli adalah pengikut Ibnu Arabi. Dan beliau mengembangkan gagasan ini menjadi bagian dari renungan mistis yang bercorak tasawuf filosofis. Al Jilli merujuk pada diri Nabi Muhammad sebagia contoh manusia ideal.
Al Jilli mengidentifikasikan insan kamil dengan dua pengertian, yaitu:
a.       Insan Kamil dalam pengertian konsep pengetahuan mengenai manusia yang sempurna. Insan Kamil terkait dengan pandangan mengenai sesuatu yang mutlak, yaitu Tuhan.
b.      Insan Kamil terkait dengan jati diri yang mengidealkan kesatuan nama serta sifat-sifat Tuhan ke dalam hakikat atau esensi dirinya.
Bagi al Jilli, manusia dapat mencapai jati diri yang sempurna melalui latihan rohani dan mendakian mistik. Latihan rohani ini diawali dengan manusia bermeditasi tentang nama dan sifat-sifat Tuhan, dan mulai mengambil bagian dalam sifat-sifat Ilahi serta mendapatkan kekuasaan yang luar biasa. Pada tingkat ketiga, ia melintasi daerah nama serta sifat Tuhan, masuk ke dalam suasana hakikat mutlak, dan kemudian menjadi manusia Tuhan atau insan kamil. Mata nya menjadi mata Tuhan, kata-katanya menjadi kata-kata Tuhan, dan hidup Tuhan (nur muhammad).[14]
Konsepsi al Jilli mengenai insan kamil ini, tidak lebih hanya sebagai penerus konsep Ibnu Arabi dan andilnya hanya terdapat dalam upaya memperjelas dan mensisitematisasi konsep insan kamil Ibnu Arabi yang telah ada dengan pengembangan yang lebih jauh mengenai konsep insan kamil Ibnu Arabi.[15]
Al-Jili membagi insan kamil atas tiga tingkatan, yaitu:
1.      Tingkat pertama disebutnya sebagai tingkat permulaan (al-bidāyah). Pada tingkat ini insan kamil mulai dapat merealisasikan asma dan sifat-sifat Ilahi pada dirinya.
2.      Tingkat kedua adalah tingkat menengah (at-tawasut). Pada tingkat ini insan kamil sebagai orbit kehalusan sifat kemanusiaan yang terkait dengan realitas kasih Tuhan (al-haqāiq ar-rahmāniyah). Sementara itu, pengetahuan yang dimiliki oleh insan kamil pada tingkat ini juga telah meningkat dari pengetahuan biasa, karena sebagian dari hal-hal yang gaib telah dibukakan Tuhan kepadanya.
3.      Tingkat ketiga ialah tingkat terakhir (al-khitām). Pada tingkat ini insan kamil telah dapat merealisasikan citra Tuhan secara utuh. Di samping itu, ia pun telah dapat mengetahui rincian dari rahasia penciptaan takdir. Dengan demikian pada insan kamil sering terjadi hal-hal yang luar biasa.[16]
Al-Jilli merumuskan beberapa maqamat yang harus dilalui oleh seorang sufi. Dalam istilahnya, maqamat itu disebut Al-martabah (jenjang/tingkatan). Tingkatan tersebut adalah:
1) Islam. Islam yang didasarkan pada lima pokok atau rukun dalam pemahaman kaum sufi yang tidak hanya dilakukan secara ritual, tetapi harus dipahami dan dirasakan lebih dalam.
2) Iman, yakni membenarkan dengan sepenuh keyakinan akan rukun iman dan melaksanakan dasar-dasar islam. Iman merupakan tangga pertama untuk mengungkap tabir alam gaib dan alat yang membantu seorang untuk mencapai maqam yang lebih tinggi.
3)Ash-Shalah. Pada maqam ini seorang sufi mencapai tingkatan ibadah yang terus-menerus kepada Allah dengan perasaan khauf dan raja’.
4)Ihsan. Maqam ini menunjukkan bahwa seorang sufi mencapai tingkat menyaksikan efek (atsar) nama dan sifat Tuhan, sehingga dalam ibadahnya merasa seakan-akan berada di hadapan-Nya.
5)Syahadah. Pada maqam ini
, seorang sufi telah mencapai iradah yang bercirikan mahabbah kepada tuhan tanpa pamrih, mengingat-Nya terus-menerus.
6)Shiddiqiyah. Istilah ini menggambarkan tingkat pencapaian hakikat ma’rifat yang diperoleh secara bertahap dari ilmu al-yaqin, ‘ain al-yaqin, dan haq al-yaqin.
7)Qurbah. Ini merupakan maqam yang memungkinkan seseorang sufi dapat menampakkan diri Dalam sifat dan nama yang mendekati sifat dan nama Tuhan.[17]
F.      Tahapan-Tahapan Menuju Insan Kamil
Dengan menerima gagasan Ibn Arabi tentang kesamaan wujud, al Jilli mengemukakan bahwa penampakan dari Tuhan itu melalui tiga tahap manifestasi beruntun yang disebutnya: “Kesatuan” (Ahadiyah). “Ke Diaan” (Hiwiyah), dan “Keakuan” (Aniyah).
Pada tahap Ahadiyah, Tuhan dalam keabsolutannya baru keluar dari al ‘ama, kabut kegelapan, tanpa nama dan sifat. Pada tahap Huwaiyah, zat dan sifat Tuhan telah muncul, tetapi Ia masih dalam bentuk potensi. Pada tahap Aniyah, Tuhan menampakkan diri dengan nama-nama Nya dan sifat-sifat Nya.
Manusia merupakan penampakkan dari Tuhan yang paling sempurna diantara semua makhluk Nya, namun penampakkan diri Tuhan tidak sama pada semua manusia. Penampakan diri Tuhan yang sempurna hanya terdpat dalam Insan Kamil. Dan jalan untuk menuju ke tingkatan Insan Kamil, menurut al Jilli adalah dengan pengamalan islam, Iman, Shalah, Ihsan, Syahadah, Shiddiqiyah, dan Qurbah. Melalui beberapa tahapan yaitu: Mubtadi, Mutawasir, dan Ma’rifat yang kemudian mencapai maqam khatam (penghabisan).
Pada tingkat Mubtadi, seseorang sufi disinari oleh nama-nama Tuhan, pada sufi yang demikian Tuhan menampakkan diri dalam nama-nama Nya seperti pengasih, penyayang, dan seterusnya. Pada tingkat Mutawasir, seorang sufi disinari oleh sifat-sifat Tuhan seperti: Hayat, Ilmu, Qudrat, dan lain-lain. Pada sufi yang demikian Tuhan menampakkan diri dengan sifat-sifat Nya. Pada tingkat Ma’rifat, seorang sufi disinari oleh zat Tuhan. Pada sufi yang demikian Tuhanmenampakkan diri dengan zat Nya. Pada tingkatan ini seorang sufi mencapai maqam khatam, sehingga mencapai atau menjadi Insan Kamil. Ia menjadi manusia sempurna, mempunyai sifat keutuhan dan dalam dirinya terdapat bentuk Allah. Ia adalah bayangan Tuhan yang sempurna.[18]

PENUTUP
Insan Kamil adalah manusia sempurna. Pengagas pertama nya ialah Ibnu Arabi. Nama lengkap Ibn Arabi adalah Muhammad bin Ali bin Ahmad bin Abdullah Ath-Tha’I Al-Haitami . Ia merupakan  pemikir paling penting dan berpengaruh dalam sejarah pemikiran islam belakangan. Namun, yang mempopulerkan doktrin ini adalah Abdul Karim al Jilli. Al Jilli nama lengkapnya Abdul Karim Ibnu Ibrahim ibnu Khalifah Ibnu Ahmad Ibnu Mahmud al-Jilli.
Ibn Arabi memandang insan kamil sebagai wadah tajalli Tuhan yang paripurna. Ibnu Arabi membedakan antara manusia sempurna pada tingkat universal dengan manusia sempurna pada tingkat individual. Insan Kamil adalah manusia sempurna. Insan kamil ialah manusia yang sempurna dari segi wujud dan pengetahuannya. Kesempurnaan dari segi wujudnya ialah karena dia merupakan manifestasi sempurna dari citra Tuhan, yang pada dirinya tercermin nama-nama dan sifat Tuhan secara utuh.
Bagi Ibnu Arabi, Tuhan mempunyai banyak cermin yang jumlah nya tidak terbatas. Tuhan adalah Esa, tapi bentuk atau gambar Nya banyak. Cermin paling sempurna bagi Tuhan adalah manusia sempurna, karena ia memantulkan semua nama dan sifat Tuhan, sedangkan makhluk-makhluk lain memantulkan hanya sebagian nama dan sifatNya. Ibn Arabi sering menyebut, manusia perantara antara Tuhan dan alam. Selain itu, manusia adalah perpaduan semua nama Tuhan, dan perpaduan antara sifat-sifat ketuhanan dan sifat-sifat kemakhlukan. Manusia diberi Allah kedudukan sebagai khalifah karena ia adalah perpaduan semua nama Tuhan dan semua realitas alam. Manusia binatang memiliki sifat persis seperti sifat semua binatang. Ia berbeda dengan binatang-binatang lain dalam differentianya. Ibnu Arabi mengatakan bahwa Kemampuan berpikir bukanlah sifat utama yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya karena keseluruhan alam mempunyai kemampuan ini pula. Sifat manusia yang membedakan dengan makhluk lainnya adalah bentuk ilahi.  Manusia sempurna dengan manusia binatang disamakan oleh Ibnu Arabi dengan pengklasisfikasian lain, yaitu hamba Tuan dengan hamba nalar.
Bagi al Jilli, manusia sebagai pencari ma’rifah dibagi menjadi tiga kategori: 1. Gnostik (arif), ahli ma’ruf (ahl al ma’ruf), alim. 2. Ahli iman dan muslim mu’min. 3. Pemilik pikiran, pemilik nalar, dan tuan pikiran. Konsepsi al Jilli mengenai insan kamil ini, tidak lebih hanya sebagai penerus konsep Ibnu Arabi dan andilnya hanya terdapat dalam upaya memperjelas dan mensisitematisasi konsep insan kamil Ibnu Arabi. Al-Jili membagi insan kamil atas tiga tingkatan, yaitu:
1.         Tingkat pertama disebutnya sebagai tingkat permulaan (al-bidāyah).
2.         Tingkat kedua adalah tingkat menengah (at-tawasut).
3.         Tingkat ketiga ialah tingkat terakhir (al-khitām).
            Tahapan-Tahapan Menuju Insan Kamil
al Jilli mengemukakan bahwa penampakan dari Tuhan itu melalui tiga tahap manifestasi: “Kesatuan” (Ahadiyah). “Ke Diaan” (Hiwiyah), dan “Keakuan” (Aniyah).
Jalan menuju ke tingkatan Insan Kamil, menurut al Jilli adalah dengan pengamalan islam, Iman, Shalah, Ihsan, Syahadah, Shiddiqiyah, dan Qurbah.















DAFTAR PUSTAKA
1.      Azhari Noer, Kautsar, Ibnu al Arabi, Wahdat al Wujud Dalam Perdebatan, (Jakarta: Penerbit Paramadina), 1995, cet. 1
2.      Kosasih, Aceng, Konsep Insan Kamil Menurut al Jilli, pdf
3.      Takeshita, Masataka, Insan Kami pandangan ibnu arabi, Cet.1.Surabaya: Risalah Gusti, 2005, h.V-IV
4.      Bangkaganteng, Tasawuf falsafi ibnu arabi dan al jilli, diakses pada 01 desember 2013, dari bangkaganteng.wordpress.com/2011/12/24/tasawuf-falsafi-ibn-arabi-dan-al-jilli/
5.      Fajar, Muhammad, dkk, Insan Kamil, diakses pada 09 Desember 2013, dari http://alqatiry.blogspot.com/2013/11/insan-kamil.html
6.      Miftah, Konsep Insan Kamil Ibnu Arabi, diakses pada 08 Desember 2013, dari http://pengkajianpelitahati.wordpress.com/2011/04/25/konsep-insan-kamil-ibn-arabi/
7.      Ramadhan, Ilham, Ibnu Arabi, diakses pada 09 Desember 2013, dari http://www.academia.edu/3370450/ibnu_arabi
8.      Sufi Zona, Mengenai Al Jilli, Sufi Misterius, Kaya Ilmu, dan Kreatif, diakses pada 09 Desember 2013, dari http://www.sufiz.com/jejak-sufi/mengenal-al-jilli-sufi-misterius-kaya-ilmu-dan-kreatif.html
9.      Tiffani Nguyen J, Ajaran Tasawuf Falsafi al Jilli dan Ibnu Arabi, diakses pada 09 Desember 2013, dari http://zakiirshad.wordpress.com/2009/07/04/ajaran-tasawuf-falsafi-oleh-al-jilli-dan-ibn-arabi/
10.  Ulysses Ronquillo., Insan Kamil, diakses pada 01 desember 2013, dari http://fixguy.wordpress.com/insankamil/
11.  Worksite Pelita Hati, Konsep Insan Kamil Ibnu Arabi, diakses pada 09 Desember 2013, dari http://pengkajianpelitahati.wordpress.com/2011/04/25/konsep-insan-kamil-ibn-arabi/


[1] Muhammad Fajar, Muhammad Faldi, Insan Kamil, diakses pada 09 Desember 2013, dari http://alqatiry.blogspot.com/2013/11/insan-kamil.html
[2] Ilham Ramadha, Ibnu Arabi, diakses pada 09 Desember 2013, dari http://www.academia.edu/3370450/ibnu_arabi
[3] Worksite Pelita Hati, Konsep Insan Kamil Ibnu Arabi, diakses pada 09 Desember 2013, dari http://pengkajianpelitahati.wordpress.com/2011/04/25/konsep-insan-kamil-ibn-arabi/
[4] Bangkaganteng, Tasawuf falsafi ibnu arabi dan al jilli, diakses pada 01 desember 2013, dari bangkaganteng.wordpress.com/2011/12/24/tasawuf-falsafi-ibn-arabi-dan-al-jilli/
[5] Masataka Takeshita, Insan Kami pandangan ibnu arabi, Cet.1.Surabaya: Risalah Gusti, 2005, h.V-IV
[6] Sufi Zona, Mengenai Al Jilli, Sufi Misterius, Kaya Ilmu, dan Kreatif, diakses pada 09 Desember 2013, dari http://www.sufiz.com/jejak-sufi/mengenal-al-jilli-sufi-misterius-kaya-ilmu-dan-kreatif.html
[7] Kautsar Azhari Noer, Ibnu al Arabi, Wahdat al Wujud Dalam Perdebatan, (Jakarta: Penerbit Paraadina), 1995, cet. 1, h. 126
[8] Worksite Pelita Hati, Konsep Insan Kamil Ibnu Arabi, diakses pada 09 Desember 2013, dari http://pengkajianpelitahati.wordpress.com/2011/04/25/konsep-insan-kamil-ibn-arabi/
[9] Kautsar Azhari Noer, Ibnu al Arabi, Wahdat al Wujud Dalam Perdebatan, (Jakarta: Penerbit Paraadina), 1995, cet. 1, h. 126
[10] Worksite Pelita Hati, Konsep Insan Kamil Ibnu Arabi, diakses pada 09 Desember 2013, dari http://pengkajianpelitahati.wordpress.com/2011/04/25/konsep-insan-kamil-ibn-arabi/
[11] Kautsar Azhari Noer, Ibnu al Arabi, Wahdat al Wujud Dalam Perdebatan, h.
[12] Alkitab, Lembaga Alkitab Indonesia, Kejadian (1:26-27)
[13] Kautsar Azhari Noer, Ibnu al Arabi, Wahdat al Wujud Dalam Perdebatan, h. 126-143
[14] Ulysses Ronquillo., Insan Kamil, diakses pada 01 desember 2013, dari http://fixguy.wordpress.com/insankamil/
[15] Bangkaganteng, Tasawuf falsafi ibnu arabi dan al jilli, diakses pada 01 desember 2013, dari bangkaganteng.wordpress.com/2011/12/24/tasawuf-falsafi-ibn-arabi-dan-al-jilli/
[16] Miftah, Konsep Insan Kamil Ibnu Arabi, diakses pada 08 Desember 2013, dari http://pengkajianpelitahati.wordpress.com/2011/04/25/konsep-insan-kamil-ibn-arabi/
[17] Tiffani Nguyen J, Ajaran Tasawuf Falsafi al Jilli dan Ibnu Arabi, diakses pada 09 Desember 2013, dari http://zakiirshad.wordpress.com/2009/07/04/ajaran-tasawuf-falsafi-oleh-al-jilli-dan-ibn-arabi/
[18] Aceng Kosasih, Konsep Insan Kamil Menurut al Jilli, pdf