PENDAHULUAN
Setiap agama langit, secara primer atau secara esensial, tentu
mendasarkan ajaran-ajarannya pada wahyu dan ilham. Dari wahyu dan ilhamlah
agama samawi lahir, dan karena kemukjizatan wahyu dan ilhamlah ia menang,
bahkan berdasarkan ajaran-ajaran wahyu dan ilhamlah segala kaidah dan sendinya
berdiri tegak. Seorang Nabi tidak lain hanyalah manusia biasa yang diberi
kekuatan untuk dapat berhubungan dengan Tuhan dan mengekspresikan kehendak-Nya.
Agama Islam seperti halnya dengan agama-agama semit lainnya, mengambil
ajaran-ajarannya dari langit dan sumber-sumbernya yang utama adalah al-Kitab
sebagai wahyu yang lansung dan as-Sunnah sebagai wahyu yang tidak langsung.
Oleh karena itu, barang siapa yang mengingkari wahyu berarti ia menolak Islam
secara keseluruhannya, atau sekurang-kurangnya merobohkan sendi-sendi yang
utama dan fundamental. Bahkan tindakan itu merupakan pelanggaran terkutuk.
Kita akan melihat bagaimana filsafat kenabian memikul tugas
mengemukakan dan menyelesaikan masalah yang muncul dari peran Muhammad Saw.,
sebagai Nabi dan rasul. Untuk itu, penulis berusaha membahasnya sekuat tenaga
guna mencari pengetahuan tentang kenabian.
PEMBAHASAN
A.
Signifikasi
Nabi dan Kenabian
Dalam pengertian agama samawi, nabi adalah manusia yang memperoleh
wahyu dari Tuhan tentang agama dan misinya. Lebih khusus lagi terdapat istilah
rasul yang dalam agama Islam dibedakan bahwa rasul memiliki kewajiban untuk
menyampaikan ajaran yang diterima dari Tuhan.[1]
Ibnu Arbai dalam membedakan antara nabi dengan wali, memberikan
pengertian yang mengakar tentang istilah ini adalah: nb’ diartikan
dengan mengabarkan. Sedangkan nbw diartikan dengan mengangkat. Berkenaan
dengan nb’, bentuk fa’il dapat memiliki makna aktif (fa’il)
dan pasif (maf’ul), yaitu istilah nabi yaitu seseorang yang diberi kabar
oleh Tuhan, dan seseorang yang pada gilirannya memberi kabar kepada umat.
Berkaitan dengan akar yang kedua, ia memiliki arti pasif, yaitu istilah nabi
berarti seseorang yang diangkat oleh Tuhan. Makna ini juga berlaku untuk para
Ulama, karen adikatakan dalam al Qur’an, “ Tuhan mengangkat mereka ang
beriman diantaramu dan mereka yang memiliki pengetahuan”
(QS. 58: 11).
(QS. 58: 11).
Bentuk aktif yaitu, “seseorang yang memberi berita kepada umat”
adalah lebih tepat pada Rasul (mursal) daripada nabi yang bukan rasul dan wali
yang menjadi pewarisnya (al wali al warits), sementara makna pasif kedua akar
itu lebih tepat bagi wali dan nabi bagi wali dan nabi yang bukan rasul. Namun,
terdapat perbedaan antara keduanya: Tuhan memberi kabar Nabi melaui perantara
malaikat, sementara wali lewat ilham secara langsung. Selanjutnya, Ibnu Arabi
mengacu cerita Khidr dan Musa, dengan mengutip kata-kata Khidir dalam al ur’an,
“ Engkau tidak akan memiliki kesabaran denganku. Bagaimana engkau dapat menunjukkan
tentang sesuatu yang diluar pengalamanmu?” (Qs. 16:88). Kata-kata Khidir kepada
Musa ini jelas menunjukkan bahwa maqam para nabi dan para wali adalah berbeda.
Namun, dalam hal ini, Ibnu Arabi tiba-toba menghentikan penjelasan, dengan
mengetakan bahwa disini terxdapat rahasia yang akan menggoncangkan ‘Arasy,
jika dibuka secara paksa.[2]
At Tirmidzi memiliki perbedaan teori tentang kewalian dengan Ibnu
Arabi. Namun ini bukan hanya teori wali saja, namun juga menyangkut dengan
teori kenabian nya. Maka menurut Ibnu Arabi, kenabian dibagi menjadi khusus,
legislatif dan umum, absolut, dan kenabian umum juga diberikan kepada para
wali, sementara kenabian khusu hanya diterapkan pada para rasul. Menurut Ibnu
Arabi, dalam diri Nabi, kewaliannyaada;lah lebih tinggi dari kenabian dan
kerasulannya.[3]
Seperti Ibnu Arabi, begitu At Tirimidzi juga menyatakan
pandangannya tetang Kenabian. Menurut at Tirmidzi kenabian umum dapat diraih,
sementara kenabian dengan wewenang legislasi tidak dapat diraih dengan
amalan-amalan tambahan disertai tobat secara sungguh-sungguh. Hanya melalui
kasih sayang Tuhan sebagai Karunia yang dengannya para sufi dapat mencapai
maqam kedekatan, sebagaimana kedekatan, sebagiamanadiungkapkan dalam hadis qurb
an nawafil. Manusia dapat menerima berbagai macam pengetahuan Tuhan dengan
kemampuan dan kesiapan mereka.[4]
B.
Filsafat
Kenabian
Pada masa al Farabi dan Ibnu Sina,teori kenabian merupakan fenomena
baru yang khas islami karena tidak ditemukan teori-teori kenabian ini. Oleh
karena itu teori yang dihasilkan oleh para filosof muslim merupakan wujud nyata
dari tanggung jawab moral mereka untuk menjelaskan secara rasional dogma-dogma
ajaran islam yang mereka anut.
Filosof muslim telah memberikan sumbangan yang penting, yaitu
tentang penemuannya pancaindera batin yang ditambahkan pancaindera lahir yang
terkenal. Salah satu indera batin yang relevan dengan teori kenabian ini adalah
imajinasi. Imanjinasi yang disebut Ibnu Sina sebagai imajinasi kompositif,
adalah daya mental yang dapat menggabung-gabungkan bentuk fisik yang telah
dicerap oleh indera lahiriah kita ke dalam bentuk-bentuk yang unik, yang tidak
ditemukannya di alam fisik.
Selain imajinasi, teori yang dapat menopang filsafat kenabian
adalah teori metafisika emanasi, khusus nya yang berkenaan dengan ittishal yang
membicarakan kemungkinan bagi akal manusia untuk mengadakan kontak dengan akal
aktif, yaitu akal ke sepuluh (Malaikat Jibril). Melalui doktrin Ittishal
(kontak dengan akal aktif), para filosof menunjukkan bahwa kontak dengan agen
spiritual merupakan inti dari nubuwah.
Menurut al Farabi, Kenabian merupakan efek alamiah yang dimiliki
emanasi cahaya akal aktif atas kecakapan imajinasi reseptis. Dia membagi Nabi
ke dalam dua level. Dalam kenabian berlevel rendah, emanais akal aktif bergerak
melalui kecakapan rasional, lalu memasuki kecakapan imajinatif dari seseorang
yang belum secara penuh mengembangkan akalnya. Pada levelini, Kenabian bisa
menghasilkan pengetahuan tentang peristiwa-peristiwa individual yangberada di
luar jangkauan indera, apakah peristiwa saat ini yang terjadi di tempat yang
jauh, atau peristiwa masa depan, dan bisa memberikan pemerian figuratif dari
kebenaran teoretis. Dalam kenabian yang lebih tinggi (Wahyu), emanasi dari akal
aktif bergerak melaui akal manusia yang telah dikembangkan secara penuh, dan
karena itu ia telah mengadakan kontak dengan akal aktif.
Kenabian dalam pelbagai manifestasinya merupakan hasilinteraksi
antara akal dengan kemampuan meniru dari daya imajinasi. Pengetahuan kenabian
unik, karena ahwa baik nabi maupun filosof dapat meraih pengetahuan dari sumber
yang sama yaitu akal aktif, atau malaikat Jibril. Apa yang membuat unik, adalah
kenabian sejati merupakan simbolisasi dari kebenaran yang sama yang diketahi
secara demonstratif dan intelektual dalam filsafat.
Para Nabi memiliki daya imajinasi yang sensitif, disamping
intelektual yang memungkinkan imajinasi mereka menerima arus atau emanasi
entitas-entitas abstrak dari akal aktif, sebuah emanais yang hanya bisa
dicadangkan untuk daya intelektual. Namun, karena imajinasi sesuai dengan
tabiat yang tidak bisa menerima ma’qulat yang abstrak, nabi memanfaatkan
kemampuan meniru untuk merepresentasikan ide keagungan ke dalam bentuk simbol
yang konkret. Dengan cara itu, apa yang biasanya diperoleh hanya oleh sebagian
kecil manusia terpilih (filosof) yang telah mencapai akal mustafad, dapat
dikomunikasikan oleh nabi melalui samaran cinta indriawi kepada publik non
filosofis yang lebih luas.
Filsafat Kenabian Ibnu Sina lebih halus dan ortodok.[5] Pentingnya gejala kenabian dan wahyu ilahi
merupakan sesuatu yang oleh Ibnu Sina telah diusahakan untuk dibangun dalam
empat tingkatan: intelektual, “imajinatif”, keajaiban, dan sosio politis.
Totalitas keempat tingkatan ini memberi kita petunjuk jelas tentang motivasi,
watak dan arah pemikiran keagamaan.Akal manusia terdiri empat macam yaitu akal
materil, akal intelektual, akal aktuil, dan akal mustafad. Dari keempat akal
tersebut tingkatan akal yang terendah adalah akal materiil. Ada kalanya Tuhan
menganugerahkan kepada manusia akal materiil yang besar lagi kuat, untuk hal
ini, Ibnu Sina diberi nama al-hads yaitu intuisi.
Menurut filsafat kenabian Ibnu Sina, daya pada akal materiil begitu
besar, sehingga tanpa melalui latihan dengan mudah berhubungan dengan akal
aktif dan menerima cahaya atau wahyu dari Tuhan. Akal serupa ini mempunyai daya
suci. Inilah bentuk akal tertinggi yang dapat diperoleh manusia dan terdapat
hanya pada nabi-nabi. Jadi wahyu dalam pengertian teknis inilah kemudian
mendorong manusia untuk beramal dan menjadi orang baik, tidak hanya murni
sebagai wawasan intelektual dan ilham belaka. Maka tak ada agama yang hanya
berdasarkan akal murni. Namun demikian, wahyu teknis ini, dalam rangka mencapai
kualitas potensi yang diperlukan, juga tak pelak lagi menderita karena dalam
kenyataannya wahyu tersebut tidak memberikan kebenaran yang sebenarnya, tetapi
kebenaran dalam selubung simbol-simbol.[6]
Ibnu Sina mendefinisikan jiwa sebagaimana Aristoteles
mendefinisikannya pada waktu sebelumnya. Menurut Ibnu Sina, jiwa adalah
kesempurnaan awal, karena dengannya spesies (jins) menjadi sempurna sehingga
menjadi manusia nyata. Pengertian kesempurnaan menurut Ibnu Sina adalah sesuatu
yang dengan keberadaannya tabiat jenis menjadi manusia.
Ibnu Sina membagi daya jiwa menjadi tiga bagian, yaitu :
1. Jiwa Tumbuh-tumbuhan
Menurut Ibnu Sina, jiwa tumbuh-tumbuhan memiliki tiga daya, yaitu :
a. Daya nutrisi, yaitu
daya yang mengubah makanan menjadi bentuk tubuh, dimana daya itu ada di
dalamnya.
b. Daya pembuluh, yaitu
daya penambah kesesuaian pada seluruh bagian tubuh yang diubah karena makanan,
baik dari sisi panjang, lebar, maupun volume.
c. Daya generativ,
yaitu daya yang mengambil dari suatu bagian tubuh yang secara potensial sama.
2. Jiwa Hewan
Ibnu Sina berpendapat bahwa jiwa hewan memiliki kekuatan, yaitu :
1. Daya penggerak, yang
terdiri dari dua bagian, yaitu penggerak sebagai pemici dan penggerak sebagai
pelaku. Penggerak sebagai pemicu adalah daya hasrat. Daya penggerak sebagai
pemicu ini terbagi menjadi dua sub-bagian, yaitu daya syahwat dan daya daya
emosi.
Daya penggerak sebagai pelaku adalah daya yang muncul di dalam urat
dan syaraf untuk melakukan gerakan yang sesuai dengan tujuan untuk mewujudkan
keinginan.
2. Daya persepsi,
terbagi menjadi dua bagian, yaitu daya yang mempersepsi dari luar (panca indera
eksternal) dan daya yang mempersepsi dari dalam (indera batin, semisal indera
kolektif, daya konsepsi, daya fantasi, waham, dan memori).
3. Jiwa Rasional
Seperti yang dilakukan al-Farabi, Ibnu Sina membedakan dua daya di
dalam jiwa rasional, yaitu :
1. Daya akal praktis, cenderung
untuk mendorong manusia memuaskan perbuatan yang pantas dilakukan atau
ditinggalkan, dapat disebuat juga perilaku moral.
2. Daya akal teoritis,
adalah mempersepsi potret-potret universal yang
bebas dari materi. Ada beberapa tingkatan akal teoritis, yaitu : 1) Akal
potensial (akal hayulani); 2) Akal bakat (habitual); 3) Akal aktual; 4) Akal
perolehan.[7]
Ibnu Sina percaya bahwa kanabian terjadi akibat emanasi dari akal
aktif kepada daya imajinasi, yang ia sebut Daya Imajinasi Kompositif (al Mutakhayyilah).
Namun, pada tingkat yang lebih tinggi nabi memiliki sebuah daya suci atau
bahkan disebut intuisi suci (al hads al qudsi), yaitu daya yang paling tinggi
yang diperoleh manusia. Dengan daya ini, nabi nabi mengadakan kontak dengan
akal aktif tanpa usaha keras dan didikan khusus terhadap daya rasionalnya. Ibnu
Sina membagi kenabian menjadi dua. Kategori rendah (umum) berfokus pada
imajinasi manusia yang berfokus menjadi dua: daya imajinatif rentetif (khayal)
dan daya imajinatif kompositif (mutakhayyilah). Kecakapan kognitif memainkan
peranan penting dalam semua upaya yang menyeluruh untuk memperoleh pengetahuan.
Namun untuk waktu yang panjang, ketika sedang tidur atau terjaga, kecakapan
imajinatif kompositif mengadakan kontak dengan wilayah supernal (malaku), yakni
jiiwa, benda langit, akal non fisik, terutama akal aktif. Maka, kontak akal
manusia dengan akal aktif menghasilkan emanasi oleh jiwa dari akal aktif,
demikian juga kontak imajinasi kompositif dengan wilayah supernal juuga memberi
jiwa sebuah emanasi. Jika peristiwa itu lama, jiwa akan mencapai sebah persepsi
tentang benda-benda yang tersembunyi, baik secara pasti seperti adanya atau
dipancarkan dalam citra figuratif. Hal tersebut merupakan pemikiran yang masuk
akal, atau ramalan masa depan.
Biasanya, imajinasi kompositif mempunyai kendali yang bebas dalam
keadaan terjaga hanya dalam kondisi yang tidak normal.. imajinasi kompositif
orang ini sangat cocok untuk mengadakan kontak dengan wilayah supernal. Ketika
melakukannya, orang tersebut mengalami kenabian yang khusus bagi kecakapan
imajinatif kompositif.
Ibnu Sina mengatakan bahwa imajinasi Nabi yang menyimbolkan
pengetahuan intelektual memungkinkan nabi melihat dalam jiwanya sendiri
bentuk-bentuk psikis atau mendengarkan suara-suara gaib. Yang termasuk kategori
kenabian adalah pengatahuan teoretis sejati yang dianugerahkan akal aktif
kepada akal manusia tanpa ia sendiri harus menggunakan prosedur-prosedur ilmiah
yang baku. Selain itu, nabi juga mempunyai daya mental yang luar biasa yang
mana ia dapat menghasilkan peristiwa-peristiwa aneh yang dipandang sebagai
mukjizat.
Ibnu Sina dan al Farabi mengatakan bahwa nabi harus tetao dipandang
sebagai manusia sejati, dengan keistimewaan tertentu, tidak boleh dipandang
sebagai manusia super atau spesies lain yang lebih tinggi dari manusia. [8]
PENUTUP
Kesimpulan
Filasfat kenabian adalah pemikiran atau pengetahuan yang
membicarakan tentang hakikat dan kedudukan nabi. Perbedaan filosof dengan nabi
adalah filosof adalah manusia biasa dia dapat berhubungan dengan akal kesepuluh
dengan latihan dan pemikiran atau
usahanya sendiri, sedangkan nabi adalah manusia pilihan dapat
berhubungan dengan akal kesepuluh dengan daya imajinasi. Metode nabi dan
filosof menerima epistemologi adalah nabi menerima pengatahuan dengan daya
imajinasi tanpa dengan akal, tapi filosof menerima pengetahuan dengan akal
mustafat mustafad.
DAFTAR PUSTAKA
Kartanegara, Mulyadi, Pengantar Epistemologi Islam,
(Jakarta: Mizan), 2003
Takeshita, Mashataka, Ibn Arabi’s Theory of the Perfect Man and
Its Place in the History of Islamic Thought, (Surabaya: Risalah Gusti),
2005
Anis Syarifah, FILOSOF IBNU SINA (Kosmologi, Filsafat Jiwa,
Filsafat Kenabian dan Filsafat Wujudnya), diakses pada 22 November 2013,
dari
syarifahanis.blogspot.com/2012/05/filosof-ibnu-sina-kosmologi-filsafat.html
Mushlihin al Hafizh , Falsafat Kenabian Ibnu Sina, diakses
pada 21 november 2013, dari
http://www.referensimakalah.com/2012/07/filsafat-kenabian-ibnu-sina.html
Wikipedia, Nabi, diakses pada 22 November 2013, dari
http://id.wikipedia.org/wiki/Nabi
[1]
Wikipedia, Nabi, diakses pada 22 November 2013, dari http://id.wikipedia.org/wiki/Nabi
[2]
Mashataka Takeshita, Ibn Arabi’s Theory of the Perfect Man and Its Place in
the History of Islamic Thought, (Surabaya: Risalah Gusti), 2005, h. 191-192
[3]
Mashataka Takeshita, Ibn Arabi’s Theory of the Perfect Man and Its Place in
the History of Islamic Thought, h. 198
[4]
Mashataka Takeshita, Ibn Arabi’s Theory of the Perfect Man and Its Place in
the History of Islamic Thought, h. 203
[5] Mulyadi
Kartanegara, Pengantar Epistemologi Islam, (Jakarta: Mizan), 2003, h.
102
[6] Falsafat
Kenabian Ibnu Sina, Mushlihin al Hafizh, diakses pada 21 november 2013, dari http://www.referensimakalah.com/2012/07/filsafat-kenabian-ibnu-sina.html
[7] Anis
Syarifah, FILOSOF IBNU SINA (Kosmologi, Filsafat Jiwa, Filsafat Kenabian dan
Filsafat Wujudnya), diakses pada 22 November 2013, dari syarifahanis.blogspot.com/2012/05/filosof-ibnu-sina-kosmologi-filsafat.html
[8] Mulyadi
Kartanegara, Pengantar Epistemologi Islam, (Jakarta: Mizan), 2003, h.
102-110
0 komentar:
Posting Komentar