Minggu, 04 Agustus 2013

Dosa Dalam Kristen



PENDAHULUAN
Semua orang Kristen mengenal dan mengakui dosa. Dosa manusia dalam ajaran Kristen berasal dari Adam dan Hawa yang berada di surga. Dan suatu ketika Hawa dipengaruhi oleh ular untuk memakan buah yang dilarang Allah. Akhirnya Hawa tergoda dan mereka pun memakan buah itu. Memakan buah tersebut adalah dosa. Dan dosa tersebut adalah dosa yang disebut dengan dosa warisan. Berikut penulis akan membahas tentang dosa warisan.
PEMBAHASAN
a.           Pengertian dan hakekat dosa
Pengertian Dosa
Alkitab menggunakan beraneka macam istilah untuk dosa. Hal ini tidak mengherankan karena tema utama Alkitab adalah “pemberontakan manusia terhadap Allah dan respon Allah yang penuh anugerah”. Berikut adalah istilah atau kata-kata asli dalam Alkitab (Perjanjian Lama: Ibrani; Perjanjian Baru: Yunani) yang diterjemahkan dalam Alkitab bahasa Indonesia sebagai “dosa”.
Perjanjian Lama: Ibrani
Pertama, “Khattat”. Istilah ini merupakan istilah yang paling sering digunakan dalam Perjanjian Lama. Kata ini muncul ratusan kali dalam Perjanjian Lama (580 kali). Beberapa ayat yang menggunakan kata ini adalah: Kejadian 4:7; 39:9; Keluaran 32:30; Mazmur 51:6 dsb).
Kedua, “Khet”. Merupakan istilah yang seasal dengan khattat.
Ketiga, “Pesya”. Kata ini mempunyai arti tindakan “memberontak”, “melawan”, “menentang”. Dapat disimpulkan hal ini menyangkut tentang pemberontakan atau pelanggaran terhadap kehendak dan perintah Allah.
Keempat, “Syagag”. Kata ini berarti dosa yang “tidak disengaja”, karena tidak hati-hati, karena tidak sadar dan tanpa diketahui. Contoh penggunaannya adalah dalam Imamat 4:2, 13. Contoh penggunaan: “Katakanlah kepada orang Israel: Apabila seseorang tidak dengan sengaja berbuat dosa (syagag) dalam sesuatu hal yang dilarang TUHAN dan ia memang melakukan salah satu dari padanya,” (Imamat 4:2).
Kelima “Asyam”. Kata ini artinya adalah melanggar, berbuat khilaf/kesalahan.
Keenam, “Awon/Avon”. Kata benda (nomina) Ibrani ‘ÂVON, -âlef – vâv – nun, diterjemahkan oleh LAI dengan “hukuman”, “kedurjanaan”, “kesalahan”, “dosa“. Kata ini berasal dari kata kerja ‘ÂVÂH, yang artinya adalah “membengkokkan” yang lurus, “memutarbalikkan”, “mengubah bentuk”. Kata ÂVON/AWON senantiasa dihubungkan dengan perbuatan jahat (sesat, menyeleweng, murtad, dst) yang dilakukan semasa hidup di dunia.
Perjanjian Baru: Yunani
Pertama, “Hamartia”. Kata ini mempunyai makna “tidak mengenai sasaran atau meleset”. Kata ini merupakan kata yang paling umum digunakan di dalam Perjanjian Baru. Kata ini ditulis 174 kali, dan 71 kali diantaranya terdapat di dalam surat-surat rasul Paulus. Kata ini bukan hanya menunjuk pada perbuatan dosa, tetapi juga keadaan hati dan pikiran yang jahat.
Kedua, “Parabasis”. Kata ini berasal dari kata kerja “Parabaino” yang maknanya adalah “melanggar“. Secara konseptual berarti berjalan melewati garis, seperti para murid Yesus dituduh “melanggar” adat istiadat nenek moyang mereka, dan ungkapan “melangkah keluar” dari ajaran Yesus dalam 2 Yohanes 1:9. Jadi, “parabasis” berarti “pelanggaran” atau “menyimpang dari yang seharusnya”.
Ketiga, “Adikia”. kata ini memiliki makna “kejahatan”, “perbuatan yang tidak benar”. Hal ini merupakan perbuatan lahiriah atau dari luar, yang dinilai merupakan sesuatu perbuatan yang tidak benar sama seperti yang dikatakan oleh hukum-hukum dunia tentang orang bersalah. Di pengadilan ketika semua pemeriksaan sudah selesai, maka hakim akan memvonis, bahwa terdakwa bersalah. Itulah adikia, berarti seseorang telah berbuat salah.
Keempat, “Anomia”. Kata ini berasal dari kata sifat “Anomos” yaitu partikel negatif A dan kata benda “Nomos” (hukum). Jadi, anomia adalah “suatu kondisi tanpa hukum karena mengabaikannya/tidak memperdulikan hukum/tidak mentaati hukum”. Contoh penggunaan: “Setiap orang yang berbuat dosa, melanggar juga hukum Allah (anomia), sebab dosa ialah ‘pelanggaran hukum Allah’ ( anomia).”
Kelima, “Asebeia”. Kata ini memiliki makna tentang kefasikan dan tidak mengenal Allah
Keenam adalah “Paraptoma.” Kata ini memiliki makna kesalahan, tidak berdiri teguh pada saat harus teguh, tidak sampai kepada yang seharusnya, pelanggaran secara sengaja
Ketujuh adalah “Agnoema”. Artinya tidak berpengetahuan, tidak berpengertian. Contoh penggunaan: “tetapi ke dalam kemah yang kedua hanya Imam Besar saja yang masuk sekali setahun, dan harus dengan darah yang ia persembahkan karena dirinya sendiri dan karena ‘pelanggaran-pelanggaran’, yang dibuat oleh umatnya ‘dengan tidak sadar’ (agnoema).”[1]
Hakekat Dosa
Setelah mempelajari akar kata dan asal mula dosa, maka kita sampai pada hakekat dari dosa itu sendiri. Daripada menjadi gambar Allah, manusia ingin menjadi sama dengan Allah. Manusia ingin memutuskan sendiri apa yang baik dan apa yang jahat. Manusia mencurigai Allah dan tidak percaya kepada hukum Allah. Manusia tidak percaya bahwa tujuan Allah di dalam hukum-Nya adalah semata-mata demi kebahagiaan manusia. Di dalam pemberontakannya itu manusia menyangka bahwa tujuan Allah dengan hukum-Nya ialah kesengsaraan manusia, dan bahwa pelanggaran terhadap Hukum Allah merupakan kebahagiaan manusia.
Studi Alkitab menunjukkan bahwa dosa tidak berasal dari jasmaniah manusia, tetapi berasal dari inti manusia itu sendiri, yaitu “hatinya”, di dalam hubungannya dengan Allah. Tuhan Yesus mengatakan, “dari dalam, dari hati orang, timbul segala pikiran jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan … Semua hal-hal jahat ini timbul dari dalam dan menajiskan orang” (Mrk 7:21-23; bnd Kej 6:5; Yer 17:9; Rm 3:10-18; Rm 7:23). Jika hati itu dipenuhi dengan kesombongan, maka kesombongan itu akan meluapkan hawa nafsu. Jika hati tidak jujur lagi di hadapan Allah, maka badan kita pun disalahgunakan untuk perbuatan-perbuatan seperti percabulan, kejahatan, rakus, ketamakan, kecemaran dan sebagainya.[2]
b.      Dosa waris dan dosa perbuatan
Dosa Waris
Alkitab mengajarkan bahwa ada dua jenis dosa secara umum. Yaitu, yang pertama disebut sebagai “Dosa Warisan”. Adam dijadikan Tuhan Allah sebagai kepala umat manusia. Sebagai kepala umat manusia ia menerima perintah/perjanjian Tuhan dan sebagai kepala umat manusia ia melanggar perintah/perjanjian itu. Rasul Paulus mengatakan, karena seorang, dosa masuk ke dalam dunia (Roma 5:12,19). Akibatnya semua orang sesudah Adam adalah berdosa di hadapan Allah. Bukan hanya itu saja, kesalahan Adam juga diperhitungkan dan dijatuhkan kepada umat manusia keturunannya (Kej 3; Rm 3:23; Rm 5:18). Keberdosaan Adam, mengakibatkan masuknya dosa ke dalam dunia. Peristiwa tersebut merupakan awal dari kerusakan moral manusia. Secara perlahan, dosa mempengaruhi aspek-aspek hidup manusia, sehingga segala kecenderungan hati manusia adalah jahat sejak kecil (Kejadian 8:21).[3]
Dosa Perbuatan
Adalah “dosa perbuatan Yaitu dosa yang dilakukan oleh individu manusia yang bersangkutan, baik secara sengaja atau tidak sengaja dan diperbuat melalui hati/pikiran/pandangan mata/perkataan dan perbuatan.[4]
c.       Manusia sebagai citra Allah
Dalam pandangan kristiani, manusia dipahami sebagai citra Allah yang menjadi partner (rekan kerja) Allah. Kitab Kejadian menyebutkan bahwa manusia diciptakan secitra dengan Allah (Kej 1:26-27). Dengan alasan bahwa manusia berkuasa atas ciptaan lain, maka manusia menampakkan dan menampilkan citra Penciptanya. Sifat alami manusia tidak dapat berdiri sendiri namun hanya berarti dalam relasinya dengan Allah. Manusia ditempatkan dalam ciptaan yang secitra dengan Allah, sebagai citra Allah manusia menghadirkan Penciptanya di dunia.
Keunikan kodrat manusia, antara lain terletak pada akal budi yaitu kemampuan untuk mengambil keputusan dan menentukan diri sendiri. Individualitas dan rasionalitas menjadikan manusia menjadi makhluk berpribadi. Pribadi manusia tidak hanya menunjuk dimensi rohani manusia saja, tetapi juga berhubungan dengan keberadaan manusia secara menyeluruh. Pribadi menunjuk manusia sebagai roh yang berdaging. Tubuh dan jiwa manusia adalah suatu kesatuan. Sifat yang paling bermakna dari pribadi manusia adalah menjadi subyek, yaitu sumber interior keputusan bebas. Sebagai pribadi, manusia menjadi tuan atas semua tindakan dan perwujudan dirinya. Pribadi manusia berperan menata kembali dalam dirinya suatu pusat kegiatan manusia dengan menguasai diri dan seluruh kegiatan hidupnya. Sebagai subyek moral, manusia adalah subyek hal dan kewajiban sebab manusia adalah pemegang hak dan kewajiban. Sebagai pemegang hak, manusia mampu melakukan sesuatu bagi pribadinya atau bagi orang lain. Hak-hak yang terletak dalam pribadi manusia merupakan perpanjangan diri manusia. Hak-hak itu dipandang sebagai ruang yang menjamin otonomi manusia; hak-hak itu memungkinkan manusia untuk mengambil keputusan dan mengendalikan hidupnya. Disamping makhluk berakal budi dan makhluk rohani, manusia adalah makhluk dinamis yang hidup, bertumbuh, dan berkembang dalam dinamika sejarah, menyejarah dan manusia adalah sejarah itu sendiri.[5]
d.      Manusia sebagai makhluk berdosa
Penulis kitab Kejadian juga menggambarkan tentang sifat manusia yang jahat yang memberontak kepada Allah yang mengakibatkan hubungan baik dengan Allah menjadi putus dan rusak. Manusia menjadi tidak setia kepada Penciptanya. Manusia jatuh ke dalam dosa karena ulahnya sendiri. Rasul Paulus menjelaskan hal ini dengan mengatakan : “tidak ada yang benar seorang pun tidak, semua telah berbuat dosa dan hilang kemuliaan Allah. (Roma 3: 10, 23.). Kata-kata Paulus ini dapat dipahami berdasarkan pemahaman bahwa dosa telah masuk ke dalam dunia oleh satu orang (Roma 5 : 12) yang mengakibatkan semua orang menjadi berdosa.[6]
Asal usul dosa manusia adalah karena peristiwa kejatuhan Adam dan Hawa ke dalam dosa saat berada di Taman Eden setelah dipengaruhi oleh ular. Ular datang dan membujuk Hawa untuk memakan buah dari Pohon Pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat tersebut. Singkat cerita, keduanya lalu memakan buah dari pohon tersebut. Tindakan mereka mengakibatkan keduanya menjadi “telanjang”, kehilangan kemuliaan Allah.[7]
e.       Rasionalisasi Keberadaan dosa waris

Irenaeus
Pandangan Irenaeus tentang ini, ia menggambarkan Adam dan Hawa sebagai anak-anak. “Tuan (atas bumi), yaitu manusia, itu kecil;karena itulah seharusnya ia perlu bertumbuh, dan dengan demikianlah samia pada kesempurnaan.” Lebih jauh, Adam dan Hawa itu seperti anak-anak dan belum dewasa, mereka mudah dicobai. “manusia adalah anak-anak, pengertiannya belumla sempurna; karena itu pula ia mudah disesatkan oleh pendusta tersebut.” Dengan diciptakan menuurut citra Allah, manusia belum sempurna seperti Allah. Irenaeus berpendapat bahwa tujuan umum dari ciptaan dan peran sang penebus adalah membawa semua makhluk ciptaan yang tidak sempurna ini pada kepenuhannya.
Origenes
Bagi Origenes, Allah semacam kuasa dan kebaikan yang tak terbayangkan sehingga alam semesta karena dijadikan oleh tangan sang pencipta seharusnya lebih rendah kesempurnaanya. Eksistensi jiwa-jiwa manusia mendahului penjelmaan badani mereka, bahwa mereka ada pada awal penciptaan, dan cerita tentang kejatuhan pada kitab kejadian merupakan alegori kejatuan prakosmis dari pada malaikat yang menyatakan pada awal mula, mereka semua murni mahluk cerdas, baik roh jahat jiwa maupun malaikat. Satu diantara mereka, iblis karena memiliki kehendak bebas, memilih untuk menentang Allah dan Allah mengusirnya masing-masing mendapatkan ganjaran sesuai dengan kadar keberdosaannya. Oleh karena itu, Allah menjadikan dunia ini, mengikat jiwa pada tubuh sebagai hukuman. “Semua manusia pada hakekatnya sangat jelas cenderung berdosa.” Kejatuhan juga menyebabkan malapetaka dan kesusahan dalam hidup ini: “sungguh nyata bahwa jiwa-jiwa yang cemas tidak bersalah akibat dosa-dosa sebelumnya.”
Athanasius
Dia memandang kisah kejatuhan dalam kejadian sebagai suatu peristiwa historis, bukan prahistoris. Adam dan Hawa diciptakan menurut citra Allah dan, jika menaati perintah itu, mereka akan memperoleh kehidupan “tanpa kesusahan, kesakitan, atau kecemasan dan kepastian kekal hidup di surga.” Oleh karena dosa mereka, keturunan mereka “tidak lagi hidup di dalam firdaus, tapi mengalami kesengsaran hidup di luar firdaus, selanjutnya mati dan hancur”.


Augustinus
Pendapat Augustinus ini merupakan respon dari pendapat Pelagius. Pelagius berpegang pada suatu pandangan yang optimstis tentang hakikat manusia, yang meyakini bahwa kehendak manusia pada hakikatnya baik dan mampu memilih secara benar. Oleh karena itu Pelagius memberi penekanan atas tanggung jawab pribadi.[8] Dibawah ini perbedaan antara pandangan Pelagius, Augustinus, Semi Pelagius, dan semi Augustinus.[9]
Pandangan
Ringkasan
Augstianism
Manusia mati dalam dosa; keselamatan diberikan secara total oleh kasih karunia Allah, yang hanya diberikan kepada orang pilihan.
Pelagianism
Manusia dilahirkan dalam keadaan baik dan bisa melakukan apa yang perlu untuk keselamatan
Semi pelagianism
Kasih karunia Allah dan kehendak manusia bekerja sama dalam keselamatan, dan ma-nusia harus berinisiatif / mengambil langkah pertama.
Semi Augustinism
Kasih karunia Allah diberikan kepada semua orang, memampukan seseorang untuk memilih dan melakukan apa yang perlu untuk keselamatan.

f.       Akibat dosa
Kejatuhan manusia ke dalam dosa mempunyai implikasi yang luas sekali kepada diri manusia itu sendiri. Ada beberapa aspek yang akan kita lihat berkenaan dengan akibat dari dosa yang dilakukan oleh manusia.
Dalam hubungannya dengan Allah
Dampak yang paling utama berkaitan dengan dosa yang dilakukan oleh manusia adalah dalam hubungannya dengan Allah. Pertama, di mata Allah manusia sudah mati dan akan menuju maut (Roma 3:23; Rm 6:23).
Kedua, manusia tidak layak untuk menghadap Allah. Pengusiran Adam dan Hawa dari Taman Eden ke luar, merupakan ungkapan geografis dari pemisahan spiritual manusia dari Allah, serta ketidaklayakan untuk menghadap Dia dan menikmati keakraban dengan Dia (Kej 3:23). Malaikat dengan pedang yang bernyala-nyala yang menutupi jalan menuju Eden melambangkan kebenaran mengerikan bahwa dalam dosanya, manusia menghadapi pertentangan dan perlawanan dari Allah, yaitu murka Allah (Kej 3:24; Mat 3:7; I Tes 1:10).
Ketiga, manusia tidak sanggup lagi melakukan kehendak Allah. Meskipun Allah memanggil dan memerintahkan manusia dan menawarkan kepada kita untuk jalan kehidupan, kebenaran dan kebebasan, kita tidak sanggup lagi menjawab panggilan Allah itu sepenuhnya. Manusia tidak bebas dan tidak sanggup untuk menyesuaikan diri dengan rencana Allah karena telah menjadi budak dosa (Yohanes 8:34; Roma 7:21-23).
Keempat, manusia tidak benar di mata Allah. Kegagalan untuk mematuhi hukum dan kehendak Allah membuat manusia berada di bawah kutukan hukum, rasa bersalah dan penghukuman yang makin bertambah bagi pelanggar hukum (Roma 5:12; Ulangan 27:26; Galatia 3:10).
Kelima, manusia tidak peka lagi terhadap firman Allah. Allah berbicara baik melalui firman yang tertulis, yaitu Taurat, Alkitab dan juga lisan melalui nabi-nabi-Nya kepada umat manusia. Akan tetapi dosa telah membuat manusia menjadi bebal dan lebih memilih untuk tidak mentaati firman Allah. Akhirnya manusia menjadi tidak mengenal Allah dan tidak mengerti hal-hal mengenai Roh. Hal-hal ini membuat manusia menjadi angkuh dan dalam lingkup keagamaan, keangkuhan ini diungkapkan sebagai pembenaran diri.
Manusia menentukan sendiri norma-norma bagi dirinya dan membenarkan dirinya menurut norma-norma itu. Manusia mencari-cari alasan bagi dosa dan merasa yakin di hadapan Allah karena prestasi-prestasi moral dan religiusnya dengan berbagai macam agama dan kepercayaannya. Ada juga yang kemudian menolak eksistensi Allah secara teori (ateisme). Namun itu semua sesungguhnya hanya untuk bersembunyi dari Allah (seperti Adam dam Hawa di Eden) dan untuk menghindari “keseraman” apabila harus berdiri di hadapan Allah dengan kesalahannya terpampang di depan.
Dalam hubungannya dengan sesamanya
Terputusnya hubungan manusia dengan Allah langsung mempengaruhi hubungan manusia dengan sesamanya. Adam menuduh Hawa dan menyalahkannya sebagai penyebab dosa (Kej 3:12). Kisah kejatuhan manusia segera diikuti dengan peristiwa pembunuhan Habel (Kej 4:1-6). Dosa membuat manusia tidak lagi bisa saling mengasihi dengan tulus, yang ada adalah konflik, perpecahan antar bangsa/suku, prasangka rasial, dan terbentuknya blok-blok internasional yang saling bermusuhan.
Dosa membuat perpecahan, pemisahan dan pertikaian antara manusia dan sesamanya baik di dalam kelompok masyarakat, agama, sosial, keluarga bahkan gereja. Dosa membuat manusia “mengeksploitasi” sesamanya. Eksploitasi ini dapat dengan jelas kita lihat dalam hubungan antara pria dan wanita. Sejarah mencatat kaum pria telah mendominasi wanita dengan kekerasannya. Wanita digunakan bagi kepentingan egois pria, penolakan pria memberikan persamaan hak dan martabat kepada wanita merupakan kenyataan yang tidak dapat dipungkiri.
Dalam hubungannya dengan dirinya
Manusia kehilangan arah batin dan hidup dalam sejuta konflik dalam dirinya (Lihat Rm 7:23). Pengaruh dosa nyata dalam penipuan diri sendiri. Manusia tidak lagi mampu menilai dirinya dengan benar dan tepat. Dosa telah membuat manusia tidak lagi mampu memandang dirinya sebagai ciptaan Allah yang mulia (Mzm 8:6). Manusia menjadi malu dengan dirinya sendiri, batinnya senantiasa bergejolak mencari arah kehidupan ini. Bahkan terkadang manusia tidak dapat berdamai dengan dirinya sendiri.
Dalam hubungannya dengan alam semesta
Manusia telah kehilangan keharmonisannya dengan alam ini. Manusia yang seharusnya memelihara dan mengusahakan bumi bagi kemuliaan Tuhan (Kej 2:15) malah mengeksploitasinya secara sembarangan sehingga mengakibatkan kerusakan alam ini (hutan menjadi gundul, banjir dsb). Udara, air, dan tanah menjadi kotor oleh polusi yang disebabkan keserakahan manusia.
Dalam hubungannya dengan waktu
Manusia yang jatuh ke dalam dosa, hidup dalam waktu yang dibatasi karena dosa itu. Dosa membuat manusia kehilangan kekekalan (Kej 2:17; 3:19), hari-harinya menjadi terbatas (Mzm 90:9-10). Manusia harus menghadapi kematian sebagai akhir hidupnya.[10]
g.      Penebusan dosa
Penebusan berarti pembebasan dari sesuatu yang  jahat dengan pembayaran suatu harga. Artinya lebih dari sekedar pembebasan saja. Demikianlah tawanan-tawanan perang dapat dibebaskan berdasarkan pembayaran harga yg disebut uang tebusan (Yunani lutron). Dengan kata lutron dibentuklah secara khusus kelompok kata untuk menyatakan ide pembebasan berdasarkan pembayaran uang tebusan. Dalam lingkaran ide-ide ini kematian Kristus dapat dipandang sebagai 'suatu tebusan bagi orang banyak'.[11] Pertama-tama, hidup Yesus itu berdaya membebaskan dan menebus. Akan tetapi dalam hidupNya, Yesus dihadapkan kepada situasi-situasi yang tidak mudah, ketika Dia disalahpahami oleh karena sikap internalNya yang bebas berhadapan dengan hukum agama Yahudi  di jamanNya yang ketat (bdk Mat 11,28: 23,4: Luk 11,46), dan di lain pihak oleh karena keberanianNya yang solid dalam mewartakan Allah sebagai Bapa yang mencintai semua orang tanpa syarat. Sikap Yesus dalam kedua aspek ini justru menjadikanNya musuh dari para pemimpin agama bangsaNya sendiri. Para  pemimpin ini bersekongkol dengan kaum sakit hati (oleh karena Yesus) untuk membunuh Yesus. Mereka menyerahkanNya ke dalam kedaulatan Romawi untuk membunuNya melalui cara penyiksaan klasik yang brutal tetapi legal, yakni melalui penyaliban. KematianNya dipandang sebagai konsekuensi internal dari apa yang diimani dan diwartakan selama hidupNya.[12]
h.      Perjanjian Penyelamatan dan Perjanjian Anugerah
Perjanjian penyelamatan adalah peejanjian anatar tiga oknum di dalam Allah Yang Maha Esa. Perjanjiann ini adalah perjanjian yang kekal. Sebelum Tuhan menjadikan langit dan bumi, sebelum manusia lahir, Tuhan suadah tahu akan jatuhnya manusia ke dalam dosa dan Tuhan berniat untuk menyelamatkan manusia. Maka antara tiga oknum dari Allah Tritunggal timbullah perjanjian yang berisi; manusia akan diselamatkan ; Matius 40:7-9; Ibrani 10:5-7; Yohanes 6:38-40 (aktif); Roma 5:19; Lukas 22:29 dan lain-lain.
Tuhan Allah Bapa yang memberikan jalan dan yang menentukan syaratnya. Allah anak yang sanggup memenuhi syarat dan Roh Kudus yang akan memberikan buahnya kepada manusia. Perjanjian ini dilakukan dengan penuh sukarela. Allah Anak dengan sukarela memberikan kesanggupan- Nya. Dalam kitab suci menyatakan bahwa perhubungan antara Allah Bapa dan Anak ialah hubungan antara yang mengutus dengan yang diutus, yang memberi pekerjaan dengan yang bekerja (Yoh. 10:37; Mat. 10:40). Allah Anak juga akan menerima upahnya kalau sudah bekerja dengan memenuhi syarat (Mat. 28:19). Hubungan antara Allah Bapa dan Allah Anak pada pihak kesatu dan Roh Kudus pada pihak kedua, ialah; perhubungan yang mengutus dan yang diutus. Pekerjaan Roh Kudus ialah memberika buah pekerjaan Tuhan Yesus kepada manusia, artinya: bagi orang yang percaya diberikan segala sesuatu yang akan menyelamatkan orang itu, bagi orang yang tidak percaya diberikan kesaksian terhadap Tuhan Yesus yang lebih memberatkan hukuman orang itu.
Karena datangnya dosa, manusia akan dihukum, dijatuhi hukuman yaitu mati. Akan tetapi perjanjian penyelamatan yang kekal menahan  hukuman yang penuh, yaitu: kelenyapan dari hidup yang baka. Dengan arti inilah kitab suci kadang-kadang menyatakan bahwa manusia segenapnya akan tertolong; di dalam inti dari jumlah manusia sudah dikatakan “segenap manusia”.
Perjanjian Anugerah
1.      Anugerah umum
Adalah anugerah yang diberikan Tuhan kepada manusia semua segenapnya.
Tuhan berfirman kepada manusia:’jika kamu makan, kamu akan mati”. Manusia makan buah yang dilarang oleh Tuhan, maka upahnya maut, dengan langsung ia akan mati. Akan tetapi ternyata tidak demikian: manusia dijatuhi hukuman, akan tetapi tidak terus mati. Hidup manusia akan menjadi berat, perkembangan manusia akan menjadi sukar. Akan tetapi di dalam menjatuhkan hukuman, Tuhan bahkan sudah menjamin hidup manusia. Manusia harus bekerja keras, tapi dengan demikian ia akan mendapatkan kehidupannya.
Inilah anugerah yang mengalir dari perjanjiian penyelamatan. Ketiga oknum telah berjanji: Manusia akan dilepaskan, berarti inti dari dunia akan selamat. Tapi untuk memungkinkan itu, dunia manusia segenapnya dan alam semesta pun harus tidak lenyap. Maka dari itu Tuhan mneghidupi alam seisinya dan manusia. Inilah yang disebut anugerah umum.
Anugerah umum mengandung maksud melayani inti dari manusia yang akan diselamatkan. Segala hal yang memungkinkan hidup manusia ini masih ada, hanya berkat anugerah Tuhan yang umum. Seandainya dosa berkuasa sepenuhnya, hidup manusia akan rusak sama sekali, pergaulan manusia tidak mungkin. Jadi segala sesuatu yang masih berjalan baik, hanya dari berkat Tuhan yang umum. Anugerah umum itu ada hanya agar inti manusia yang akan diberi keselamatan, dapat sungguh diberi keselamatan. Jadi bagi orang-orang yang berada di luar inti tersebut, anugerah umum ini hanya menunda hukuman saja. Maut itu hukaman. Jika hukuman ditunda, mati ditunda, tentu dapat disebut anugerah.
2.      Anugerah Khusus
Tuhan Yesus menjadi kepala umat manusia di dalam perjanjian anugerah. Maka ia disebut: Adam yang kedua; artinya: ia adalah hanya buat orang-orang yang termasuk di dalam inti dari manusia. Inti inilah yang merasakan buah-buah pekerjaan Tuhan Yesus. Anugerah yang diberikan kepada orang-orang ini disebut anugerah khusus.
Perjanjian anugerah adalah kenyataan dari perjanjian penyelamatan. Perjanjian anugerah bermaksud anugerah yang khusus, akan tetapi juga mengakibatkan anugerah yang umum. Anugerah umum hanya supaya melayani anugerah khusus. Keindahan, kekuasaan, kebesaran di dunia ini semuanya hanya memungkinkan terlaksananya anugerah khusus, yaitu: Lahirnya Tuhan Yesus, hidup Nya di dunia dan keselamatan inti dari manusia.
Bagi manusia perjanjian anugerah berarti kesanggupan Tuhan untuk memberikan anugerah. Memang dalam perjanjian anugerah masih diperintahkan: “percayalah”, akan tetapi segala syarat yang bisa mendapatkan keselamatan bagi manusia, Tuhanlah yang memberi. Tuhan yang memberi percaya, tobat, maka dari itu juga hidup kekal. Jadi kita dapat mengatakan bahwa sebenarnya bagi kristus perjanjian anugerah bersifat perjanjian pekerjaan. Bagi manusia, perjanjian anugerah. Kristus memenuhi hukum Tuhan, Ia memikul hukuman Tuhan: dan kedua pekerjaan inilah yang menjadi sebab Tuhan memberikan dengan tidak bersyarat, tidak ada kebaikan sedikitpun dan manusia segenapnya adalah anugerah atas nama Tuhan Yesus kristus.[13]
PENUTUP
Dalam agama Kristen, ada dua dosa. Dosa warisan, dan dosa perbuatan. Dosa warisan ialah dosa yang diwariskan oleh Adaam dan Hawa yang pada waktu itu memakan buah yang dilarang oleh Allah. Sedanglan dosa perbuatan ialah dosa yang diperbuat oleh manusia itu sendiri. Dalam pandangan kristiani, manusia dipahami sebagai citra Allah yang menjadi partner (rekan kerja) Allah. Kitab Kejadian menyebutkan bahwa manusia diciptakan secitra dengan Allah . Dengan alasan bahwa manusia berkuasa atas ciptaan lain, maka manusia menampakkan dan menampilkan citra Penciptanya. Penulis kitab Kejadian juga menggambarkan tentang sifat manusia yang jahat yang memberontak kepada Allah yang mengakibatkan hubungan baik dengan Allah menjadi putus dan rusak.



[1] Bobby butar-butar, Dosa: dalam perspektif iman kristen, diakses dari http://psbobby.wordpress.com/2010/05/27/670/#more-670, pada 15 03 2013
[2] Bobby butar-butar, Dosa: dalam perspektif iman kristen, diakses dari http://psbobby.wordpress.com/2010/05/27/670/#more-670, pada 15 03 2013
[3] Bobby butar-butar, Dosa: dalam perspektif iman kristen, diakses dari http://psbobby.wordpress.com/2010/05/27/670/#more-670, pada 15 03 2013
[4]Bobby butar-butar, Dosa: dalam perspektif iman kristen, diakses dari http://psbobby.wordpress.com/2010/05/27/670/#more-670, pada 15 03 2013
[7] Bobby butar-butar, Dosa: dalam perspektif iman kristen, diakses dari http://psbobby.wordpress.com/2010/05/27/670/#more-670, pada 15 03 2013
[8] Urban, Linwood, Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia), cet. 3, 2009, hal. 176-180
[9] Pdt. Budi Asali M.Div., Sejarah Singkat Augustinus, John Calvinisme dan Pertentangan Calvinisme Arminianisme, diakses pada 03 Mei 2013, dari http://members.tripod.com/gkri_exodus/p_5pnt02.htm
[10] Bobby butar-butar, Dosa: dalam perspektif iman kristen, diakses dari http://psbobby.wordpress.com/2010/05/27/670/#more-670, pada 15 03 2013
[11] Alkitab Sabda, Tebus Penebusan, diakses pada 03 mei 2013, dari http://alkitab.sabda.org/dictionary.php?word=penebusan
[12] Kristiani Menjawab Muslim, Salib, Dosa, Penebusan, diakses pada 03 mei 2013, dari http://www.menjawabmuslim.com/html/salib__dosa_dan_penebusan.html
[13] Soedarmo, Ikhtisar Dogmatika, (Jakarta: BPK Gunung Mulia), cet. 17, 2011, h. 161-165