1. Pendahuluan
Dalam agama Kristen, terdapat pula teolog-teolog yang mempunyai
pemikiran-pemikiran yang baharu. Di antara teolog-teolog tersebut, tidak semua
memiliki pemikiran yang sama. Tak jarang, pemikir atau teolog tersebut
mempunyai latar belakang yang berbeda-beda atas pemikirannya yang baharu
tersebut. Atau juga dapat terpengaruh dari guru, atau dari buku-buku yang ia baca.
Dietrich Bonhoeffer ini, adalah seorang teolog
yang bisa dikatakan sangat berani dan teguh pendirian. Karena ia tidak takut
mati dan tidak pernah menyerah untuk membela ketidakadilan Hitler. Dia juga
sosok yang tak pernah menyerah dalam berjuang. Dan bahkan, dia rela dibunuh
demi menegakkan kebenaran.
Berikut, penulis akan membahas sedikit
mengenai biografi, pemikiran, dan karyanya.
A.
Latar Belakang Bonhoefer
Bonhoeffer dilahirkan pada tanggal 4
Februari 1906 di Breslau, Jerman. Ayahnya adalah seorang ahli penyakit jiwa.
Bonhoeffer adalah seorang yang sangat cerdas. Bakat-bakat kesarjanaannya sudah
tampak sejak masa kecil.
Pada umur 17 tahun
ia memasuki Universitas Tubingen. Ia berada di sini hanya selama dua tahun.
Studi teologinya dilanjutkannya pada Universitas Berlin. Di Berlin ia belajar
di bawah asuhan dua orang teolog besar yang sangat mempengaruhinya, yaitu A.
von Harnack dan seeberg. Pada tahun 1928 ia berhasil menyelesaikan pendidikan
teologinya. Kemudian ia menjadi pembantu pendeta di Barcelona, spanyol, dalam
sebuah jemaat berbahasa Jerman. Di sinilah Bonhoeffer mempersiapkan sebuah
karangannya yang berjudul Act and Being. Berkat karangannya itu,
Bonhoeffer diangkat menjadi mahaguru pada Universitas Berlin pada tahun 1930.
Umurnya pada waktu itu baru 24 tahun.
Bulan september 1930 Bonhoeffer
mengunjungi Amerika Serikat dan ia memberi kuliah pada Union Theological Seminary
selama setahun lebih. Di Amerika ia sangat kagum dengan cara mahasiswa teologi
Amerika yang melibatkan diri dalam masalah-masalah sosial pada masa itu.
Tampaknya pengaruh ini sangat besar atas dirinya, sehingga kelak ia juga terjun
dalam masalah-masalah sosial pada masa itu. Tampaknya pengaruh ini sangat besar
atas dirinya, sehingga kelak ia juga terjun dalam masalah-masalah politik di Jerman.
Bulan agustus 1931 Bonhoeffer
kembali ke Jerman dan memulai kuliah-kuliahnya di samping menjalankan tugas-tugas
pastoralnya terhadap beberapa kelompok pemuda di weding, sebuah kota kecil
dekat Berlin. Ia sering mengunjungi mereka dan berusaha mengerti
masalah-masalah mereka sehingga pemuda-pemuda itu sangat dekat dengannya. Pada saat yang sama, Bonhoeffer mulai masuk dalam
pergerakan oikumene yang membawanya kepada hubungan-hubungan yang lebih luas
dengan dunia luar.
Bonhoeffer adalah seorang yang
selalu mengamati perkembangan-perkembangan politik dunia dan khususnya politik
di Jerman. Pada tahun 1930 malaise ekonomi melanda dunia dan keadaan sosial
Jerman sangat menyedihkan. Pengangguran meningkat dan pemerintah tidak
memperlihatkan usaha-usaha untuk
mengatasinya. Mata bangsa Jerman diarahkan kepada partai Nazi, yang dipimpin
oleh Hitler, memperoleh kemenangan dengan mengalahkan Partai Bolsewijik.
Kebanyakan pemimpin gereja di Jerman mendukung Hitler dengan Nazinya itu.
Hitler banyak bicara tentang gereja
dan teologi. Ia berpendapat bahwa sekarang kepahlawanan Kristus harus
mendapatkan tekanan sebagai ganti kayu salib, seperti yang didengungkan oleh
gereja. Hitler mengusulkan agar diangkat uskup nasional Jerman. Campur tangan
Hitler ini menyebabkan perpecahan dalam gereja di Jerman menjadi dua bagian,
yaitu Deutche Cristian (orang Kristen Jerman) yang mendukung Nazi dan
BekkenendeKirche. Perlawanan-perlawanan dilancarkan terhadap Hitler. Perjuangan
Hitler bukanlah memberi kebebasan kepada gereja, melainkan
untuk kesengsaraan
bangsa Jerman dengan merusak gereja. Tindakan
permusuhan Hitler terhadap orang Yahudi diprotes dengan keras oleh Bonhoeffer.
Ia berpendapat bahwa gereja yang bersikap diskriminatif terhadap anggota dan
para pejabatnya bukan lagi gereja Kristus Yesus. Karl Barth mendukung
perjuangan Bonhoeffer yang mengakibatkan Barth diusir dari Jerman pada tahun
1935.
Pada saat bergeloranya perjuangan
itu, Bonhoeffer menerima panggilan dari dua jemaat berbahasa Jerman di London.
Bonhoeffer menerima undangan tersebut. Di London, Bonhoeffer berjuang untuk
meyakinkan pergerakan
oikumene
bahwa Bekennende Kirche merupakan gereja Kristen yang benar di Jerman. Tahun
1934 Bekennende diorganisasi secara baru. Sinode diadakan di Barmen pada tahun
1934 yang merumuskan Deklarasi Barmen sebagai pedoman dalam perlawanan terhadap
Hitler. Bonhoeffer dan KarlBarth berperan besar dalam perumusan deklarasi
tersebut. Pada tahun berikutnya Barth diusir dan ia pergi ke Basel.
Bonhoeffer dipanggil kembali ke
Jerman, tahun 1935, untuk memimpin sebuah seminari teologi milik Bekennende
Kirche di Finkenwalde. Seminari ini menjadi markas perlawanan terhadap Hitler.
Oleh karena itu, Hitler menutup seminari ini pada tahun 1937. Hitler
memberlakukan laragan perjuangan ke luar
negri kepada anggota Bekennende Kirche dengan cara tidak memberikan paspor
kepada mereka.
Namun pada tahun 1939 Bonhoeffer
memutuskan untuk pergi ke Amerika Serikat. Hal ini menimbulkan kemarahan yang
besar dari Karl Barth yang pada waktu itu sudah berdiam di Basel. Bonhoeffer
tetap pada pendiriannya untuk pergi ke Amerika. Sebab, menurut pendapatnya,
bahwa perjuangannya akan lebih baik jikalau ia berada di Amerika. Kemudian
Jerman memulai Perang Dunia II dan Bonhoeffer memutuskan untuk kembali ke
Jerman dengan resiko ditangkap atau dihukum mati. Ia mau berjuang bersama-sama
dengan yang lainnya di Jerman untuk menjatuhkan Hitler. Keyakinannya ialah
perjuangan mereka akan berhasil jikalau Hitler dubunuh. Rupanya rencana
pembunuhan itu tercium oleh penguasa dan Bonhoeffer ditangkap serta dipenjara
ia tetap berhubungan dengan sahabat-sahabatnya di luar penjara melalui
surat-menyurat. Kemudian surat-suratnya itu dibukukan dengan judul Letter and Popers from Prison (Surat-surat
dari Penjara).
Bulan Juli 1944 muncul rencana
pembunuhan Hitler namun gagal. Akibatnya Bonhoeffer diawasi dengan ketat dan dipindahkan
dari kota ke kota lainnya.
Pada akhirnya ia dipenjarakan di
flosenburg, tempat ia menjalani hukuman mati pada tanggal 9 April 1945.
Kata-katanya yang terakhir adalah “Inilah yang terakhir dari semuanya, tetapi
bagiku adalah awal kehidupan.” Bonhoeffer adalah pejuang yang gigih dalam
mempertahankan kemurnian gereja di dunia ini terhadap tindakan kelaliman Hitler
di Jerman.[1]
B.
Pemikiran Bonhoeffer
Di dalam
penjara Bonhoeffer bergumul dengan persoalan bagaimana caranya menyampaikan
Injil Kristus kepada manusia yang hidup dalam suatu dunia modern seperti
sekarang ini. Perkembangan dunia menjadi suatu dunia modern bukanlah suatu
penyelwengan dari Kristus. Dalam dunia modern ini, menurut Bornhoeffer, masa
religi sudah berakhir. Manusia tidak lagi berpikir secara metafisis padahal
agama Kristen (kekristenan) diungkapkan dalam bentuk religi. Persoalan teologi
dan gereja sekarang adalah bagaimana mengupayakan suatu metode penafsiran yang
baru yang dapat menyapa manusia yang hidup dalam suatu masa ketika religi sudah
berakhir.[2]
Bonhoeffer sendiri mengemukakan suatu
metode interpretasi baru yang disebutnya dengan nama interpretasi non
Religius.[3]
1. Pemahaman Kristologi Bonhoeffer
Bonhoeffer pada tahun 1933 merumuskan ide nya
tentang Yesus sebagai pribadi dengan cara melihat pandangan kristologi
Bonhoeffer tentang Yesus melalui kacamata[4]:
(1)The Present Christ—The Historical Christ, dan (2) The Eternal of Christ
(bentuk)[5]
a. The Historical christ
Bonhoeffer secara konsisten menyatakan bahwa pencarian
Yesus secara sejarah[6]
melalui sains adalah hal yang sia-sia.[7] Dia hanya menginjinkan Dogmatic Theology
untuk meneguhkan Yesus yang pernah ada di dalam sejarah, tetapi kepastian
sejarah tersebut tidak dapat dibuktikan lewat historical science.
b. The Present Christ
Kehadiran Yesus pada masa kini–bergantung kepada
representasi gereja. Bonhoeffer meyakini eksistensi Yesus di dalam dunia,
adalah sebagai komunitas iman, yaitu gereja.[8]
Bonhoeffer melihat bahwa di dalam gereja, Allah ditemukan sebagai person, Allah
yang imanen, Allah di dalam kristus menjadi paling dekat (imanen) dengan
kemausiaan.
c. The form christ
Pemikiran Bonhoeffer tentang imanensi Kristus sebagai
gereja dijabarkan secara konkrit melalui: (1) Christ as the Word, (2) Christ as
the Sacrament, dan (3) Christ as the Community.
As the word: kristus sebagai firman. Artinya, pertama tentang Yesus
Kristus, lalu kemudian tentang firman yang dikhotbahkan di gereja.
As the sacrament: kristus sebagai sakramen. Bonhoeffer menjadikan
sakramen perjamuan kudus sebagai sebuah hal yang suci karena Yesus dan
murid-murid melakukannya pada perjamuan malam terakhir. Bahkan di dalam perjamuan kudus, Yesus hadir
sebagai Sakramen[9], yaitu Yesus
yang merendahkan diri-Nya hadir sebagai ciptaan yang baru.
As the community: kristus sebagai komunitas. Komunitas tersebut adalah
gereja. Arti dariYesus sebagai gereja ini ialah Allah menjadi manusia sekaligus
sebagai wujud dari historical Jesus.[10]
2. Boenhoeffer mengaku bahwa akal manusia telah
menjadi dewasa, dengan akibat bahwa negara menjadi sekuler. Dan teologinya
menjadi radikal.
Bonhoeffer juga banyak terpengaruh dengan Karl
Barth, diamana Barth memisahkan secara radikal religi manusia terhadap
pernyataan atau wahyu Allah. Tetapi, Bonhoeffer berpendapat bahwa sekarang ini
zaman religi telah lewat. Kini bukanlah zamannya meyakinkan orang dengan
kata-kata, sekalipun kata-kata yang saleh.[11]
Bonhoeffer prihatin bagaimana menghadapi
manusia sekuler yang tidak beragama. Allah makin diundurkan dari sains, seni,
dan etika. Keadaan seperti itu bagaikan keadaan dimana umat manusia dan dunia
sudah menjadi dewasa. Bonhoeffer melihat itu bukan sebagai sejarah manusia yang
murtad, melainkan sebagai perkembangan yang tepat dan wajar. Disini tampak
keradikalannya. Dalam kaitannya dengan hal ini, Bonhoeffer mengusulkan
kekristenan tanpa agama. Dengan begitu sebenarnya Bonhoeffer ingin membersihkan
agama kristen dari segi-segi tertentu dari keberagamaan yang bersifat borjuis,
picik, yaitu metafisika, individualisme, dan pembidangan hidup.[12]
Bonhoeffer berpendapat, bahwa orang harus mau
mengakui bahwa manusia modern memang telah merasa dirinya dewasa. Sikap manusia
yang menduniawi itu jangan lah dijadikan kambing hitam. Manusia harus
diperhadapkan dengan Allah justru di tempat ia merasa kuat, bukan di tempat ia
merasa lemah. Oleh karena itu, penting sekali persoalan “bagaimana kita harus
memberi interpretasi yang baru kepada injil demi kepentingan manusia modern?” Bonhoeffer
mengemukakan suatu metode yang ia sebut interpretasi non religius terhadap pengertian-pengertian
Alkitab. Pendapat ini didasarkan atas pertimbangan, bahwa sekarang ini
pengertian Alkitab yang kita warisi telah tidak dapat dimengerti lagi oleh para
orang modern. Oleh karena itu maka pengertian-pengertian itu perlu diberi
interpretasi non-religius atau dapat dikatakan “kita harus berbicara tentang
Allah secara duniawi,”.
Kunci intepretasi non religius itu terdapat do
Yoh. 1:4, dimana disebutkan bahwa Firman telah menjadi manusia. Bahwa Allah di
dalam Kristus telah menjadi manusia harus diperhatikan benar-benar. Tuhan di
desak keluar dari dunia adalah akibat dari perkembangan otonomi manusia,
ternyata memiliki imbangannya dalam pernyataan atau wahyu Allah di dalam
Kristus.
Imbangan itu ialah, karena otonomi akal maka
di dalam dunia modern Allah terus terdesak ke sudut dunia. Kristus harus menderita
di dalam dunia ini. Akibatnya ia didesakkan keluar dunia, disalibkan. Di kayu
salib Kristus berseru:”Eli, Eli lama sabakhtani” itu menjadi peneguhan secara
aparadoksal akan rumusan manusia modern: Etsi deus nondaretur (Seandainya Allah
tidak ada). Jadi ada persesuaian antara pengetahuan yang sebenarnya yang
dituntut oleh al yang secara intelektual masuk akal dan pengetahuan akan Allah
yang dimiliki oleh iman Kristiani dari kejadian-kejadian yang dialami Kristus.
Demikianlah intepretasi yang non religius itu
bukan dilaksanakan karena orang takut, yang lalu menyesuaikan iman kristiani
dengan dunia yang menduniawi, yang tanpa religi, melainkan suatu intepretasi
kristiani yang bersifat Kristologis. Corak dasarnya ialah: “teologia salib”.
Oleh karena manusia hidup tanpa Allah maka Allah sendiri memasuki dunia untuk
memikul penderitaan manusia tanpa Allah itu.
Pada intepretasi yang non religius ditekankan
bahwa iman Kristiani dikaitkan dengan dunia ini, di mana orang dihubungkan erat
dengan bumi, sehingga manusia memiliki kesadaran hidup tentang maut dan
kebangkitan. Adapun kaitan dengan dunia itu berakarkan kepada pernyataan Allah
di dalam Kristus. Manusia harus menerima Kristus di tengah-tengah dunia di
bawah ini. Transendensi Allah dialami hanya di dalam imanensi. Allah ada di
tengah-tengah hidup, tetapi Ia juga berada di seberang sana. Iman Kristiani
tidak menghapuskan nilai-nilai hidup didunia ini.
Cara menangani sekulerisasi sebagai tantangan
iman Kristiani ialah bukan meniadakan sekulerisasi, melainkan di dalam dunia
yang telah menduniawi ini bersaksi tentang iman Kristiani, sedemikian rupa
hingga di dalam iman itu menjadi nyatalah, bahwa realitas Allah dan realitas
dunia itulah satu.[13]
3. Bonhoeffer juga berpendapat tentang teologi
politik yang diinterpretasikan pada kondisi negara Jerman pada saat itu.
Bonhoeffer mengatakan bahwa dalam wilayah negara, tujuan bersama digariskan dan
disetujui oleh semua pihak, termasuk gereja, serta direspon dan bertanggung jawab.
Dalam hal ini, Bonhoeffer mengemukakan bahwa tugas gereja adalah mengingatkan
negara akan esensi, tugas, danbatas-batasnya. Ketika negara menyimpang atau
melampaui esensi, tugas, dan batasnya serta mendatangkan kejahatan, gereja
harus bertindak, kalau perlu bisa jadi dengan kekerasan daripada sekedar protes
terhadap negara yang bertindak melukai kemanusiaan. Yang kemudian, Bonhoeffer
bergabung dengan kelompok yang merancang pembunuhan terhadap Hitler.[14]
Dalam misi itu, ia ditarik oleh iparnya dalam satu gerakan perlawanan. Jadi,
Bonhoeffer menjadi agen ganda di kantor intel tentara Jerman. Dia gagal
berupaya mendapatkan dukungan bagi Inggris bagi rencana itu. Dan rencana
tersebut akhirnya gagal.[15]
3. Penutup
Kesimpulan
Bonhoeffer adalah seorang teolog yang berasal
dari Jerman. Ia meninggal dunia pada 9 April 1945. Ia meninggal karena dibunuh
oleh Hittler dari partai Nazi., karena ia tertangkap mempunyai misi untuk
membunuh Hitler. Bonhoeffer tergolong dalam teolog yang sekuler. Dimana dia
menjadikan agama kristen tanpa agama, dimana dia menginterpretasikan injil bagi
manusia modern. Yaitu dengan cara mensekulerkan injil Kristus. Karena ia
menganggap orang pada masa sekarang ini sudah tidak lagi memahami konsep
Kristen secara tradisionalis.
Daftar Pustaka
Adji Ageng Sutama, dkk., Struggling in Hope
Bergumul dalam Penghargaan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia), 2004, cet. 3
Harun Hadiwidjono, Theologia Reformatoris
Abad ke 20, (Jakarta: BPK Gunung Mulia), Jilid I
Suprianto, Merentang Sejarah Memaknai Kemandirian Menjadi Gereja Bagi
Sesama, (Jakarta: BPK Gunung Mulia), 2009
Wellem F.D, Riwayat hidup singkat
tokoh-tokoh dalam sejarah gereja,(gunung mulia, kwitang, jakarta), 2009,
cet-10
Stephen Lang J. & Randy Peter, 100 Peristiwa Penting Dalam
Sejarah Kristen, (Jakarta:BPPK Gunung Mulia), 2007
Karel A. Steenbrink, Perkembangan Teologi
Dalam Perkembangan Kristen Modern, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press),
1987, cet. 1
[1] Wellem F.D, Riwayat hidup singkat tokoh-tokoh dalam sejarah
gereja, (Jakarta: Gunung Mulia,2009, cet-10, h-40-42.
[3] Melalui metode tersebut kita berbicara tentang Allah secara duniawi
atau kita memberikan Injil tanpa religi. Lih. Buku Harun Hadiwidjono disebutkan bahwa ini didasarkan pada
pertimbangan bahwa sekarang ini zaman religi telah lampau, dengan akibat bahwa
dengan pengertian-pengertian Alkitab yang kita warisi telah tidak dapat
dimengeti lagi oleh para orang modern. Oleh karena itu maka
pengertian-pengertian itu perlu diberi interpretasi non religius atau dapat dikatakan “kita harus
berbicara tentag Allah secara duniawi”, atau “kita harus membritakan injil
tanpa religi”. (Harun Hadiwidjono, Theologia Reformatoris Abad Ke dua puluh,
(Jakarta:BPK Gunung Mulia), 1985 h. 51). Lih. Juga dalam tulisan Karel A.
Steenbrink dalam bukunya yang berjudul Perkembangan Teologi Dalam
Perkembangan Kristen Modern, disitu disebutkan bahwa Nama Tuhan terlalu
sering dislahgunakan. Akhirnya Bonhoeffer mengusulkan supaya tidak lagi
menggunakan nama Tuhan itu, karena toh tidak ada gunanya, dan toh
disalahgunakan saja. Lebih baik manusia harus hidup etsi deus non daretur,
seolah-olah tidak ada Tuhan, eskipun para pengikut Yesus tetap diwajibkan
melaksanakan perintah-perintah etika yang diberikan Yesus.
[4] Dalam buku Karel A.
Steenbark menyatakan bahwa Bonhoeffer pada tahun 1933 itu mengajar Kristologi
selama satu semester. Menurut rencananya, kursus akan dibagi dalam tiga topik:
sesudah pendahuluan, akan dibahas Yesus, yang hadir sekarang ditengah-tengah
umat (the present Christ), selanjutnya Yesus, yang pernah hidup di dunia ini:
di negeri Palestina (the Historical Christ), dan bagian ketiga mestinya
menguraikan Yesus sebagai wujud dan tidak diciptakan oleh Tuhan, tetapi sudah
ada sebelum zaman mulai keluar dari
bapaknya (the Eternal Christ). Bagian ketiga ini merupakan topim yang
dominan dalam diskusi orang Kristen mulai abad ke dua sampai abad ke sepuluh.
Perbedaan antara orang Islam dan orang Kristen juga mencakup problematika
ketiga ini. Cukup banyak ahli teologi odern memandang bagian ketiga ini tidak
merupakan problematika yang paling penting. Dalam diktat kuliah Bonhoeffer
hanya tercatat bahwa semester sudah berakhir ketika dia selesai menguraikan the
Historical Christ, sehingga diktat tersebut sama sekali tidak memuat
pendapatnya disekitar eternal Christ.
[5] Karel A. Steenbrink, Perkembangan
Teologi Dalam Perkembangan Kristen Modern, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga
Press), h. 62
[6] Historical Christ berarti
hidup di dalam gereja yang dinamis yang berada di dala dialektik dengan negara.
Dalam uraiannya mengenai Yesus yang pernah hidup di dala sejarah dunia ini (The
Historical Chris) Bonhoeffer juga harus mengambil sikap terhadap problematika
yang dirumuskan oleh Baur, dan Von Harnack cs. Mereka hendak memisahkan antara
Yesus, seperti digambarkan oleh tiga karangan injil pertama (sinoptis, karena
perbedaannya tidak begitu besar) dan Kristus yang bangkit dari mati dan hidup
dekat Bapaknya dalam surga, seperti diproklamasikan dalam surat-surat Paulus.
[7] Yesus, hanya sebagai
tokoh sejarah tidak akan merupakan fundamen kehidupan keagamaan, sedangakan ide
Kristus yang sudah bangkit juga tidak akan mempunyai relevansi untuk umat Nya.
Hanya melalui hubungan yang dialektisdengan realitas Yesus seperti dilanjutkan
sampai sekarang. Historical Christ ini bisa memberikan semangat kepada
umat dan bisa menjiwai usahanya untuk mencapai kerajaan Allah.
[8] Hal ini dikategorikan
dalam jalur teologi being. Menurut Bonhoeffer being lebih
bersifat objektif karena pendekatan dasarnya adalah manusia dapat mengenal
Allah secara nyata, khususnya dalam fakta bahwa Allah telah menempatkan diri
Nya di dalam Kristus dihadapan dan untuk manusia.
[9] Dengan meminjam terminologi
M. Luther, Bonhoeffer menegaskan keobjektifan posisi ini karena adanya
kenyataan “God is for us” melaui hadir nya Allah yang menjumpai manusia
lewat sakramen dan firman secara substansial dan materi.
[10] Ester Stepfani Hermawan, Kristologi
Dietrich Bonhoeffer, diakses pada 16 oktober 2013, dari http://crumbsofgrace.blogspot.com/2013/01/kristologi-dietrich-bonhoeffer.html
[11] Harun Hadiwidjono, Theologia
Reformatoris Abad ke 20, (Jakarta: BPK Gunung Mulia), Jilid I, h. 48
[12] Adji Ageng Sutama, dkk., Struggling
in Hope Bergumul dalam Penghargaan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia), 2004, cet.
3, h. 829-830
[13] Harun Hadiwidjono, Theologia
Reformatoris Abad ke 20, (Jakarta: BPK Gunung Mulia), Jilid I, h. 48-53
[14] Suprianto, Merentang
Sejarah Memaknai Kemandirian Menjadi Gereja Bagi Sesama, (Jakarta: BPK
Gunung Mulia), 2009, h. 148-149
[15] Stephen Lang J. & Randy Peter, 100 Peristiwa Penting Dalam Sejarah Kristen, (Jakarta:BPPK Gunung
Mulia), 2007, h. 159
0 komentar:
Posting Komentar