Pendahuluan
Ibnu Sina adalah seorang filosof muslim
yang dikenal dari masa ke masa. Karena karya-karya nya yang begitu banyak dan
luar biasa yang digunakan oleh beberapa kaum intelektual di Barat dan Timur.
Ibnu Sina sejak muda telah menguasai beberapa disiplin ilmu seperti matematika,
logika, fisika, kedokteran, astronomi, hukum, dan lain-lainnya, bahkan sejak
usia sepuluh tahun ia telah hafal al Qur’an.
Ibnu Sina secara tidak langsung berguru
pada al Farabi. Hal ini terjadi ketika ia kesulitan untuk memahami metafisika
Aristoteles, sekalipun telah ia baca 40 kali dan hampir hafal diluar kepala.
Akhirnya, ia tertolong berkat bantuan risalah kecil al Farabi. Ini berarti
bahwa Ibnu Sina adalah pewaris filsafat Neoplatonisme Islam yang dikembangkan
oleh al Farabi. Dengan istilah lain, Ibnu Sina adalah pelanjut dan pengembang
filsafat Yunani yang sebelumnya telah dirintis al Farabi dan dibukakan pintu
oleh al Kindi. [1]
Diantara
karya tulis Ibnu Sina ialah:
1. Al
Syifa. Berisikan uraian tentang filsafat yang terdiri atas empat bagian:
keTuhanan, fisika, matematika, dan logika
2. Al
Najat: berisikan keringkasan dari kitab al Syifa. Karya tulis ini ditujukannya
khusus untuk kelompok terpelajar yang ingin mengetahui dasar-dasar ilmu hikmah
secara lengkap.
3. Al
Qanun fi al Thibb: berisikan ilmu kedokteran yang terbagi atas lima kitab dalam
berbagai ilmu dan berjenis-jenis penyakit dan lain-lainnya
4. Al
Isyarat wa al Tanbihat: isinya mengandung uraian tentang logika dan hikmah.[2]
Pembahasan
1. Riwayat
Ibnu Sina
Ibnu Sina
dilahirkan di Asyfana dekat Bukhara pada tahun 980 M dan meninggal dunia pada
tahun 1037 M dalam usia 58 tahun. Dan dikebumikan di Hamadzan.[3]
Ibnu Sina menunjukkan prestasi yang luar biasa. Ia telah khatam al qur’an dan
sebagian sastra arab pada usia sepuluh tahun.[4]
2. Alam
menurut Ibnu Sina (Teori Emanasi)
Ibnu
Sina dan Al Farabi menemui kesulitan dalam menjelaskan bagaimana terjadinya
yang banyak yang bersifat materi (alam) dari Yang Esa, jauh dari arti banyak,
jauh dari materi, Mahasempurna, dan tidak berkehendak apa pun (Allah). Untuk
memecahkan masalah ini, ia mengemukakan penciptaan secara emanasi. Filsafat
emanasi berasal dari Plotinus yang menyatakan bahwa alam ini terjadi karena
pancaran dari Yang Esa. Kemudain, filsafat Plotinus yang berprinsip bahwa dari
yang satu hanya satu yang melimpah. Ini diislamkan oleh Ibnu Sina dan al Farabi
bahwa Allah menciptakan alam secara emanasi. Hal ini memungkinkan karena dalam
al Qur’an tidak ditemukan informasi yang rinci tentang penciptaan alam dari
materi yang sudah ada atau dari
tiadanya. Dengan demikian, walaupun prinsip Ibnu Sina dan Plotinus sama, namun
hasil dan tujuan berbeda. Oleh karena itu, dapat dikatakan, Yang Esa Plotinus
sebagai penyebab yang pasif bergeser menjadi Allah Pencipta yang aktif. Ia menciptakan alam
dari materi yang sudah ada secara pancaran.[5]
Table emanasi
Ibnu Sina:
(Subjek) Akal yang ke
|
Sifat
|
Allah sebagai Wajib
al Wujud menghasilkan
|
Dirinya sendiri sebagai wajib wujad lighairihi, menghasilkan
|
Dirinya sendiri mumkin wujud lizhatihi
|
Keterangan
|
I
|
Wajib al wujud
|
Akal
ll
|
Jiwa
l yang menggerakkan
|
Langit
pertama
|
Masing-masing
jiwa berfungsi sebagai penggerak satu planet karena (immateri) tidak bisa
langsung menggerakkan jisim (materi),
|
Ll
|
Mumkin al wujud
|
Akal
lll
|
Jiwa
ll yang menggerakkan
|
Bintang-bintang
|
|
Lll
|
Mumkin al wujud
|
Akal
lV
|
Jiwa
lll yang menggerakkan
|
saturnus
|
|
lV
|
Mumkin al wujud
|
Akal
V
|
Jiwa
IV yang menggerakkan
|
Yupiter
|
|
V
|
Mumkin al wujud
|
Akal
VI
|
Jiwa
V yang menggerakkan
|
Mars
|
|
VI
|
Mumkin al wujud
|
Akal
VII
|
Jiwa
VI yang menggerakkan
|
Matahari
|
|
VII
|
Mumkin al wujud
|
Akak
VIII
|
Jiwa
VII yang menggerakkan
|
Venus
|
|
VIII
|
Mumkin al wujud
|
Akal
IX
|
Jiwa
VIII yang meggerakkan
|
Merkuri
|
|
IX
|
Mumkin al wujud
|
Akal
X
|
Jiwa
IX yang menggerakkan
|
Bulan
|
|
X
|
Mumkin al wujud
|
--
|
Jiwa
X yang menggerakkan
|
Bumi,
roh, materi pertama yang menjadi dasar dari keempat unsur (udara, api, air,
tanah)
|
Akal
X tidak lagi memancarkan akal-akal berikutnya karena kekuatannya sudah lemah.
|
Akal-akal dan planet-planet dalam
emanasi di atas dipancarkan Allah secara hierarkis. Keadaan ini bisa terjadi
karena ta’aqul Allah tentang zat Nya
sebagai sumber energi dan menghasilkan energi maha dahsyat. Ta’aqul Allah tentang zat Nya adalah
ilmu Allah tentang diri Nya dan ilmu itu adalah daya (al qudrat) yang menciptakan segalanya. Agar sesuatu itu tercipta,
cukup sesuatu itu diketahui Allah. Dari hasil ta’aqul Allah terhadap zat Nya (energi) itulah di antaranya menjadi
akal-akal, jiwa-jiwa, dan yang lainnya memadat menjadi planet-planet.
Emanasi Ibnu Sina juga menghasilkan
sepuluh akal dan Sembilan planet. Sembilan akal mengurusi Sembilan planet dan
akal ke sepuluh mengurusi bumi. Masing-masing jiwa berfungsi sebagai penggerak
satu planet, karena akal (imateri) tidak bisa langsung menggerakkan planet yang
bersifat materi. Akal-akal adalah para malaikat, akal pertama adalah malaikat
tertinggi dan akal ke sepuluh adalah malaikat Jibril yang bertugas mengatur
bumi dan isinya.
Ibnu Sina memajukan emanasi ini
untuk mentauhidkan Allah semutlak-mutlaknya. Oleh karena itu, Allah tidak bisa
menciptakan alam yang banyak jumlah unsurnya ini secara langsung. Jika Allah
berhubungan langsung dengan alam yang plural ini tentu dalam pemikiran Allah
terdapat hal yang plural. Hal ini merusak citra tauhid.
Telah disebutkan bahwa perbedaan
yang mendasar antara emanasi Plotinus dengan Ibnu Sina ialah bagi Plotinus ala
mini hanya terpancar dari Yang Satu, yang mengesankan Allah tidak pencipta dan
tidak aktif. Hal ini ditangkap dari metafora yang ia gunakan bagaikan mentari
memancarkan sinarnya. Sementara itu dalam islam, emanasi ini dalam rangka
menjelaskan cara Allah menciptakan alam. Karena alam adalah ciptaan Allah,
dalam agama Islam termasuk ajaran pokok atau qath’i al dalalah. Dengan kata lain, kekhalikan Allah ini mesti
diimani seutuhnya. Orang yang mengingkarinya dapat membawa pada kekafiran. Atas
dasar itulah, maka ibarat mentari dengan sinarnya merupakan ibarat mentari
dengan sinarnya merupakan ibarat yang menyesatkan.
Sejalan dengan filsafat emanasi,
alam ini kadim Karena diciptakan oleh Allah sejak kidam dan azali. Akan tetapi,
Ibnu Sina membedakan antara kadimnya Allah dan alam. Perbedaan yang mendasar
terletak pada sebab membuat alam terwujud. Keberadaan alam tidak didahului oleh
zaman, maka alam kadim dari segi zaman (taqaddum
zamany). Adapun dari segi esensi, sebagai hasil ciptaan Allah secara
pancaran, ala mini baharu (hudus zaty).
Sementara itu, Allah adalah taqaddum zaty,
Ia sebab semua yang ada dan Ia Pencipta alam.
Jadi, alam ini baru dan kadim, baru dari segi esensi dan kadim dari segi
zaman.[6]
3. Teori
Ibnu Sina tentang Jiwa
Jiwa manusia
sebagai jiwa-jiwa lain dan segala apa yang terdapat dibawah rembulan, memancar
dari akal sepuluh. Secara garis besarnya pembahasan Ibnu Sina tentang jiwa
terbagi pada dua bagian berikut:
a. Fisika,
membicarakan tentang jiwa tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia.
1. Jiwa
tumbuh-tumbuhan mempunyai tiga daya: makan, tumbuh dan berkembang biak. Jadi,
jiwa pada tumbuh-tumbuhan hanya berfungsi untuk makna, tumbuh, dan berkembang
biak.[7]
2. Jiwa
binatang mempunyai dua daya: gerak (al
mutaharrikat) dan menangkap (al
mudrikat). Daya yang terakhir ini terbagi menjadi dua bagian:
a. Menangkap
dari luar dengan panca indera
b. Menangkap
dari dalam dengan indera-indera batin.[8]
3. Jiwa
manusia mempunyai dua daya: praktis dan teoretis. Daya prektis hubungannya
dengan jasad, sedangkan daya teoretis hubungannya dengan hal-hal yang abstrak.
Daya teoretis ini hubungannya empat tingkatan berikut:
a. Akal
materiil yang semata-mata mempunyai potensi untuk berpikir dan dilatiih
walaupun sedikit.
b. Akal
al malakat yang telah mulai dilatih untuk berpikir tentang hal-hal yang
abstrak.
c. Akal
aktual yang telah dapat berpikir tentang hal-hal abstrak.
d. Akal
mustafad, yaitu akal yang telah sanggup berpikir tentang hal-hal abstrak tanpa
perlu daya upaya. Akal seperti inilah yang dapat berhubungan dan menerima
limpahan ilmu pengetahuan dari akal aktif.[9]
b. Metafisika
1. Wujud
jiwa
Dalam
membuktikan adanya jiwa, Ibnu Sina mengemukakan empat dalil berikut.
a. Dalil
alam kejiwaan
Dalil ini
didasarkan pada fenomena gerak dan pengetahuan. Gerak terbagi menjadi dua
jenis.
1. Gerak
paksaan, yaitu gerakan yang timbul pada suatu benda disebabkan adanya dorongan
dari luar
2. Gerakan
tidak paksaan, yaitu gerakan yang terjadi baik yang sesuai dengan hokum alam
maupun yang berlawanan. Gerakan yang sesuai dengan hokum alam, seperti batu
jatuh dari atas ke bawah. Sementara itu yang berlawanan dengan hokum alam,
seperti manusia berjalan dan burung terbang. Padahal menurut berat badannya
manusia mesti diam, sedangkan burung seharusnya jatuh ke bumi. Hal ini dapat
terjafi karena adanya penggerak khusus yang berbeda dengan unsur jisim.
Penggerak ini disebut dengan jiwa.
b. Konsep
aku dan kesatuan fenomena psikologis
Dalil ini oleh
Ibnu Sina didasarkan pada hakikat manusia. Jika seseorang membicarakan
pribadinya atau mengajak orang lain berbicara, yang dimaksudkan pada hakikatnya
adalah jiwanya, bukan jisimnya. Ketika anda berkata, saya akan keluar atau saya
akan tidur, maka ketika itu yang dimaksud bukanlah gerak kaki atau memejamkan
mata, tetapi hakikatnya adalah jiwa.
c. Dalil
kontinuitas (al istimrar)
Dalil ini
didasarkan pada perbandingan jiwa dan jasad. Jasad manusia senantiasa mengalami
perubahan dan pergantian. Kulit yang kita pakai sekarang ini tidak sama dengan
kulit sepuluh tahun yang lewat karena telah menglami perubahan, seperti
mengerut dan berkurang. Demikian pula halnya dengan bagian jasad yang lain,
selalu mengalami perubahan. Sementara itu, jiwa bersifat kontinu, tidak mengalami
perubahan dan pergantian. Jiwa yang kita pakai sekarang adalah jiwa sejak lahir
juga dan akan berlangsung selama umur tanpa mengalami perubahan. Oleh karena
itu, jiwa berbeda dengan jasad.
d. Dalil
manusia terbang atau manusia melayang di udara
Dalil ini
dasarnya adalah khayalan.
Diandaikan ada
seorang tercipta sekali jadi dan mempunyai wujud yang sempurna. Kemudian
diletakkan di udara dengan mata tertutup. Ia tidak melihat apapun. Anggota
jasadnya dipisah-pisahkan sehingga ia tidak merasakan apa-apa. Dengan kondisi
demikian, ia tetap yakin bahwa dirinya ada. Di saat itu ia mengkhayalkan adanya
tangan, kaki, dan organ jasad lainnya, tetapi semua organ jasad tersebut ia
khayalkan bukan bagian dari dirinya. Dengan demikian berarti penetapan tentang
wujud dirinya bukan hal dari indra dan jasmaninya, melainkan dari sumber lain
yang berbeda dengan jasad, yakni jiwa.[10]
2. Hakekat
jiwa
Ibnu Sina
mendefinisikan jiwa dengan jauhar rohani. Definisi ini mengisyaratkan bahwa
jiwa merupakan subsatansi rohani, tidak tersusun dari materi-materi sebagaimana
jasad. Kesatuan antara keduanya bersifat
accident, hancurnya jasad tidak
membawa pada hancurnya jiwa (roh). Pendapat ini lebih dekat pada Plato yang
mengatakan bahwa jiwa adalah substansi yang berdiri sendiri. [11]
3. Hubungan
jiwa dengan jasad
Ibnu Sina
mengatakan bahwa adanya hubungan yang erat antara jiwa dan jasad. Jasad adalah
tempat bagi jiwa, adanya jasad merupakan syarat mutlak terciptanya jiwa. Dengan kata lain, jiwa tidak akan diciptakan
tanpa adanya jasad yang akan ditempatinya. Jika tidak demikian, tentu akan
terjadi adanya jiwa tanpoa jasad atau adanya satu jasad ditempati beberapa
jiwa. [12]
4. Kekekalan
jiwa
Menurut Ibnu
Sina jiwa manusia berbeda dengan tumbuhan dan hewan yang hancur dengan
hancurnya jasad. Jiwa manusia akan kekal dalam bentuk individual, yang akan
menerima pembalasan di akhirat. Akan tetapi kekalnya ini dikekalkan Allah. Jadi
jiwa adalah baru karena diciptakan (punya awal) dan kekal (tidak punya akhir).
Dalam menetapkan
kekalnya jiwa, Ibnu Sina mengemukakan tiga dalil berikut:
a. Dalil
al infishal, yaitu perpaduan antara
jiwa dan jasad bersifat aksiden, masing-masing unsur mempunyai substansi
tersendiri, yang berbeda antara satu dan lainnya. Karenanya, jiwa kekal
walaupun jasad binasa. Sementara itu, jiwa tidak dapat hidup tanpa adanya jiwa.
b. Dalil
al basathat, yaitu jiwa adalah jauhar
rohani yang hidup selalu dan tidak mengenal mati. Pasalnya, hidup merupakan
sifat bagi jiwa, dan mustahil bersifat dengan lawannya, yakni fana dan mati.
Karenanya jiwa dinamakan juga dengan jauhar
basith (hidup selalu).
c. Dalil
al musyabahat, dalil ini bersifat
metafisika. Jiwa manusia, sesuai dengan filsafat emanasi, bersumber dari Akal
Fa’al (akal sepuluh) sebagai pemberi segala bentuk. Karena akal sepuluh ini
merupakan esensi yang berpikir, azali, dan kekal, maka jiwa sebagai ma’lul (akibat) nya akan kekal
sebagaimana illat (sebab) nya.
Ibnu Sina mengatakan bahwa yang dibangkitkan di
kahirat nanti hanya rohnya. Pembalasan di akhirat hanya disediakan untuk roh
semata, sedangkan jasad akan lenyap seperti jasad tumbuhan dan hewan. Padahal,
manusia ynag diberi beban oleh agama adalah manusia yang tersusun dari jasad
akan lenyap seperti jasad tumbuhan dan hewan. Sebenarnya terjadinya perbedaan
interpretasi tentang hal ini disebabkan berbedanya pemahaman ajaran dasar dalam
islam yang tidak akan membawa pada kekafiran.[13]
4. Ketuhanan
Ibnu Sina dalam
membuktikan adanya Tuhan dengan dalil wajib
al wujud dan mumkin al wujud. Dalam
filsafat wujud nya, bahwa segala yang ada ia bagi dalam tiga tingkatan:
a. Wajib
al wujud, esensi yang mesti mempunyai wujud.
Di sini esensi
tidak dapat dipisahkan dari wujud, keduanya adalah sama dan satu. Esensi ini
wajib dan mesti berwujud selama-lamanya.
b. Mumkin
al wujud, esensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak berwujud.
Mumkin al wujud
ini jika dilihat dari segi esensi nya, tidak mesti ada dan tidak mesti tidak
ada karenanya ia disebut dengan mumkin al wujud bi dzatihi. Ia pun dapat pula
dilihat dari sisi lainnya sehingga disebut mumkin al wujud bi dzatihi dan wajib
al wujud bi ghairihi. Jenis mumkin mencakup semua yang ada selain Allah.
c. Mumtani’
al wujud, esensi yang tidak dapat mempunyai wujud. Seperti adanya sekarang ini
kosmos lain di sampind kosmos yang ada.
Tentng sifat-sofat Allah, Ibnu Sina
juga menyucikan Allah dari segala sifat yang dikaitkan dengan esensi Nya Karen
Allah Maha Esa dan Mahasempurna. Ia adalah tunggal, tidak terdiri dari
bagian-bagian. Jika sifat Allah dipisahkan dari zat Nya, tentu akan membawa zat
Allah menjadi pluralitas (ta’adud al
qudama).
Ibnu Sina juga berpendapat bahwa
ilmu Allah hanya mengetahui yang universal di alam dan Ia tidak mengetahui yang
parsial. Ini dimaksudkan Ibnu Sina bahwa Allah mengetahui Allah mengetahui yang
parsial di alam ini secara tidak langsung, yakni melalui zat Nya sebagai sebab
adanya alam. Dengan istilah lain, pengetahuan Allah tentang yang parsial
melalui sebab akibat yang terakhir pada sebab pertama, yakni zat Allah. Dari
pendapatnya ini, Ibnu Sina berusaha mengesakan A llah semutlak-mutlaknya dan ia
juga memelihara kesempurnaan Allah. Jika tidak demikian, tentu ilmu Allah yang
Mahasempurna akan sama dengan sifat ilmu manusia, bertambhanya ilmu membawa
perubahan pada esensi manusia.[14]
5. Al
Tawfiq (Rekonsiliasi) antara Agama dengan filsafat
Menurutnya,
nabi dan filosof menerima kebenaran dari sumber yang sama, yakni Malaikat
Jibril yang juga disebut Akal kesepuluh atau akal aktif. Perbedaannya pada cara
memperolehnya, bagi nabi terjadinya hubungan dengan Malaikat Jibril melalui
akal materiil yang disebut hads
(kekuatan, suci, qudsiyyat),
sedangkan filosof melalui akal mustafad. Nabi memperoleh akal materiil yang
dayanya lebih kuat daripada akal mustafad sebagai anugrah Tuhan kepada orang
pilihan Nya. Sementara itu, filosof memperoleh akal mustafad yang daya nya jauh
kebih rendah daripada akal materiil melalui latihan berat. Pengetahuan yang
diperoleh nabi disebut wahyu, berlainan dengan pengetahuan yang diperoleh
filosof hanya dalam bentuk ilham, tetapi antara keduanya tidaklah bertentangan.
Dalam
pandangan Ibnu Sina para nabi sangat diperlukan bagi kemaslahatan manusia dan
alam semesta. Hal ini disebabkan para nabi dengan mukjizatnya dapat dibenarkan
dan diiikuti manusia. Dengan kata lain, kebenaran yang disampaikan nabi benar
adanya hari akhirat dan lain-lain, dapat diterima dan dibenarkan manusia, baik
secara rasional maupun secara syar’i.[15]
[1] Sirajuddin Zar, Filsafat
Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 93
[2] Sirajuddin Zar, Filsafat
Islam: Filosof dan Filsafatnya, h. 94
[3] Sirajuddin Zar, Filsafat
Islam: Filosof dan Filsafatnya, h. 91
[4]Sudarsono, Filsafat Islam,
(Jakarta: 2010, Rineka Cipta), h. 41
[5] Sirajuddin Zar, Filsafat
Islam, Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: 2009, Raja Grafindo Persada), h.
220
[6] Sirajuddin Zar, Filsafat
Islam: Filosof dan Filsafatnya, h. 102-104
[7] Sirajuddin Zar, Filsafat
Islam: Filosof dan Filsafatnya, h. 104
[8] Sirajuddin Zar, Filsafat
Islam: Filosof dan Filsafatnya, h. 104-105
[9] Sirajuddin Zar, Filsafat
Islam: Filosof dan Filsafatnya, h. 105-106
[10] Sirajuddin Zar, Filsafat
Islam: Filosof dan Filsafatnya, h. 106-108
[11] Sirajuddin Zar, Filsafat
Islam: Filosof dan Filsafatnya, h. 108-109
[12] Sirajuddin Zar, Filsafat
Islam: Filosof dan Filsafatnya, h. 110
[13] Sirajuddin Zar, Filsafat
Islam: Filosof dan Filsafatnya, h. 110-112
[14] Sirajuddin Zar, Filsafat
Islam: Filosof dan Filsafatnya, h. 97-99
[15] Sirajuddin Zar, Filsafat
Islam: Filosof dan Filsafatnya, h. 95-96