Rabu, 01 Januari 2014

Bonhoeffer



1. Pendahuluan
Dalam agama Kristen, terdapat pula teolog-teolog yang mempunyai pemikiran-pemikiran yang baharu. Di antara teolog-teolog tersebut, tidak semua memiliki pemikiran yang sama. Tak jarang, pemikir atau teolog tersebut mempunyai latar belakang yang berbeda-beda atas pemikirannya yang baharu tersebut. Atau juga dapat terpengaruh dari guru,  atau dari buku-buku yang ia baca.
Dietrich Bonhoeffer ini, adalah seorang teolog yang bisa dikatakan sangat berani dan teguh pendirian. Karena ia tidak takut mati dan tidak pernah menyerah untuk membela ketidakadilan Hitler. Dia juga sosok yang tak pernah menyerah dalam berjuang. Dan bahkan, dia rela dibunuh demi menegakkan kebenaran.
Berikut, penulis akan membahas sedikit mengenai biografi, pemikiran, dan karyanya.
2. Pembahasan
     A.    Latar Belakang Bonhoefer
Bonhoeffer dilahirkan pada tanggal 4 Februari 1906 di Breslau, Jerman. Ayahnya adalah seorang ahli penyakit jiwa. Bonhoeffer adalah seorang yang sangat cerdas. Bakat-bakat kesarjanaannya sudah tampak sejak masa kecil.
            Pada umur 17 tahun ia memasuki Universitas Tubingen. Ia berada di sini hanya selama dua tahun. Studi teologinya dilanjutkannya pada Universitas Berlin. Di Berlin ia belajar di bawah asuhan dua orang teolog besar yang sangat mempengaruhinya, yaitu A. von Harnack dan seeberg. Pada tahun 1928 ia berhasil menyelesaikan pendidikan teologinya. Kemudian ia menjadi pembantu pendeta di Barcelona, spanyol, dalam sebuah jemaat berbahasa Jerman. Di sinilah Bonhoeffer mempersiapkan sebuah karangannya yang berjudul Act and Being. Berkat karangannya itu, Bonhoeffer diangkat menjadi mahaguru pada Universitas Berlin pada tahun 1930. Umurnya pada waktu itu baru 24 tahun.
Bulan september 1930 Bonhoeffer mengunjungi Amerika Serikat dan ia memberi kuliah pada Union Theological Seminary selama setahun lebih. Di Amerika ia sangat kagum dengan cara mahasiswa teologi Amerika yang melibatkan diri dalam masalah-masalah sosial pada masa itu. Tampaknya pengaruh ini sangat besar atas dirinya, sehingga kelak ia juga terjun dalam masalah-masalah sosial pada masa itu. Tampaknya pengaruh ini sangat besar atas dirinya, sehingga kelak ia juga terjun dalam masalah-masalah politik di Jerman.
Bulan agustus 1931 Bonhoeffer kembali ke Jerman dan memulai kuliah-kuliahnya di samping menjalankan tugas-tugas pastoralnya terhadap beberapa kelompok pemuda di weding, sebuah kota kecil dekat Berlin. Ia sering mengunjungi mereka dan berusaha mengerti masalah-masalah mereka sehingga pemuda-pemuda itu sangat dekat dengannya.  Pada saat yang sama, Bonhoeffer mulai masuk dalam pergerakan oikumene yang membawanya kepada hubungan-hubungan yang lebih luas dengan dunia luar.
Bonhoeffer adalah seorang yang selalu mengamati perkembangan-perkembangan politik dunia dan khususnya politik di Jerman. Pada tahun 1930 malaise ekonomi melanda dunia dan keadaan sosial Jerman sangat menyedihkan. Pengangguran meningkat dan pemerintah tidak memperlihatkan usaha-usaha untuk mengatasinya. Mata bangsa Jerman diarahkan kepada partai Nazi, yang dipimpin oleh Hitler, memperoleh kemenangan dengan mengalahkan Partai Bolsewijik. Kebanyakan pemimpin gereja di Jerman mendukung Hitler dengan Nazinya itu.
Hitler banyak bicara tentang gereja dan teologi. Ia berpendapat bahwa sekarang kepahlawanan Kristus harus mendapatkan tekanan sebagai ganti kayu salib, seperti yang didengungkan oleh gereja. Hitler mengusulkan agar diangkat uskup nasional Jerman. Campur tangan Hitler ini menyebabkan perpecahan dalam gereja di Jerman menjadi dua bagian, yaitu Deutche Cristian (orang Kristen Jerman) yang mendukung Nazi dan BekkenendeKirche. Perlawanan-perlawanan dilancarkan terhadap Hitler. Perjuangan Hitler bukanlah memberi kebebasan kepada gereja, melainkan untuk kesengsaraan bangsa Jerman dengan merusak gereja. Tindakan permusuhan Hitler terhadap orang Yahudi diprotes dengan keras oleh Bonhoeffer. Ia berpendapat bahwa gereja yang bersikap diskriminatif terhadap anggota dan para pejabatnya bukan lagi gereja Kristus Yesus. Karl Barth mendukung perjuangan Bonhoeffer yang mengakibatkan Barth diusir dari Jerman pada tahun 1935.
Pada saat bergeloranya perjuangan itu, Bonhoeffer menerima panggilan dari dua jemaat berbahasa Jerman di London. Bonhoeffer menerima undangan tersebut. Di London, Bonhoeffer berjuang untuk meyakinkan pergerakan oikumene bahwa Bekennende Kirche merupakan gereja Kristen yang benar di Jerman. Tahun 1934 Bekennende diorganisasi secara baru. Sinode diadakan di Barmen pada tahun 1934 yang merumuskan Deklarasi Barmen sebagai pedoman dalam perlawanan terhadap Hitler. Bonhoeffer dan KarlBarth berperan besar dalam perumusan deklarasi tersebut. Pada tahun berikutnya Barth diusir dan ia pergi ke Basel.
Bonhoeffer dipanggil kembali ke Jerman, tahun 1935, untuk memimpin sebuah seminari teologi milik Bekennende Kirche di Finkenwalde. Seminari ini menjadi markas perlawanan terhadap Hitler. Oleh karena itu, Hitler menutup seminari ini pada tahun 1937. Hitler memberlakukan laragan perjuangan ke luar negri kepada anggota Bekennende Kirche dengan cara tidak memberikan paspor kepada mereka.
Namun pada tahun 1939 Bonhoeffer memutuskan untuk pergi ke Amerika Serikat. Hal ini menimbulkan kemarahan yang besar dari Karl Barth yang pada waktu itu sudah berdiam di Basel. Bonhoeffer tetap pada pendiriannya untuk pergi ke Amerika. Sebab, menurut pendapatnya, bahwa perjuangannya akan lebih baik jikalau ia berada di Amerika. Kemudian Jerman memulai Perang Dunia II dan Bonhoeffer memutuskan untuk kembali ke Jerman dengan resiko ditangkap atau dihukum mati. Ia mau berjuang bersama-sama dengan yang lainnya di Jerman untuk menjatuhkan Hitler. Keyakinannya ialah perjuangan mereka akan berhasil jikalau Hitler dubunuh. Rupanya rencana pembunuhan itu tercium oleh penguasa dan Bonhoeffer ditangkap serta dipenjara ia tetap berhubungan dengan sahabat-sahabatnya di luar penjara melalui surat-menyurat. Kemudian surat-suratnya itu dibukukan  dengan judul  Letter and Popers from Prison (Surat-surat dari Penjara).
Bulan Juli 1944 muncul rencana pembunuhan Hitler namun gagal. Akibatnya Bonhoeffer diawasi dengan ketat dan dipindahkan dari kota ke kota lainnya.
Pada akhirnya ia dipenjarakan di flosenburg, tempat ia menjalani hukuman mati pada tanggal 9 April 1945. Kata-katanya yang terakhir adalah “Inilah yang terakhir dari semuanya, tetapi bagiku adalah awal kehidupan.” Bonhoeffer adalah pejuang yang gigih dalam mempertahankan kemurnian gereja di dunia ini terhadap tindakan kelaliman Hitler di Jerman.[1]

    B.     Pemikiran Bonhoeffer
Di dalam penjara Bonhoeffer bergumul dengan persoalan bagaimana caranya menyampaikan Injil Kristus kepada manusia yang hidup dalam suatu dunia modern seperti sekarang ini. Perkembangan dunia menjadi suatu dunia modern bukanlah suatu penyelwengan dari Kristus. Dalam dunia modern ini, menurut Bornhoeffer, masa religi sudah berakhir. Manusia tidak lagi berpikir secara metafisis padahal agama Kristen (kekristenan) diungkapkan dalam bentuk religi. Persoalan teologi dan gereja sekarang adalah bagaimana mengupayakan suatu metode penafsiran yang baru yang dapat menyapa manusia yang hidup dalam suatu masa ketika religi sudah berakhir.[2] Bonhoeffer sendiri mengemukakan suatu metode interpretasi baru yang disebutnya dengan nama interpretasi non Religius.[3]
1.      Pemahaman Kristologi Bonhoeffer
Bonhoeffer pada tahun 1933 merumuskan ide nya tentang Yesus sebagai pribadi dengan cara melihat pandangan kristologi Bonhoeffer tentang Yesus melalui kacamata[4]: (1)The Present Christ—The Historical Christ, dan (2) The Eternal of Christ (bentuk)[5]
a.       The Historical christ
Bonhoeffer secara konsisten menyatakan bahwa pencarian Yesus secara sejarah[6] melalui sains adalah hal yang sia-sia.[7]  Dia hanya menginjinkan Dogmatic Theology untuk meneguhkan Yesus yang pernah ada di dalam sejarah, tetapi kepastian sejarah tersebut tidak dapat dibuktikan lewat historical science.
b.      The Present Christ
Kehadiran Yesus pada masa kini–bergantung kepada representasi gereja. Bonhoeffer meyakini eksistensi Yesus di dalam dunia, adalah sebagai komunitas iman, yaitu gereja.[8] Bonhoeffer melihat bahwa di dalam gereja, Allah ditemukan sebagai person, Allah yang imanen, Allah di dalam kristus menjadi paling dekat (imanen) dengan kemausiaan.
c.       The form christ
Pemikiran Bonhoeffer tentang imanensi Kristus sebagai gereja dijabarkan secara konkrit melalui: (1) Christ as the Word, (2) Christ as the Sacrament, dan (3) Christ as the Community.
As the word: kristus sebagai firman. Artinya, pertama tentang Yesus Kristus, lalu kemudian tentang firman yang dikhotbahkan di gereja.
As the sacrament: kristus sebagai sakramen. Bonhoeffer menjadikan sakramen perjamuan kudus sebagai sebuah hal yang suci karena Yesus dan murid-murid melakukannya pada perjamuan malam terakhir.  Bahkan di dalam perjamuan kudus, Yesus hadir sebagai Sakramen[9], yaitu Yesus yang merendahkan diri-Nya hadir sebagai ciptaan yang baru.
As the community: kristus sebagai komunitas. Komunitas tersebut adalah gereja. Arti dariYesus sebagai gereja ini ialah Allah menjadi manusia sekaligus sebagai wujud dari historical Jesus.[10]
2.      Boenhoeffer mengaku bahwa akal manusia telah menjadi dewasa, dengan akibat bahwa negara menjadi sekuler. Dan teologinya menjadi radikal.
Bonhoeffer juga banyak terpengaruh dengan Karl Barth, diamana Barth memisahkan secara radikal religi manusia terhadap pernyataan atau wahyu Allah. Tetapi, Bonhoeffer berpendapat bahwa sekarang ini zaman religi telah lewat. Kini bukanlah zamannya meyakinkan orang dengan kata-kata, sekalipun kata-kata yang saleh.[11]
Bonhoeffer prihatin bagaimana menghadapi manusia sekuler yang tidak beragama. Allah makin diundurkan dari sains, seni, dan etika. Keadaan seperti itu bagaikan keadaan dimana umat manusia dan dunia sudah menjadi dewasa. Bonhoeffer melihat itu bukan sebagai sejarah manusia yang murtad, melainkan sebagai perkembangan yang tepat dan wajar. Disini tampak keradikalannya. Dalam kaitannya dengan hal ini, Bonhoeffer mengusulkan kekristenan tanpa agama. Dengan begitu sebenarnya Bonhoeffer ingin membersihkan agama kristen dari segi-segi tertentu dari keberagamaan yang bersifat borjuis, picik, yaitu metafisika, individualisme, dan pembidangan hidup.[12]
Bonhoeffer berpendapat, bahwa orang harus mau mengakui bahwa manusia modern memang telah merasa dirinya dewasa. Sikap manusia yang menduniawi itu jangan lah dijadikan kambing hitam. Manusia harus diperhadapkan dengan Allah justru di tempat ia merasa kuat, bukan di tempat ia merasa lemah. Oleh karena itu, penting sekali persoalan “bagaimana kita harus memberi interpretasi yang baru kepada injil demi kepentingan manusia modern?” Bonhoeffer mengemukakan suatu metode yang ia sebut interpretasi non religius terhadap pengertian-pengertian Alkitab. Pendapat ini didasarkan atas pertimbangan, bahwa sekarang ini pengertian Alkitab yang kita warisi telah tidak dapat dimengerti lagi oleh para orang modern. Oleh karena itu maka pengertian-pengertian itu perlu diberi interpretasi non-religius atau dapat dikatakan “kita harus berbicara tentang Allah secara duniawi,”.
Kunci intepretasi non religius itu terdapat do Yoh. 1:4, dimana disebutkan bahwa Firman telah menjadi manusia. Bahwa Allah di dalam Kristus telah menjadi manusia harus diperhatikan benar-benar. Tuhan di desak keluar dari dunia adalah akibat dari perkembangan otonomi manusia, ternyata memiliki imbangannya dalam pernyataan atau wahyu Allah di dalam Kristus.
Imbangan itu ialah, karena otonomi akal maka di dalam dunia modern Allah terus terdesak ke sudut dunia. Kristus harus menderita di dalam dunia ini. Akibatnya ia didesakkan keluar dunia, disalibkan. Di kayu salib Kristus berseru:”Eli, Eli lama sabakhtani” itu menjadi peneguhan secara aparadoksal akan rumusan manusia modern: Etsi deus nondaretur (Seandainya Allah tidak ada). Jadi ada persesuaian antara pengetahuan yang sebenarnya yang dituntut oleh al yang secara intelektual masuk akal dan pengetahuan akan Allah yang dimiliki oleh iman Kristiani dari kejadian-kejadian yang dialami Kristus.
Demikianlah intepretasi yang non religius itu bukan dilaksanakan karena orang takut, yang lalu menyesuaikan iman kristiani dengan dunia yang menduniawi, yang tanpa religi, melainkan suatu intepretasi kristiani yang bersifat Kristologis. Corak dasarnya ialah: “teologia salib”. Oleh karena manusia hidup tanpa Allah maka Allah sendiri memasuki dunia untuk memikul penderitaan manusia tanpa Allah itu.
Pada intepretasi yang non religius ditekankan bahwa iman Kristiani dikaitkan dengan dunia ini, di mana orang dihubungkan erat dengan bumi, sehingga manusia memiliki kesadaran hidup tentang maut dan kebangkitan. Adapun kaitan dengan dunia itu berakarkan kepada pernyataan Allah di dalam Kristus. Manusia harus menerima Kristus di tengah-tengah dunia di bawah ini. Transendensi Allah dialami hanya di dalam imanensi. Allah ada di tengah-tengah hidup, tetapi Ia juga berada di seberang sana. Iman Kristiani tidak menghapuskan nilai-nilai hidup didunia ini.
Cara menangani sekulerisasi sebagai tantangan iman Kristiani ialah bukan meniadakan sekulerisasi, melainkan di dalam dunia yang telah menduniawi ini bersaksi tentang iman Kristiani, sedemikian rupa hingga di dalam iman itu menjadi nyatalah, bahwa realitas Allah dan realitas dunia itulah satu.[13]
3.      Bonhoeffer juga berpendapat tentang teologi politik yang diinterpretasikan pada kondisi negara Jerman pada saat itu. Bonhoeffer mengatakan bahwa dalam wilayah negara, tujuan bersama digariskan dan disetujui oleh semua pihak, termasuk gereja, serta direspon dan bertanggung jawab. Dalam hal ini, Bonhoeffer mengemukakan bahwa tugas gereja adalah mengingatkan negara akan esensi, tugas, danbatas-batasnya. Ketika negara menyimpang atau melampaui esensi, tugas, dan batasnya serta mendatangkan kejahatan, gereja harus bertindak, kalau perlu bisa jadi dengan kekerasan daripada sekedar protes terhadap negara yang bertindak melukai kemanusiaan. Yang kemudian, Bonhoeffer bergabung dengan kelompok yang merancang pembunuhan terhadap Hitler.[14] Dalam misi itu, ia ditarik oleh iparnya dalam satu gerakan perlawanan. Jadi, Bonhoeffer menjadi agen ganda di kantor intel tentara Jerman. Dia gagal berupaya mendapatkan dukungan bagi Inggris bagi rencana itu. Dan rencana tersebut akhirnya gagal.[15]
   3.      Penutup
Kesimpulan
Bonhoeffer adalah seorang teolog yang berasal dari Jerman. Ia meninggal dunia pada 9 April 1945. Ia meninggal karena dibunuh oleh Hittler dari partai Nazi., karena ia tertangkap mempunyai misi untuk membunuh Hitler. Bonhoeffer tergolong dalam teolog yang sekuler. Dimana dia menjadikan agama kristen tanpa agama, dimana dia menginterpretasikan injil bagi manusia modern. Yaitu dengan cara mensekulerkan injil Kristus. Karena ia menganggap orang pada masa sekarang ini sudah tidak lagi memahami konsep Kristen secara tradisionalis.



Daftar Pustaka
Adji Ageng Sutama, dkk., Struggling in Hope Bergumul dalam Penghargaan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia), 2004, cet. 3
Harun Hadiwidjono, Theologia Reformatoris Abad ke 20, (Jakarta: BPK Gunung Mulia), Jilid I
  Suprianto, Merentang Sejarah Memaknai Kemandirian Menjadi Gereja Bagi Sesama, (Jakarta: BPK Gunung Mulia), 2009
Wellem F.D, Riwayat hidup singkat tokoh-tokoh dalam sejarah gereja,(gunung mulia, kwitang, jakarta), 2009, cet-10
  Stephen Lang J. & Randy Peter, 100 Peristiwa Penting Dalam Sejarah Kristen, (Jakarta:BPPK Gunung Mulia), 2007
Karel A. Steenbrink, Perkembangan Teologi Dalam Perkembangan Kristen Modern, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press), 1987, cet. 1



[1] Wellem F.D, Riwayat hidup singkat tokoh-tokoh dalam sejarah gereja, (Jakarta: Gunung Mulia,2009, cet-10, h-40-42.
[2] Wellem F.D, Riwayat hidup singkat tokoh-tokoh dalam sejarah gereja, h. 42
[3] Melalui metode tersebut kita berbicara tentang Allah secara duniawi atau kita memberikan Injil tanpa religi. Lih. Buku Harun Hadiwidjono disebutkan bahwa ini didasarkan pada pertimbangan bahwa sekarang ini zaman religi telah lampau, dengan akibat bahwa dengan pengertian-pengertian Alkitab yang kita warisi telah tidak dapat dimengeti lagi oleh para orang modern. Oleh karena itu maka pengertian-pengertian itu perlu diberi interpretasi non  religius atau dapat dikatakan “kita harus berbicara tentag Allah secara duniawi”, atau “kita harus membritakan injil tanpa religi”. (Harun Hadiwidjono, Theologia Reformatoris Abad Ke dua puluh, (Jakarta:BPK Gunung Mulia), 1985 h. 51). Lih. Juga dalam tulisan Karel A. Steenbrink dalam bukunya yang berjudul Perkembangan Teologi Dalam Perkembangan Kristen Modern, disitu disebutkan bahwa Nama Tuhan terlalu sering dislahgunakan. Akhirnya Bonhoeffer mengusulkan supaya tidak lagi menggunakan nama Tuhan itu, karena toh tidak ada gunanya, dan toh disalahgunakan saja. Lebih baik manusia harus hidup etsi deus non daretur, seolah-olah tidak ada Tuhan, eskipun para pengikut Yesus tetap diwajibkan melaksanakan perintah-perintah etika yang diberikan Yesus.
[4] Dalam buku Karel A. Steenbark menyatakan bahwa Bonhoeffer pada tahun 1933 itu mengajar Kristologi selama satu semester. Menurut rencananya, kursus akan dibagi dalam tiga topik: sesudah pendahuluan, akan dibahas Yesus, yang hadir sekarang ditengah-tengah umat (the present Christ), selanjutnya Yesus, yang pernah hidup di dunia ini: di negeri Palestina (the Historical Christ), dan bagian ketiga mestinya menguraikan Yesus sebagai wujud dan tidak diciptakan oleh Tuhan, tetapi sudah ada sebelum zaman mulai keluar dari  bapaknya (the Eternal Christ). Bagian ketiga ini merupakan topim yang dominan dalam diskusi orang Kristen mulai abad ke dua sampai abad ke sepuluh. Perbedaan antara orang Islam dan orang Kristen juga mencakup problematika ketiga ini. Cukup banyak ahli teologi odern memandang bagian ketiga ini tidak merupakan problematika yang paling penting. Dalam diktat kuliah Bonhoeffer hanya tercatat bahwa semester sudah berakhir ketika dia selesai menguraikan the Historical Christ, sehingga diktat tersebut sama sekali tidak memuat pendapatnya disekitar eternal Christ.
[5] Karel A. Steenbrink, Perkembangan Teologi Dalam Perkembangan Kristen Modern, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press), h. 62
[6] Historical Christ berarti hidup di dalam gereja yang dinamis yang berada di dala dialektik dengan negara. Dalam uraiannya mengenai Yesus yang pernah hidup di dala sejarah dunia ini (The Historical Chris) Bonhoeffer juga harus mengambil sikap terhadap problematika yang dirumuskan oleh Baur, dan Von Harnack cs. Mereka hendak memisahkan antara Yesus, seperti digambarkan oleh tiga karangan injil pertama (sinoptis, karena perbedaannya tidak begitu besar) dan Kristus yang bangkit dari mati dan hidup dekat Bapaknya dalam surga, seperti diproklamasikan dalam surat-surat Paulus.
[7] Yesus, hanya sebagai tokoh sejarah tidak akan merupakan fundamen kehidupan keagamaan, sedangakan ide Kristus yang sudah bangkit juga tidak akan mempunyai relevansi untuk umat Nya. Hanya melalui hubungan yang dialektisdengan realitas Yesus seperti dilanjutkan sampai sekarang. Historical Christ ini bisa memberikan semangat kepada umat dan bisa menjiwai usahanya untuk mencapai kerajaan Allah.
[8] Hal ini dikategorikan dalam jalur teologi being. Menurut Bonhoeffer being lebih bersifat objektif karena pendekatan dasarnya adalah manusia dapat mengenal Allah secara nyata, khususnya dalam fakta bahwa Allah telah menempatkan diri Nya di dalam Kristus dihadapan dan untuk manusia.
[9] Dengan meminjam terminologi M. Luther, Bonhoeffer menegaskan keobjektifan posisi ini karena adanya kenyataan “God is for us” melaui hadir nya Allah yang menjumpai manusia lewat sakramen dan firman secara substansial dan materi.
[10] Ester Stepfani Hermawan, Kristologi Dietrich Bonhoeffer, diakses pada 16 oktober 2013, dari http://crumbsofgrace.blogspot.com/2013/01/kristologi-dietrich-bonhoeffer.html
[11] Harun Hadiwidjono, Theologia Reformatoris Abad ke 20, (Jakarta: BPK Gunung Mulia), Jilid I, h. 48
[12] Adji Ageng Sutama, dkk., Struggling in Hope Bergumul dalam Penghargaan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia), 2004, cet. 3, h. 829-830
[13] Harun Hadiwidjono, Theologia Reformatoris Abad ke 20, (Jakarta: BPK Gunung Mulia), Jilid I, h. 48-53
[14] Suprianto, Merentang Sejarah Memaknai Kemandirian Menjadi Gereja Bagi Sesama, (Jakarta: BPK Gunung Mulia), 2009, h. 148-149
[15] Stephen Lang J. & Randy Peter, 100 Peristiwa Penting Dalam Sejarah Kristen, (Jakarta:BPPK Gunung Mulia), 2007, h. 159

0 komentar:

Posting Komentar