Minggu, 04 Agustus 2013

Bioetika



PENDAHULUAN
Untuk masa kini, bioetika menjadi sangat mendesak karena di satu pihak permasalahan yang ditimbulkan kemajuan ilmu dan teknologi semakin luas dan pelik. Tapi di pihak lain ia mendesak karena masalah-masalah itu perlu diantisipasi sedini mungkin sejak sekarang, agar kita tidak sekedar bereaksi setelah masalah itu timbul, tetapi juga mencegahnya sebisa mungkin sejak sekarang. Maka pada penulis membahas mengenai bioetika.
PEMBAHASAN
A.    Pengertian
Ada beberapa macam definisi mengenai Bioetika. Dibawah ini ada beberapa macam definisi mengenai bioetika:
1. Bioetika ialah semacam ilmu pengetahuan yang menawarkan pemecahan masalah bagi konflik moral yang timbul dalam tindakan, praktek kedokteran dan ilmu hayati. (Sahin aksoy, 2002 dalam Muchtadi, 2007)
2. Bioetika ialah suatu disiplin baru yang menggabungkan pengetahuan biologi dengan pengetahuan mengenai sistem nilai manusia, yang akan menjadi jembatan antara ilmu pengetahuan dan kemanusiaan, membantu menyelamatkan kemanusian, dan mempertahankan dan memperbaiki dunia beradab (Van Potter, 1970 dalam Muchtadi, 2007).
3. Bioetika ialah kajian mengenai pengaruh moral dan sosial dari teknik-teknik yang dihasilkan oleh kemajuan ilmu-ilmu hayati (Honderich Oxford, 1995 dalam Muchtadi, 2007)
4. Bioetika bukanlah suatu disiplin. Bioetika telah menjadi tempat bertemunya sejumlah disiplin, diskursus, dan organisasi yang terlibat dan peduli pada persoalan
etika, hukum, dan sosial yang ditimbulkan oleh kemajuan dalam kedokteran, ilmu pengetahuan, dan bioteknologi (O nara O’neill, 2002 dalam Muchtadi 2007).
5. Bioetika mengacu pada kajian sistematis, plural dan interdisiplin dan penyelesaian masalah etika yang timbul dari ilmu-ilmu kedokteran, hayati, dan sosial, sebagaimana yang diterapkan pada manusia dan hubungannya dengan biosfera, termasuk masalah yang terkait dengan ketersediaan dan keterjangkauan perkembangan keilmuan dan keteknologian dan penerapannya. (UNESCO, 2005 Muchtadi 2007).
6. Sedangkan di Indonesia, berdasarkan Kepmen Menristek No.112 Tahun 2009, menyatakan bahwa bioetika adalah ilmu hubungan timbal balik sosial (Quasi social science) yang menawarkan pemecahan terhadap konflik moral yang muncul dalam penelitian, pengembangan, dan pemanfaatan sumber daya hayati. Diperlukan rambu-rambu berperilaku (etika) bagi para pengelola ilmu pengetahuan, ilmuwan dan ahli teknologi yang bergerak di bidang biologi molekuler dan teknologi rekayasa genetika.[1]
B.     Bioetika menurut beberapa pendapat
Makna asli bioetika menunjuk pada studi sistematis atas perilaku manusia dalam ilmu-ilmu tentang hidup dan kesehatan, sejauh perilaku ini diuji dalam cahaya nilai-nilai dan prinsip-prinsip moral.
Sementara itu, Challahan melukiskan bioetika sebagai sebuah disiplin baru “yang bertanggung jawab atas tugas pengolahan sebuah metodologi yang membantu para pakar medis dan mereka yang terjun dalam bidang ilmu pengetahuan untuk mengambil keputusan-keputusan yang baik dan benar dari tinjauan sosiologis, psikologis, dan sejarah.”
Sedangkan varga menekankan tugas bioetika untuk mempelajari moralitas tentang perilaku manusia dalam bidang ilmu pengetahuan dalam hidup. Ini mencakup etika medis, namun dari sisi lain melampaui masalah-masalah etis tentang ilmu-ilmu biologi.
O. Hoffe berpandangan bahwa bioetika tertarik dengan masalah-masalah etis tentang kelahiran, hidup, dan kematian, khususnya mengukuti perkembangan-perkembangan terakhir dan kemungkinan-kemungkinan penyelidikan dan pengobatan biologis dan medis. Ilmu ini mempelajari masalah moral tentang aborsi, sterilisasi dan kontrol kelahiran, manipulasi genetika, eutanasia, serta uji coba atas manusia.”
E. Sgreccia memahami bioetika sebagai bagian dari filsafat moral yang menakar keabsahan atau tidak hanya campur tangan atas hidup manusia, khususnya dalam hubungan dengan praktek dan perkembangan ilmu-ilmu medis dan biologis. Secara umum, bioetika disamakan dengan moral tentang dunia medis, yang terpaut dengan masalah kesehatan manusia, dalam terang iman kepercayaan. Bioetika adalah sebuah pendekatan fisis-biologis yang dilengkapi dengan pendekatan rohani.[2]
C.     Sejarah dan Perkembangan Bioetika
Sebagai salah satu disiplin ilmu, bioetika belum genap berusia setengah abad. Kurang lebih satu dekade sebelum kelahiran bioetika di Amerika Serikat, dunia pelayanan kesehatan mengalami kemajuan pesat, berbagai teknologi kesehatan mulai diperkenalkan, sementara praktik transplantasi organ, terutama transplantasi hati mulai dipraktikkan di rumah sakit-rumah sakit. Pertambahan jumlah penduduk yang pesat ikut menuntut perubahan pola pelayanan kesehatan, sementara penelitian dan pengembangan teknologi kesehatan dengan melibatkan manusia sebagai subjek penelitian tidak jarang menimbulkan masalah sosial dan etis yang harus dipecahkan.
Inilah latar belakang sosial yang mendorong senator Walter F. Mondale dari Minesota mengumumkan rencana pembentukan apa yang kemudian disebut sebagai A kommission on Ethical and Social Implications of Health Science and Development. Melalui sebuah survey singkat diperoleh data bahwa masyarakat memang menginginkan terbentuknya komisi ini, dan dengan dukungan 16 senator lainnya akhirnya senat mengeluarkan Joint R                                   esolution 145 yang merekomendasikan terbentuknya komisi dimaksud. Komisi ini diberi mandat untuk meneliti apa dampak legal, sosial, dan etis dari penelitian medis.
Perkembangan ini segera memicu gairah luar biasa di bidang etika terapan, terutama kajian masalah-masalah etis dalam pelayanan kesehatan. Setahun setelah komisi etik kepresidenan itu terbentuk, berdirilah sebuah pusat kajian nirlaba dan nonpartisipan bernama The Hasting Center di Washington DC, yang mengkhususkan dari dalam penelitian dan pengembangan bioetika. Sementara itu, lembaga dengan misi dan tujuan yang kurang lebih sama bernama The Kennedy Institute of Bioethics pun didirikan tahun 1971 di Georgetown University, Washington DC. Setahun sebelumnya, Van Rensselaer menerbitkan sebuah artikel berjudul Bioethics, the Science of Survival, dan diikuti oleh penerbitan bukunya berjudul Bioethics: Bridge of the Future (1971). Buku lain yang juga menandai kelahiran bioetika adalah karangan, sebuah materi kuliah tahun 1969 yang terbit sebagai buku setahun kemudian. Tentu saja karya Dan Callahan berjudul Bioethics Paul Ramsey berjudul Patient as person as a Discipline yang terbit tahun 1973 tidak boleh lupa disebut, karena dari judul buku inilah untuk pertama kalinyaa kata “bioetika” masuk sebagai entry dalam  katalog Perpustakaan Nasional Kongres.
Itulah perkembangan dan gairah yang menandai kelahiran bioetika, terutama di Amerika  Serikat. Dimana peran agama (Katolik) bagi kelahiran bioetika? Apakah betul bioetika dilahirkan dari rahim agama katolik yang di kemudian hari coba disangkanya? Catatatn Albert R. Jonsen sangat membantu penelusuran kita menemukan jawaban atas pertanyaan ini.
Di sekitar tahun 1970 an yang menjadi tahun kelahiran bioetika tersebut, sebenarnya keterlibatan dua imam Jesuit (salah satunya kemudian meninggalkan imamat) dalam membidani kelahiran bioetika di Amerika Serikat – dari tradisi religius – pantas  disebut. Tepatnya tahun 1973 Albert R. Jonsen, waktu itu masih sebagai imam Jesuit dengan tradisi teologi moral Katolik yang sangat kuat diangkat sebagai Associate Professor Bioetika di School of Medicine, University of California, San Fransisco (UCSF). Jonsen memaknakan kiprahnya dalam pengajaran etika praktis di dunia kedokteran sebagai memasuki wilayah yang baru sama sekali, yang menuntut dia meninggalkan segala pemahaman dan  cara pandangnya sendiri supaya bisa memahami dunia baru tersebut dari dalam, sebelum mengembangkan pemikiran-pemikiran etisnya sendiri.
Imam Jesuit lainnya yang juga berjasa bagi kelahiran bioetika di Amerika Serikat adalah Richard  McCormick (1923-2000), seorang profesor teologi moral di seminari Jesuit dan editor jurnal Theological Studies. Ketika di tahun 1970 an masalah percobaan dalam penelitian menggunakan manusia sebagai objek dan perawatan pasien terminal menjadi perdebatan publik, McCormick sering dimintai pendapatnya, tidak hanya mewakili suara dan pandangan moral Gereja Katolik, tetapi juga pemikir dari tradisi keagamaan yang ada di AS. Tahun 1974 Dr. Andre Hellegers, seorang alumni sekolah Jesuit dan pendiri Kennedy Institute for Bioethics membawa McCormick ke Georgetown University, dan di kampus inilah pemikir yang bertahan sebagai imam Jesuit sampai akhir hayatnya ini menjadi seorang bioetikawan profesional.
Mengapa dua imam Jesuit ini disitir sebagai contoh peran Gereja Katolik membidani kelahiran bioetika? Kedua imam ini dan ribuan imam katolik lainnya sebenarnya mewariskan tradisi gereja katolik yang menaruh perhatian penuh pada masalah-masalah bioetika, jauh sebelum disiplin etika terapan ini lahir ke dunia. Di zaman kejayaan para Bapa Geraja (patristic age), misalnya, para teolog yang umumnya menaruh perhatian pada masalah pastoral praktis sebenarnya telah menaruh minat pada masalah etika medis. Sebutlah Klemens dari Alexandria (150-210). Pendiri pertama sekolah teologi kristiani, yang dengan tegas mengecam praktik kontrasepsi. Bagi dia, kontrasepsi harus dilarang, karena hubungan perkawinan hanya dibenarkan demi tujuan melahirkan dan membesarkan keturunan.
Perkembangan yang sangat kreatif dari ajaran Gereja Katolik mengenai etika medis muncul selama abad ke 7 sampai dengan ke 12. Dalam Gereja Katolik sendiri, periode ini ditandai oleh terbitnya Libri Poenitentiales alias buku-buku yang berisi ketentuan-ketentuan silih dosa. Setiap imam diwajibkan membaca dan menguasai buku-buku ini supaya bisa menentukan jenis dosa dan memberikan hukuman yang ada dalam buku-buku tersebut –mencuri, menipu, berbohong, berbuat cabbul, dan sebagainya – dapat ditemukan pula dosa seperti aborsi, kontrasepsi, dan masalah-masalah lainnya yang berhubungan dengan kehidupan perkawinan Katolik.
Abad  ke 12 ditandai dengan  terbitnya hukum kanonik modern. Adalah Grasianus yang sekitar tahun 1140 mengumpulkan dan menyusun berbagai macam hukum dan norma yang telah berkembang selama berabad-abad sebelumnya. Karyanya yang berjudul Dekrit Grasianus (the Decree of Gratian) di kemudian hari diterima sebagai dasar bagi penyusunan buku kanonik Gereja Katolik. Pada tahun 1234 Paus Gregorius IX menertibkan kumpulan resmi hukum yang dikenal dengan nama Decretals, yang di dalamnya mengatur antara lain “pemeriksaan medis untuk menentukan impotensi seksual sebaagai syarat untuk membatalkan perkawinan” (medical examination to determine sexual impotence as a condition to nullify marriage). Sementara itu, pada tahun 1331 Paus Yohanes XXII membentuk Roman Rota, yakni “Korps para hakim gereja” (ecclesiastical judges) yang bertugas menyelidiki prosedur legal pembatalan sebuah perkawianan Gereja serta menangani kasus-kasus hukum dan masalah-masalah non-administratif lainnya sebagaimana diamanatkan hukum Gereja. Dalam dekrit berjudul Ratio Iuris Exiigit disebutkan bahwa para anggota Roman Rota harus memiliki keterampilan medis dan pengetahuan memadai yang dapat membantu para hakim gereja melakukan pekerjaan tribunal.
Abad ke 13 adalah masa kelahiran teologi skolastik yang mencapai puncaknya pada pemikiran Thomas Aquinas. Karya besar Summa Theologie menjadi karya sistematik teologi sang pemikir. Di bagian  kedua dari karya nya ini Thomas membahas pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan kehidupan moral Kristiani dalam konteks: (1) relasi manusia dengan Allah sebagai tujuan terakhir, (2) umat manusia sebagai citra Alah yang memiliki kemampuan melakukan penentuan-diri dan tindakan-tindakan moralnya, serta (3) kemanusiaan kristus sebagai jalan manusia kepada Allah. Melalui Thoman Aquinas dan pemikiran-pemikirannya, Gereja Katolik menyumbang gagasan mengenai hukum kodrat yang sangat berpengaruh dalam pengembangan etika dan bioetika, bahkan sampai zaman kita. Dalam pemahaman Gereja Katolik, manusia tidak hanya mampu membedakan yang baik dan buruk, tetapi juga sanggup menjauhkan dirinya dari tindakan atau perilaku buruk ketika rasionya (reson) yang memampukan dia melakukan pembedaan itu berpertisipasi atau mengambil bagian dalam rasi mutlak Allah.
Di abad ke 14 dan ke 15 lahir banyak karya yang sebetulnya adalah pengembangan lebih lanjut dari libri penitentiales. Karya-karya tersebut berfungsi sebagai semacam buku petunjuk bagi para imam dan pendengar pengakuan dosa (confessor) dalam mendengar dan menentukan jenis dalam karya ketiga dari empat jilid karyanya berjudul Chronocon partibus tribus distincta ab initio mundi ad MCCCLX (1542) membahas fungsi dan kewajiban yang berbeda-beda dari berbagai profesi di dunia. Menurut dia, di dunia ini ada orang yang berkeluarga, penegak hukum, dokter, pedagang, hakim, pekerja seni, dan sebagainya. Antonius membahas cukup mendetail tugas dan tanggung jawab para dokter. Menurut dia, dokter harus memiliki kompetensi medis dalam menjalankan tugas-tugasnya. Selain harus telaten menangani pasien-pasiennya, seorang dokter juga wajib memberitahu pasien yang akan meninggal menegnao situasi yang akan dihadapinya. Antonius juga menulis mengenai honor buat gaji yang pantas bagi seorang dokter serta kewajiban untuk tidak menganjurkan tindakan-tindakan medis tertentu seperti hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan yang terikat perkawinan sakramental ataupun masturbasi karena melawan hukum moral. Karya ini jga berisi berbagai pertanyaan dan pembahasan menegnai aborsi.
Awal tahun 1621, Paolo Zacchia, seorang dokter Roma, menerbitkan beberapa jilid karyanya berjudul Questiones Medico-legales. Karena karya inilah dia dikenal sebagai “Bapa Spiritual” etika medis. Dia membahas banyak tema yang berbeda, antara lain masalah usia, kelahiran, kehamilan, kematian, penyakit mental, keracunan, impotensi, sterilitas, penyakit menular, keperawanan, pemerkosaan, puasa, mutilasi bagian tubuh, dan persenggamaan. Karya ini sebetulnya merupakan usaha menjembatani jurang antara teologi, pengobatan, dan hukum, serta menyertakan pengetahuan medis sebagai hal penting bagi para pastor, sama seperti isu moral dan hukum yang juga harus diketahui oleh para dokter. Sementara itu, Michiel Boudenwyns menerbitkan sebuah karyanya berjudul Ventilabrum Medico-theologicum (1666). Doktor bidang filsafat dan kedokteran ini mendiskusikan masalah-masalah moral yang biasanya dihadapi para dokter. Etika medis Katolik di abad 20 mengadopsikan beberapa lingkup pendekatan pemikir satu ini.
Perkembangan menarik lainnya tampak dalam karya seorang Jesiut Prancis bernama Theophile Raynaud (1583-1163). Dalam karyanya berjudul De Ortu Infantium sang penulis menegaskan bahwa dalam menolong seorang ibu melahirkan dokter bisa saja memutuskan apakah melakukan operasi sesar atau tidak, dan keputusan itu menimbulkan masalah moral tertentu yang harus dipecahkan. Sementara itu, pada tahun 1658 Girolamo Fiorentinii dalam karyanya berjudul Disputatio de Ministrando Baptismo, membahas masalah pembaptisan terhadap fetus yang digugurkan (humanis foetibus abortivorum) yang sebenarnya adalah seorang manusia. Sementara itu, Franccesco Cangiamila dalam karyanya Sacra embryologia, mendiskusikan pertanyaan yang berhubungan dengan embriologi, seperti pembaptisan janin yang mati dalam rahim.
Tinjauan historis singkat ini belum menunjukkan secara eksplisit peran Gereja Katolik bagi kelahiran bioetika. Hal ini dapat dimengerti karena sekali lagi pada abad ke 17 dan ke 18 ditandai oleh perkembangan lain yang , lebih mempersiapkan para imamnya sebagai pendengar pengakuan dosa (Confessor) di mana refleksi moral lebih dititikberatkan pada teologi moral, khususnya membuat buku-buku petunjuk yang dapat dirujuk oleh para Confessor dalam praktik pengakuan dosa. Dengan demikian, dari akhir abad ke 17 hingga konsili Vatikan II, upaya pelembagaan teolog moral mendominasi refleksi teologi moral katolik dengan ciri utama menyajikan sedikit landasan teoritis dilanjutkan dengan mengaplikasikan dalam sakramen pengakuan dosa. Ini disusun dalam skema sepuluh perintah Allah atau sakramen-sakramen, dimana masalah-masalah etika medis umumnya direduksikan kepada topik Perintah Allah kelima, yakni “jangan membunuh” yang secara implisit juga melarang praktik   mutilasi. Selain itu, masalah etika medis juga sering diletakkan dalam tema perkawinan. Menarik dicatat, pada periode ini muncul buku-buku berisi kasus-kasus praktis (casus conscientiae) sebagai pelengkap bagi pelembagaan teologi moral serta dikembangkannya metode kasuistri (casuistry methode) yang dikemudian hari menjadi salah satu sumbangan utama teologi moral Gereja Katolik bagi pengembangan bioetika.
Bagaimana dengan abad-abad selanjutnya? Ilmu-ilmu berkembang pesat di abad ke19, termasuk  ilmu kedokteran. Pada waktu itu dirasakan ada semacam jurang antara teologi moral dengan ilmu kedokteran dalam arti teologi moral sudah tidak sanggup lagi memecahkan masalah-masalah etis yang muncul dari dunia kedokteran, misalnya hanya dengan mereduksikan di bawah perintah Allah kelima. Menyadari hal ini, Gereja Katolik menciptakan apa yang di sebut sebagai “pastoral medicine”. Ini tampak misalnya dalam karya Carl Capellmann, seorang dokter Jerman yang melihat pentingnya mempersiapkan para imam dengan pengetahuan yang cukup memadai di bidang medis yang akan sangat berguna dalam menjalankan pelayanannya dan memampukan para imam mengkomunikasi prinsip-prinsip moral Katolik kepada para dokter. Pemikiran yang dikembangkan Capellman lalu tidak hanya difokuskan pada perintah Allah kelima (meliputi juga masalah aborsi, pembedahan medis, dan penggunaan obat-obatan),  tetapi juga mencakup perintah Allah keenam (meliputi pula masalah masturbasi, perzinahan, dan perkawinan). Topik-topik lain yang berhubungan dengan perintah-perintah Gereja seperti masalah puasa dan pantang, sakramen-sakramen (terutama pembaptisan), komuni, dan perminyakan orang sakit juga ikut dibahas.
Di abad ke 20 masalah-masalah etis, termasuk yang dihadapi para dokter dan perawat tetap dibahas dalam traktat-traktat teologi moral. Meskipun demikian, buku-buku lain mengenai “pastoral medicine” atau etika medis mulai muncul dan mengurangi dominasi traktat teologi moral. Ini merupakan perkembangan yang sangat positif, terutama kalau dikontekskan dalam pentingnya mengembangkan metodologi sendiri yang khas etika biomedis dalam memecahkan persoalan-persoalan etika biomedis. Demikianlah, karya Albert Niedermeyer, seorang pemikir Jerman di bidang pastoral medicine, misalnya, meliputi topik-topik yang cukup lengkap di bidang etika medis dewasa ini, termasuk di dalamnya adalah masalah psikiatri dan psikoterapi. Sementara itu, etika medis mulai muncul di Amerika Serikat di abad ke 20, dengan fokus pada masalah-masalah etis yang dihadapi para dokter, perawat, dan rumah sakit-rumah sakit Katolik. Salah satu karya yang layak disebut adalah Moral Princiels and Medical Practice (1897) yang ditulis oleh pastor Charles Coppens, teks yang digunakan secara luas sebagai materi pengajaran di fakultas-fakulatas kedokteran dan sekolah-sekolah perawat Katolik. Tahun 1949 dan kemudian direvisi tahu 1955. Asosiasi Rumah Sakit Katolik Amerika Serikat memformulasikan “Ethical an Religious Dirrectives for Catholic Hospitals” yang menjadi acuan memecahkan masalah-masalah etis yang dihadapi para dokter dan perawat.[3]
D.    Studi Kasus mengenai Bioetika
1.      Eutanasia
Salah satu contoh studi kasus bioeika ialah eutanasia. Euthanasia adalah tindakan mengakhiri hidup seorang individu secara tidak menyakitkan, ketika tindakan tersebut dapat dikatakan sebagai bantuan untuk meringankan penderitaan dari individu yang akan mengakhiri hidupnya. Euthanasia dapat menjadi aktif atau pasif:
·         Euthanasia aktif menjabarkan kasus ketika suatu tindakan dilakukan dengan tujuan untuk menimbulkan kematian. Contoh dari kasus ini adalah memberikan suntik mati. Hal ini ilegal di Britania Raya dan Indonesia.[4] Pendapat Gereja Katolik mengenai eutanasia aktif yaitu “Tak sesuatu pun atau tak seorang pun dapat membiarkan seseorang manusia yang tak bersalah dibunuh, entah dia itu janin atau embrio, anak atau dewasa, orang jompo atau pasien yang tidak dapat sembuh ataupun yang sedang sekarat. Selanjutnya tak seorang pun diperkenankan meminta perbuatan pembunuhan ini, entah untuk dirinya sendiri, entah untuk orang lain yang dipercaya kepadanya… juga tidak ada penguasa yang dengan sah dapat memerintahkannya atau mengizinkan tindakan semacam itu” (Kongregasi untuk ajaran Iman, Deklarasi mengenai Eutanasia, 5 Mei 1980).[5]
·         Euthanasia pasif menjabarkan kasus ketika kematian diakibatkan oleh penghentian tindakan medis. Contoh dari kasus ini adalah penghentian pemberian nutrisi, air, dan ventilator.[6] Lain halnya kalau dipertimbangkan, sejauh mana haruus diteruskan pengobatan yang tidak menyembuhkan orang dan hanya emperpanjang proses kematiannya. Disebut Eutanasia pasif, jika pengobatan yang sia-sia dihentikan, dan eutanasia tidak langsung, kalau obat penangkal sakit memperpendek hidupnya. Menurut moral Gereja Katolik, itu dapat dibenarkan.[7]
Argumen Pro Euthanasia            
Kelompok pro euthanasia, yang termasuk juga beberapa orang cacad, berkonsentrasi untuk mempopulerkan euthanasia dan bantuan bunuh diri. Mereka menekankan bahwa pengambilan keputusan untuk euthanasia adalah otonomi individu. Jika seseorang memiliki penyakit yang tidak dapat disembuhkan atau berada dalam kesakitan yang tak tertahankan, mereka harus diberikan kehormatan untuk memilih cara dan waktu kematian mereka dengan bantuan yang diperlukan. Mereka mengklaim bahwa perbaikan teknologi kedokteran merupakan cara untuk meningkatkan jumlah pasien yang sekarat tetap hidup. Dalam beberapa kasus, perpanjangan umur ini melawan kehendak mereka.
Mereka yang mengadvokasikan euthanasia non sukarela, seperti Peter Singer, berargumentasi bahwa peradaban manusia berada dalam periode ketika ide tradisional seperti kesucian hidup telah dijungkir balikkan oleh praktek kedokteran baru yang dapat menjaga pasien tetap hidup dengan bantuan instrumen. Dia berargumen bahwa dalam kasus kerusakan otak permanen, ada kehilangan sifat kemanusian pada pasien tersebut, seperti kesadaran, komunikasi, menikmati hidup, dan seterusnya. Mempertahankan hidup pasien dianggap tidak berguna, karena kehidupan seperti ini adalah kehidupan tanpa kualitas atau status moral.
Falsafah Utilitarian Singer menekankan bahwa tidak ada perbedaan moral antara membunuh dan mengizinkan kematian terjadi. Jika konsekuensinya adalah kematian, maka tidak menjadi masalah jika itu dibantu dokter, bahkan lebih disukai jika kematian terjadi dengan cepat dan bebas rasa sakit.
Oposisi terhadap Euthanasia
Banyak argumen anti euthanasia bermula dari proposisi, baik secara religius atau sekuler, bahwa setiap kehidupan manusia memiliki nilai intrinsik dan mengambil hidup seseorang dalam kondisi normal adalah suatu kesalahan. Advokator hak-hak orang cacad menekankan bahwa jika euthanasia dilegalisasi, maka hal ini akan memaksa beberapa orang cacad untuk menggunakannya karena ketiadaan dukungan sosial, kemiskinan, kurangnya perawatan kesehatan, diskriminasi sosial, dan depresi. Orang cacad sering lebih mudah dihasut dengan provokasi euthanasia, dan informed consent akan menjadi formalitas belaka dalam kasus ini. Beberapa orang akan merasa bahwa mereka adalah beban yang harus dihadapi dengan solusi yang  jelas. Secara umum, argumen anti euthanasia adalah kita harus mendukung orang untuk hidup, bukan menciptakan struktur yang mengizinkan mereka untuk mati.[8]
2.      Aborsi
Masa awal hidup, yaitu masa hidup dalam kandungan, mempunyai arti yang khas, baik bagi bayi maupun bagi ibunya. Hidup manusia baru itu berelasi dengan ibunya dan relasi dengan ibunya dan relasi itu meliputi dimensi-dimensi biologis, medis, psikologis, dan juga pribadi. Anak di dalam kandungan menerima hidup seluruhnya dari ibunya yang memberikan hidup, dan justru relasi erat itu dapat menimbulkan bermacam-macam konflik, yang berakhir dengan pengguguran (aborsi).
Mengenai pengguguran, tradisi Gereja amat jelas. Mulai dari abad-abad pertama sejarahnya, Gereja membela hidup anak di dalam kandungan, juga kalau (seperti dalam masyarakat Romawi abad pertama dan kedua) pengguguran diterima umum dalam masyarakat. Orang kristen selalu menentang dan melarang pengguguran. Konsili Vatikan II masih menyebut pengguguran suatu “tindakan kejahatan yang durhaka”, sama dengan pembunuhan anak. “sebab Allah, Tuhan kehidupan, telah mempercayakan pelayanan mulia melestarikan hidup kepada manusia, untuk dijalankan dengan cara yang layak baginya. Maka kehidupan sejak saat pembuahan harus dilindungi dengan sangat cermat.” (GS 51).
Menurut ensiklik Paus Paulus VI, Humanae Vitae (1968) pengguguran, juga dengan alasan terapeutik, bertentangan dengan tugas memelihara dan meneruskan hidup (14). Dalam ensilik Paus Yohanes Paulus II, Veritatis Splendor (1993), pengguguran digolongkan diantara “perbuatan-perbuatan yang – lepas dari situasinya- dengan sendirinya dan dalam dirinya dan oleh karena isinya dilarang keras”. Gaudium et Spes menyatakan, “Apa saja yang berlawanan dengan kehidupan sendiri, bentuk pembunuhan yang mana punjuga, perumpamaan suku, pengguguran, eutanasia, dan bunuh diri yang sengaja;apa pun yang melanggar keutuhan pribadi manusia, seperti penganiayaan, apapun yang melukai martabat manusia ... semuanya itu sudah merupakan perbuatan keji, mencoreng peradaban manusia ... sekalipun sangat bertentangan dengan kemuiiaan Sang Pencipta” (GS 27; VS 80)..
Dalam KWI, Pedoman Pastoral tentang Menghormati Kehidupan, 1991, menyatakan “Allah menyayangi Kehidupan”. Artinya: setiap manusia disayangi Nya. Maka sebetulnya tidak cukuplah mengakui, hak hidup manusia dalam kandungan; hidup manusia harus dipelihara supaya dapat berkembang sejak awal.
Moral Katolik memegang teguh keyakinan bahwa begitu hidup pribadi manusia di mula, pembunuhan sebelum kelahiran dinilai sama seperti pembunuhan setelah kelahiran. Pengguguran dinilai sehubungan dengan larangan membunuh manusia.
Banyak juga ahli teolog Katolik yang berpendapat bahwa, jika seorang ibu mengandung, namun bayi yang di dalam nya tidak mampu diselamatkan karena penyakit yang diderita seorang ibu, hidup harus tetap dipelihara. Jika tidak mungkin hidup ibu dan anak, sekurang-kurang nya satu yang harus hidup.
Di Indonesia pengguguran terlarang oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pasal 346-349, yang untuk itu juga ditetapkan hukuman yang berat. Hukum pidana mau melindungi hidup sejak awal. Undang-Undang Republik Indonesia tentang Kesehatan (1992) tampaknya ingin mengatur konflik: “Dalam keadilan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya, dapat dilakukan tindakan medis tertentu.”[9]
3.      Transplantasi Organ
adalah transplantasi atau pemindahan seluruh atau sebagian organ dari satu tubuh ke tubuh yang lain, atau dari suatu tempat ke tempat yang lain pada tubuh yang sama. Transplantasi ini ditujukan untuk menggantikan organ yang rusak atau tak befungsi pada penerima dengan organ lain yang masih berfungsi dari donor.[10]
Klasifikasi jenis darah dilakukan tahun 1900 dan transplantasi kornea pertama dilakukan pada tahun 1905. Transplantasi ginjal tahun 1950-an sementara transplantasi jantung dimulai dari tahun 1960-an dan 1970-an. Pada tahun 1998 di Inggris ada 4903 operasi transplantasi organ, termasuk 264 transplantasi jantung. Transplantasi organ manusia mengangkat beberapa isu etis yang penting.
Organ dapat disumbangkan oleh donor yang masih hidup, namun kesejahteraan pendonor harus diperhatikan, atau oleh donor mati, di mana harus membayarkan atau memberi perhatian khusus untuk pendonor.
Isu-isu kontroversial lainnya termasuk kloning, mengandalkan pengembangbiakan embrio manusia yang nantinya akan dihancurkan, masa depan pengembangan teknologi sel induk dewasa yang mungkin memberi manfaat yang secara etis organ buatan dapat diterima, dan 'xenotransplantation', yaitu transplantasi organ dari spesies lain. Jones menunjukkan bahwa transplantasi ini akan menjadi berbahaya secara moral.
Perkembangan ajaran kepausan tentang transplantasi dapat ditelusuri dari Pius XII pada tahun 1950. Paus Yohanes Paulus II mengakui dorongan kemurahan hati dan solidaritas dengan tetangga diekspresikan melalui mendonorkan darah atau organ yang menyatakan bahwa tidak membahayakan kehidupan pendonor sendiri atau identitas pribadinya.
Dalam Evangelium Vitae ia menulis bahwa salah satu cara untuk membangun budaya otentik kehidupan. . . adalah dengan menyumbangkan organ-organ, dilakukan dengan cara yang dapat diterima secara etis, dengan maksud untuk menawarkan kesempatan kesehatan dan bahkan kehidupan itu sendiri kepada orang sakit yang kadang tidak memiliki harapan lain (x86). Organ vital, seperti hati, hanya bisa diambil dari orang yang sudah mati. Ini mengangkat isu sulit tentang kriteria untuk memastikan kematian. Paus Yohanes Paulus mengakui otonomi yang sah terhadap  keputusan medis. Akhirnya, agar xenotransplantasi menjadi sah, organ yang ditransplantasikan harus tidak mengganggu integritas dari identitas psikologis atau genetik orang yang menerimanya, dan juga harus ada kemungkinan biologis yang telah terbukti bahwa transplantasi akan berhasil dan tidak akan beresiko fatal bagi penerimanya'.
Dalam perkembangan respon Katolik terhadap transplantasi, dapat dilihat bahwa Gereja telah berhati-hati untuk mendesak martabat manusia baik dari pendonor maupun penerima sebagai subyek dan bukan alat, dan seperti yang diwujudkan, saling tergantung, dan kesetaraan martabat dan nilai di mata Tuhan.[11]
E.     Prinsip-prinsip Bioetika
Ada empat prinsip yang meupakan inti dasar dari Bioetika:
1.      Principle of Respect of Autonomy : penghormatan terhadap otonomi
Prinsip ini menitikberatkan bahwa pasien selaku manusia dan individu, memiliki kebebasan penuh untuk memilih dan menentukan perlakuan apa yang akan dilakukan terhadap dirinya, dalam hal ini, adalah tindakan-tindakan medis terapeutik. Jika memang pasien itu sendiri memiliki kemampuan dan kapasitas untuk dapat berpikir secara sehat dan baik untuk menentukan dan membuat suatu keputusan, maka dokter ataupun tenaga medis yang menangani harus menghormatinya. Hal ioni pun mengikat pada perihal tidak boleh adanya tekanan pada pasien dengan tujuann agar sang pasien membuat suatu keputusan, naka dokter ataupun tenaga medios yang menangani harus menghormatinya. Hal ini pun mengikat pada perihal tidak boleh adanya tekanan pada pasien dengan tujuan agar pasien membuat suatu keputusan tertentu atau dengan kata lain, dipengaruhi oleh suatu hal yang tidak semestinya. Bentuk konkrit dari prinsip ini adalah dengan adanya “Informasi Consent” yang dapat digunakan oleh pasien ataupun dokter untuk mengkoordinasi protocol terapi yang akan dijalankan, dan mengetahui keinginan pasien dalam menjalankan terapi yang akan diberikan.
2.      Principle of Nonmaleficience : tidak melukai/memperburuk
Prinsip ini berarti bahwa seorang praktisi medis tidak dibenarkan untuk melakukan suatu hal yang menyakiti pasien dengan tidak adanya indikasi tertentu yang mengharuskan. Hal ini dapat dinilai pada prosedur medis yang bersifat invasive (Endokopi, Laringoskopi direct, Biopsi, dll). Beberapa prosedur medis tersebuut dinilai sangat invasive dan dapat menyebabkan ketidaknyamanan pada pasien, maka sebaiknya tidak dilakukan jika memng indikasi medis khusus tidak melandasi akan diharuskannya dilakukan tindakan tersebut.
Prinsip ini juga melibatkan masalah “ketidaksengajaan” dalam menyakiti pasien. Sebagai praktisi medis, maka adalah suatu kewajiban untuk meminimalisasi resiko dan memberikan yang terbaik bagi pasien. Ada beberapa kriteria untuk menilai sesorag telah melakukan Negligence/kelalaian:
-          Praktisi mempunyai tugas kepada pasien yang bersangkutan
-          Praktisi tersebut melewati batasan-batasan tugasnya
-          Pasien yang bersangkutan mengalami kesalitan/kekerasan
-          Kesaiktan/kekerasan yang dialami karena pelanggaran terhadap batasan-batasan tugas
Prinsip ini secara tersirat menitikberatkan akan masalah profesionalitas dan kompetensi tenaga medis untuk dapat meminimalisir resiko, meskipun terkadang kelalaian kadang tetap terjadi.
3.      Principle of Beneficience        : mencapai/membuahkan hasil
Prinsip ini mempunyai inti bahwa seorang tenaga medis harus memenuhi kebutuhan pasien semaksimal mungkin demi kesembuhan danj penyelesaian terhadap masalah pasien. Prinsip ini juga memiliki kaitan dengan prinsip Nonmaleficience. Prinsip ini memiliki arti khusus yaitu mkmemberikan pelayanan yang baik terhadap pasien secara individual, ataupun arti umum yaitu memebrikan yang terbaik bagi masyarakat luas dalam hal misalnya pencegahan penyakit menular ataupun vaksinasi. Prinsip ini juga mengedepankan hal tentang pemilihan obat dan manajemen terapeutik yang terbaik bagi ppasien, yang berati memang benar-benar sesuai indikasi klinis dan memiliki efek samping yang seminimal mungkin.
Meskipun prinsip ini mengutamakan yang terbaik, namun seorang praktisi medis memiliki hak penuh untuk memilih apakah seseorang pasein dapat masuk dan menjadi kewajiban praktisnya. Hal ini menjadi sulit jika seorang praktisi medis tidak mampu menilai prediksi masa deooan pasien, dan tidak mengetahui beberapa surat keterangan lain misalnya DNAR (Do Not Attempt Resuscitation), ataupun Advanced Directives.
4.      Principle of justice : keadilan
Keadilan dalam prinsip ini berarti semua pasien berhak mendapat pelayanan medis sesuai dengan indikasi dan kemampuan. Hal ini bukan berarti kita harus memandang akan keadaan ekonomi pasien secara sentris, namun kita harus memberikan apa yang ia bisa peroleh dengan kemampuan ekonominya. Berbagai peralatan canggih dan manajemnen terapeutik modern, tak sebaiknya diberikan jika memang pasien tidak akan mampu membayarnya kelak dikemudian hari. Tentunya, hal ini berkesan sulit karena mungkin dapat menimbulkan rasa ketidakadilan pada pasien. Meskipun demikian, seorang praktisi medis harus memberikan pelayanan medis kepada seseorang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan pasien. Jadi, bukan berarti seorang pasien dengan ekonomi lemah akhirnya dicemoohkan dan dibiarkan begitu saja.
Beberapa kriteria yang dapat digunakan untuk distribusi kedailan yang dapat digunakan adalah:
-To each person an equal share: pada setiap orang, pembagian yang sama
-To each person according to effort : pada setiap orang, sesuai kemampuan
-To  each person according to merit : pada setiap orang, sesuai manfaat
-To each person according to free-market exchange : pada setiap orang, sesuai kaidah jual beli.
Prinsip ini secara tak langsung mengharuskan tenaga medis untuk mengerti akan manajemen terapeutik yang benar-benar sesuai dengan pasien baik secara klinis ataupun kemampuan dan fungsi sosial ekonomi pasien.[12]

PENUTUP
Permasalahan mengenai bioetika memang menimbulkan masalah yang cukup serius. Aksi-aksi pro dan kontra tersebut terjadi karena mungkin penemuan atau penelitian yang seseorang itu lakukan kurang etis jika dipandang dari segi kemanusiaan. Maka dari itu muncullah bioetika ini. Namun ada beberapa pihak yang pro terhadap bioetika dan ada pula yang kontra terhadap bioetika ini. Orang yang pro terhadap bioetika ini mungkin orang yang lebih mengedepankan etika daripadaperkembangan dan kemajuan teknologi, sedangkan orang yang kontra terhadap bioetika ini ialah orang yang mungkin lebih mendewakan kemajuan dan perkembangan teknologi namun tidak begitu memperhatikan masalah etika.

DAFTAR PUSTAKA
1.      Chang, William, Bioetika Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Kanisius), Cet. 1, 2009, google Book
2.      Hornsby-Smith ,Michael P., An Introduction Catholic To Social Thought, (New York: Cambridge University Press), 2006
3.      Jena, Yeremias, Moralitas etika dalam peradaban dunia, (Yogyakarta: Kanisius), cet. 1, 2011, google book
4.      Konferensi Waligereja Indonesia, Iman Katolik, (Yogyakarta: Kanisius), cet. XII, 2007
5.      Arli Aditya Parikesit, The Bioinformatics materials and goodies, diakses pada 05 mei 2013, dari http://bioarli.page.tl/Euthanasia-dan-Kematian-Bermartabat-d--Suatu-tinjauan-Bioetika.htm
6.      Membuka Wahana Dunia, Bioetika, diakses pada 04 Mei 2013, dari http://duniagil.wordpress.com/2011/12/21/bioetika/
7.      Scribd, Bioetika, diakses pada 05 mei 2013, dari http://www.scribd.com/doc/31299150/Bioetika
8.      Wikipedia, Tranplantasi Organ, diakses pada 14 mei 2013, dari https://id.wikipedia.org/wiki/Transplantasi_organ


[1] Membuka Wahana Dunia, Bioetika, diakses pada 04 Mei 2013, dari http://duniagil.wordpress.com/2011/12/21/bioetika/
[2] Chang, William, Bioetika Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Kanisius), Cet. 1, 2009, hal. 13-17, google Book
[3]Jena, Yeremias, Moralitas etika dalam peradaban dunia, (Yogyakarta: Kanisius), cet. 1, 2011, google book
[4] Arli Aditya Parikesit, The Bioinformatics materials and goodies, diakses pada 05 mei 2013, dari http://bioarli.page.tl/Euthanasia-dan-Kematian-Bermartabat-d--Suatu-tinjauan-Bioetika.htm
[5]Konferensi Waligereja Indonesia, Iman Katolik, (Yogyakarta: Kanisius), cet. XII, 2007, hal. 74
[6] Arli Aditya Parikesit, The Bioinformatics materials and goodies, diakses pada 05 mei 2013, dari http://bioarli.page.tl/Euthanasia-dan-Kematian-Bermartabat-d--Suatu-tinjauan-Bioetika.htm
[7] Konferensi Waligereja Indonesia, Iman Katolik, ha. 74
[8] Arli Aditya Parikesit, The Bioinformatics materials and goodies, diakses pada 05 mei 2013, dari http://bioarli.page.tl/Euthanasia-dan-Kematian-Bermartabat-d--Suatu-tinjauan-Bioetika.htm
[9] Konferensi Waligereja Indonesia, Iman Katolik, hal.69-73
[10] Wikipedia, Tranplantasi Organ, diakses pada 14 mei 2013, dari https://id.wikipedia.org/wiki/Transplantasi_organ
[11] Hornsby-Smith ,Michael P., An Introduction Catholic To Social Thought, (New York: Cambridge University Press), 2006, hal. 164
[12] Scribd, Bioetika, diakses pada 05 mei 2013, dari http://www.scribd.com/doc/31299150/Bioetika

0 komentar:

Posting Komentar