PENDAHULUAN
Untuk masa kini, bioetika menjadi sangat mendesak karena di satu
pihak permasalahan yang ditimbulkan kemajuan ilmu dan teknologi semakin luas
dan pelik. Tapi di pihak lain ia mendesak karena masalah-masalah itu perlu
diantisipasi sedini mungkin sejak sekarang, agar kita tidak sekedar bereaksi
setelah masalah itu timbul, tetapi juga mencegahnya sebisa mungkin sejak
sekarang. Maka pada penulis membahas mengenai bioetika.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Ada
beberapa macam definisi mengenai Bioetika. Dibawah ini ada beberapa macam
definisi mengenai bioetika:
1. Bioetika
ialah semacam ilmu pengetahuan yang menawarkan pemecahan masalah bagi konflik
moral yang timbul dalam tindakan, praktek kedokteran dan ilmu hayati. (Sahin
aksoy, 2002 dalam Muchtadi, 2007)
2. Bioetika
ialah suatu disiplin baru yang menggabungkan pengetahuan biologi dengan
pengetahuan mengenai sistem nilai manusia, yang akan menjadi jembatan antara
ilmu pengetahuan dan kemanusiaan, membantu menyelamatkan kemanusian, dan
mempertahankan dan memperbaiki dunia beradab (Van Potter, 1970 dalam Muchtadi,
2007).
3. Bioetika
ialah kajian mengenai pengaruh moral dan sosial dari teknik-teknik yang
dihasilkan oleh kemajuan ilmu-ilmu hayati (Honderich Oxford, 1995 dalam
Muchtadi, 2007)
4. Bioetika
bukanlah suatu disiplin. Bioetika telah menjadi tempat bertemunya sejumlah
disiplin, diskursus, dan organisasi yang terlibat dan peduli pada persoalan
etika, hukum,
dan sosial yang ditimbulkan oleh kemajuan dalam kedokteran, ilmu pengetahuan,
dan bioteknologi (O nara O’neill, 2002 dalam Muchtadi 2007).
5. Bioetika
mengacu pada kajian sistematis, plural dan interdisiplin dan penyelesaian
masalah etika yang timbul dari ilmu-ilmu kedokteran, hayati, dan sosial,
sebagaimana yang diterapkan pada manusia dan hubungannya dengan biosfera,
termasuk masalah yang terkait dengan ketersediaan dan keterjangkauan
perkembangan keilmuan dan keteknologian dan penerapannya. (UNESCO, 2005
Muchtadi 2007).
6. Sedangkan di
Indonesia, berdasarkan Kepmen Menristek No.112 Tahun 2009, menyatakan bahwa
bioetika adalah ilmu hubungan timbal balik sosial (Quasi social science) yang
menawarkan pemecahan terhadap konflik moral yang muncul dalam penelitian,
pengembangan, dan pemanfaatan sumber daya hayati. Diperlukan rambu-rambu
berperilaku (etika) bagi para pengelola ilmu pengetahuan, ilmuwan dan ahli
teknologi yang bergerak di bidang biologi molekuler dan teknologi rekayasa
genetika.[1]
B.
Bioetika
menurut beberapa pendapat
Makna
asli bioetika menunjuk pada studi sistematis atas perilaku manusia dalam
ilmu-ilmu tentang hidup dan kesehatan, sejauh perilaku ini diuji dalam cahaya
nilai-nilai dan prinsip-prinsip moral.
Sementara
itu, Challahan melukiskan bioetika sebagai sebuah disiplin baru “yang
bertanggung jawab atas tugas pengolahan sebuah metodologi yang membantu para
pakar medis dan mereka yang terjun dalam bidang ilmu pengetahuan untuk
mengambil keputusan-keputusan yang baik dan benar dari tinjauan sosiologis,
psikologis, dan sejarah.”
Sedangkan
varga menekankan tugas bioetika untuk mempelajari moralitas tentang perilaku
manusia dalam bidang ilmu pengetahuan dalam hidup. Ini mencakup etika medis,
namun dari sisi lain melampaui masalah-masalah etis tentang ilmu-ilmu biologi.
O.
Hoffe berpandangan bahwa bioetika tertarik dengan masalah-masalah etis tentang
kelahiran, hidup, dan kematian, khususnya mengukuti perkembangan-perkembangan
terakhir dan kemungkinan-kemungkinan penyelidikan dan pengobatan biologis dan
medis. Ilmu ini mempelajari masalah moral tentang aborsi, sterilisasi dan
kontrol kelahiran, manipulasi genetika, eutanasia, serta uji coba atas
manusia.”
E.
Sgreccia memahami bioetika sebagai bagian dari filsafat moral yang menakar keabsahan
atau tidak hanya campur tangan atas hidup manusia, khususnya dalam hubungan
dengan praktek dan perkembangan ilmu-ilmu medis dan biologis. Secara umum,
bioetika disamakan dengan moral tentang dunia medis, yang terpaut dengan masalah
kesehatan manusia, dalam terang iman kepercayaan. Bioetika adalah sebuah
pendekatan fisis-biologis yang dilengkapi dengan pendekatan rohani.[2]
C.
Sejarah
dan Perkembangan Bioetika
Sebagai
salah satu disiplin ilmu, bioetika belum genap berusia setengah abad. Kurang
lebih satu dekade sebelum kelahiran bioetika di Amerika Serikat, dunia
pelayanan kesehatan mengalami kemajuan pesat, berbagai teknologi kesehatan
mulai diperkenalkan, sementara praktik transplantasi organ, terutama
transplantasi hati mulai dipraktikkan di rumah sakit-rumah sakit. Pertambahan
jumlah penduduk yang pesat ikut menuntut perubahan pola pelayanan kesehatan,
sementara penelitian dan pengembangan teknologi kesehatan dengan melibatkan manusia
sebagai subjek penelitian tidak jarang menimbulkan masalah sosial dan etis yang
harus dipecahkan.
Inilah
latar belakang sosial yang mendorong senator Walter F. Mondale dari Minesota
mengumumkan rencana pembentukan apa yang kemudian disebut sebagai A kommission
on Ethical and Social Implications of Health Science and Development.
Melalui sebuah survey singkat diperoleh data bahwa masyarakat memang
menginginkan terbentuknya komisi ini, dan dengan dukungan 16 senator lainnya
akhirnya senat mengeluarkan Joint R esolution
145 yang merekomendasikan terbentuknya komisi dimaksud. Komisi ini diberi
mandat untuk meneliti apa dampak legal, sosial, dan etis dari penelitian medis.
Perkembangan
ini segera memicu gairah luar biasa di bidang etika terapan, terutama kajian
masalah-masalah etis dalam pelayanan kesehatan. Setahun setelah komisi etik
kepresidenan itu terbentuk, berdirilah sebuah pusat kajian nirlaba dan
nonpartisipan bernama The Hasting Center di Washington DC, yang
mengkhususkan dari dalam penelitian dan pengembangan bioetika. Sementara itu,
lembaga dengan misi dan tujuan yang kurang lebih sama bernama The Kennedy
Institute of Bioethics pun didirikan tahun 1971 di Georgetown University,
Washington DC. Setahun sebelumnya, Van Rensselaer menerbitkan sebuah artikel
berjudul Bioethics, the Science of Survival, dan diikuti oleh
penerbitan bukunya berjudul Bioethics: Bridge of the Future (1971). Buku
lain yang juga menandai kelahiran bioetika adalah karangan, sebuah materi
kuliah tahun 1969 yang terbit sebagai buku setahun kemudian. Tentu saja karya Dan
Callahan berjudul Bioethics Paul Ramsey berjudul Patient as
person as a Discipline yang terbit tahun 1973 tidak boleh lupa disebut,
karena dari judul buku inilah untuk pertama kalinyaa kata “bioetika” masuk
sebagai entry dalam katalog
Perpustakaan Nasional Kongres.
Itulah
perkembangan dan gairah yang menandai kelahiran bioetika, terutama di
Amerika Serikat. Dimana peran agama
(Katolik) bagi kelahiran bioetika? Apakah betul bioetika dilahirkan dari rahim
agama katolik yang di kemudian hari coba disangkanya? Catatatn Albert R. Jonsen
sangat membantu penelusuran kita menemukan jawaban atas pertanyaan ini.
Di
sekitar tahun 1970 an yang menjadi tahun kelahiran bioetika tersebut,
sebenarnya keterlibatan dua imam Jesuit (salah satunya kemudian meninggalkan
imamat) dalam membidani kelahiran bioetika di Amerika Serikat – dari tradisi
religius – pantas disebut. Tepatnya
tahun 1973 Albert R. Jonsen, waktu itu masih sebagai imam Jesuit dengan tradisi
teologi moral Katolik yang sangat kuat diangkat sebagai Associate Professor
Bioetika di School of Medicine, University of California, San Fransisco (UCSF).
Jonsen memaknakan kiprahnya dalam pengajaran etika praktis di dunia kedokteran
sebagai memasuki wilayah yang baru sama sekali, yang menuntut dia meninggalkan
segala pemahaman dan cara pandangnya
sendiri supaya bisa memahami dunia baru tersebut dari dalam, sebelum
mengembangkan pemikiran-pemikiran etisnya sendiri.
Imam
Jesuit lainnya yang juga berjasa bagi kelahiran bioetika di Amerika Serikat
adalah Richard McCormick (1923-2000),
seorang profesor teologi moral di seminari Jesuit dan editor jurnal Theological
Studies. Ketika di tahun 1970 an masalah percobaan dalam penelitian
menggunakan manusia sebagai objek dan perawatan pasien terminal menjadi
perdebatan publik, McCormick sering dimintai pendapatnya, tidak hanya mewakili
suara dan pandangan moral Gereja Katolik, tetapi juga pemikir dari tradisi
keagamaan yang ada di AS. Tahun 1974 Dr. Andre Hellegers, seorang alumni
sekolah Jesuit dan pendiri Kennedy Institute for Bioethics membawa
McCormick ke Georgetown University, dan di kampus inilah pemikir yang bertahan
sebagai imam Jesuit sampai akhir hayatnya ini menjadi seorang bioetikawan
profesional.
Mengapa
dua imam Jesuit ini disitir sebagai contoh peran Gereja Katolik membidani
kelahiran bioetika? Kedua imam ini dan ribuan imam katolik lainnya sebenarnya
mewariskan tradisi gereja katolik yang menaruh perhatian penuh pada
masalah-masalah bioetika, jauh sebelum disiplin etika terapan ini lahir ke
dunia. Di zaman kejayaan para Bapa Geraja (patristic age), misalnya, para
teolog yang umumnya menaruh perhatian pada masalah pastoral praktis sebenarnya
telah menaruh minat pada masalah etika medis. Sebutlah Klemens dari Alexandria
(150-210). Pendiri pertama sekolah teologi kristiani, yang dengan tegas
mengecam praktik kontrasepsi. Bagi dia, kontrasepsi harus dilarang, karena
hubungan perkawinan hanya dibenarkan demi tujuan melahirkan dan membesarkan
keturunan.
Perkembangan
yang sangat kreatif dari ajaran Gereja Katolik mengenai etika medis muncul
selama abad ke 7 sampai dengan ke 12. Dalam Gereja Katolik sendiri, periode ini
ditandai oleh terbitnya Libri Poenitentiales alias buku-buku yang
berisi ketentuan-ketentuan silih dosa. Setiap imam diwajibkan membaca dan
menguasai buku-buku ini supaya bisa menentukan jenis dosa dan memberikan hukuman
yang ada dalam buku-buku tersebut –mencuri, menipu, berbohong, berbuat cabbul,
dan sebagainya – dapat ditemukan pula dosa seperti aborsi, kontrasepsi, dan
masalah-masalah lainnya yang berhubungan dengan kehidupan perkawinan Katolik.
Abad ke 12 ditandai dengan terbitnya hukum kanonik modern. Adalah Grasianus
yang sekitar tahun 1140 mengumpulkan dan menyusun berbagai macam hukum dan
norma yang telah berkembang selama berabad-abad sebelumnya. Karyanya yang
berjudul Dekrit Grasianus (the Decree of Gratian) di kemudian hari
diterima sebagai dasar bagi penyusunan buku kanonik Gereja Katolik. Pada tahun
1234 Paus Gregorius IX menertibkan kumpulan resmi hukum yang dikenal
dengan nama Decretals, yang di dalamnya mengatur antara lain
“pemeriksaan medis untuk menentukan impotensi seksual sebaagai syarat untuk
membatalkan perkawinan” (medical examination to determine sexual
impotence as a condition to nullify marriage). Sementara itu, pada tahun
1331 Paus Yohanes XXII membentuk Roman Rota, yakni “Korps para hakim
gereja” (ecclesiastical judges) yang bertugas menyelidiki prosedur legal
pembatalan sebuah perkawianan Gereja serta menangani kasus-kasus hukum dan
masalah-masalah non-administratif lainnya sebagaimana diamanatkan hukum Gereja.
Dalam dekrit berjudul Ratio Iuris Exiigit disebutkan bahwa para anggota Roman
Rota harus memiliki keterampilan medis dan pengetahuan memadai yang dapat
membantu para hakim gereja melakukan pekerjaan tribunal.
Abad
ke 13 adalah masa kelahiran teologi skolastik yang mencapai puncaknya pada
pemikiran Thomas Aquinas. Karya besar Summa Theologie menjadi karya
sistematik teologi sang pemikir. Di bagian
kedua dari karya nya ini Thomas membahas pertanyaan-pertanyaan yang
berhubungan dengan kehidupan moral Kristiani dalam konteks: (1) relasi manusia
dengan Allah sebagai tujuan terakhir, (2) umat manusia sebagai citra Alah yang
memiliki kemampuan melakukan penentuan-diri dan tindakan-tindakan moralnya,
serta (3) kemanusiaan kristus sebagai jalan manusia kepada Allah. Melalui
Thoman Aquinas dan pemikiran-pemikirannya, Gereja Katolik menyumbang gagasan
mengenai hukum kodrat yang sangat berpengaruh dalam pengembangan etika dan
bioetika, bahkan sampai zaman kita. Dalam pemahaman Gereja Katolik, manusia
tidak hanya mampu membedakan yang baik dan buruk, tetapi juga sanggup
menjauhkan dirinya dari tindakan atau perilaku buruk ketika rasionya (reson)
yang memampukan dia melakukan pembedaan itu berpertisipasi atau mengambil
bagian dalam rasi mutlak Allah.
Di
abad ke 14 dan ke 15 lahir banyak karya yang sebetulnya adalah pengembangan
lebih lanjut dari libri penitentiales. Karya-karya tersebut berfungsi
sebagai semacam buku petunjuk bagi para imam dan pendengar pengakuan dosa (confessor)
dalam mendengar dan menentukan jenis dalam karya ketiga dari empat jilid
karyanya berjudul Chronocon partibus tribus distincta ab initio mundi ad
MCCCLX (1542) membahas fungsi dan kewajiban yang berbeda-beda dari berbagai
profesi di dunia. Menurut dia, di dunia ini ada orang yang berkeluarga, penegak
hukum, dokter, pedagang, hakim, pekerja seni, dan sebagainya. Antonius membahas
cukup mendetail tugas dan tanggung jawab para dokter. Menurut dia, dokter harus
memiliki kompetensi medis dalam menjalankan tugas-tugasnya. Selain harus
telaten menangani pasien-pasiennya, seorang dokter juga wajib memberitahu pasien
yang akan meninggal menegnao situasi yang akan dihadapinya. Antonius juga
menulis mengenai honor buat gaji yang pantas bagi seorang dokter serta
kewajiban untuk tidak menganjurkan tindakan-tindakan medis tertentu seperti hubungan
seksual antara laki-laki dan perempuan yang terikat perkawinan sakramental
ataupun masturbasi karena melawan hukum moral. Karya ini jga berisi berbagai
pertanyaan dan pembahasan menegnai aborsi.
Awal
tahun 1621, Paolo Zacchia, seorang dokter Roma, menerbitkan beberapa jilid
karyanya berjudul Questiones Medico-legales. Karena karya inilah dia
dikenal sebagai “Bapa Spiritual” etika medis. Dia membahas banyak tema yang
berbeda, antara lain masalah usia, kelahiran, kehamilan, kematian, penyakit
mental, keracunan, impotensi, sterilitas, penyakit menular, keperawanan,
pemerkosaan, puasa, mutilasi bagian tubuh, dan persenggamaan. Karya ini
sebetulnya merupakan usaha menjembatani jurang antara teologi, pengobatan, dan
hukum, serta menyertakan pengetahuan medis sebagai hal penting bagi para
pastor, sama seperti isu moral dan hukum yang juga harus diketahui oleh para
dokter. Sementara itu, Michiel Boudenwyns menerbitkan sebuah karyanya berjudul Ventilabrum
Medico-theologicum (1666). Doktor bidang filsafat dan kedokteran ini
mendiskusikan masalah-masalah moral yang biasanya dihadapi para dokter. Etika
medis Katolik di abad 20 mengadopsikan beberapa lingkup pendekatan pemikir satu
ini.
Perkembangan
menarik lainnya tampak dalam karya seorang Jesiut Prancis bernama Theophile
Raynaud (1583-1163). Dalam karyanya berjudul De Ortu Infantium sang
penulis menegaskan bahwa dalam menolong seorang ibu melahirkan dokter bisa saja
memutuskan apakah melakukan operasi sesar atau tidak, dan keputusan itu
menimbulkan masalah moral tertentu yang harus dipecahkan. Sementara itu, pada
tahun 1658 Girolamo Fiorentinii dalam karyanya berjudul Disputatio de
Ministrando Baptismo, membahas masalah pembaptisan terhadap fetus yang
digugurkan (humanis foetibus abortivorum) yang sebenarnya adalah seorang
manusia. Sementara itu, Franccesco Cangiamila dalam karyanya Sacra
embryologia, mendiskusikan pertanyaan yang berhubungan dengan embriologi,
seperti pembaptisan janin yang mati dalam rahim.
Tinjauan
historis singkat ini belum menunjukkan secara eksplisit peran Gereja Katolik
bagi kelahiran bioetika. Hal ini dapat dimengerti karena sekali lagi pada abad
ke 17 dan ke 18 ditandai oleh perkembangan lain yang , lebih mempersiapkan para
imamnya sebagai pendengar pengakuan dosa (Confessor) di mana refleksi
moral lebih dititikberatkan pada teologi moral, khususnya membuat buku-buku
petunjuk yang dapat dirujuk oleh para Confessor dalam praktik pengakuan
dosa. Dengan demikian, dari akhir abad ke 17 hingga konsili Vatikan II, upaya
pelembagaan teolog moral mendominasi refleksi teologi moral katolik dengan ciri
utama menyajikan sedikit landasan teoritis dilanjutkan dengan mengaplikasikan
dalam sakramen pengakuan dosa. Ini disusun dalam skema sepuluh perintah Allah
atau sakramen-sakramen, dimana masalah-masalah etika medis umumnya direduksikan
kepada topik Perintah Allah kelima, yakni “jangan membunuh” yang secara
implisit juga melarang praktik
mutilasi. Selain itu, masalah etika medis juga sering diletakkan dalam
tema perkawinan. Menarik dicatat, pada periode ini muncul buku-buku berisi
kasus-kasus praktis (casus conscientiae) sebagai pelengkap bagi
pelembagaan teologi moral serta dikembangkannya metode kasuistri (casuistry
methode) yang dikemudian hari menjadi salah satu sumbangan utama teologi
moral Gereja Katolik bagi pengembangan bioetika.
Bagaimana
dengan abad-abad selanjutnya? Ilmu-ilmu berkembang pesat di abad ke19,
termasuk ilmu kedokteran. Pada waktu itu
dirasakan ada semacam jurang antara teologi moral dengan ilmu kedokteran dalam
arti teologi moral sudah tidak sanggup lagi memecahkan masalah-masalah etis
yang muncul dari dunia kedokteran, misalnya hanya dengan mereduksikan di bawah
perintah Allah kelima. Menyadari hal ini, Gereja Katolik menciptakan apa yang
di sebut sebagai “pastoral medicine”. Ini tampak misalnya dalam karya Carl
Capellmann, seorang dokter Jerman yang melihat pentingnya mempersiapkan
para imam dengan pengetahuan yang cukup memadai di bidang medis yang akan
sangat berguna dalam menjalankan pelayanannya dan memampukan para imam
mengkomunikasi prinsip-prinsip moral Katolik kepada para dokter. Pemikiran yang
dikembangkan Capellman lalu tidak hanya difokuskan pada perintah Allah kelima
(meliputi juga masalah aborsi, pembedahan medis, dan penggunaan obat-obatan), tetapi juga mencakup perintah Allah keenam
(meliputi pula masalah masturbasi, perzinahan, dan perkawinan). Topik-topik
lain yang berhubungan dengan perintah-perintah Gereja seperti masalah puasa dan
pantang, sakramen-sakramen (terutama pembaptisan), komuni, dan perminyakan
orang sakit juga ikut dibahas.
Di
abad ke 20 masalah-masalah etis, termasuk yang dihadapi para dokter dan perawat
tetap dibahas dalam traktat-traktat teologi moral. Meskipun demikian, buku-buku
lain mengenai “pastoral medicine” atau etika medis mulai muncul dan mengurangi
dominasi traktat teologi moral. Ini merupakan perkembangan yang sangat positif,
terutama kalau dikontekskan dalam pentingnya mengembangkan metodologi sendiri
yang khas etika biomedis dalam memecahkan persoalan-persoalan etika biomedis.
Demikianlah, karya Albert Niedermeyer, seorang pemikir Jerman di bidang pastoral
medicine, misalnya, meliputi topik-topik yang cukup lengkap di bidang etika
medis dewasa ini, termasuk di dalamnya adalah masalah psikiatri dan
psikoterapi. Sementara itu, etika medis mulai muncul di Amerika Serikat di abad
ke 20, dengan fokus pada masalah-masalah etis yang dihadapi para dokter,
perawat, dan rumah sakit-rumah sakit Katolik. Salah satu karya yang layak
disebut adalah Moral Princiels and Medical Practice (1897) yang
ditulis oleh pastor Charles Coppens, teks yang digunakan secara luas sebagai
materi pengajaran di fakultas-fakulatas kedokteran dan sekolah-sekolah perawat
Katolik. Tahun 1949 dan kemudian direvisi tahu 1955. Asosiasi Rumah Sakit
Katolik Amerika Serikat memformulasikan “Ethical an Religious Dirrectives
for Catholic Hospitals” yang menjadi acuan memecahkan masalah-masalah etis
yang dihadapi para dokter dan perawat.[3]
D.
Studi
Kasus mengenai Bioetika
1. Eutanasia
Salah
satu contoh studi kasus bioeika ialah eutanasia. Euthanasia adalah
tindakan mengakhiri hidup seorang individu secara tidak menyakitkan, ketika
tindakan tersebut dapat dikatakan sebagai bantuan untuk meringankan penderitaan
dari individu yang akan mengakhiri hidupnya. Euthanasia dapat menjadi aktif
atau pasif:
·
Euthanasia aktif
menjabarkan kasus ketika suatu tindakan dilakukan dengan tujuan untuk
menimbulkan kematian. Contoh dari kasus ini adalah memberikan suntik mati. Hal
ini ilegal di Britania Raya dan Indonesia.[4] Pendapat Gereja Katolik mengenai eutanasia aktif yaitu “Tak sesuatu pun atau tak
seorang pun dapat membiarkan seseorang manusia yang tak bersalah dibunuh, entah
dia itu janin atau embrio, anak atau dewasa, orang jompo atau pasien yang tidak
dapat sembuh ataupun yang sedang sekarat. Selanjutnya tak seorang pun
diperkenankan meminta perbuatan pembunuhan ini, entah untuk dirinya sendiri,
entah untuk orang lain yang dipercaya kepadanya… juga tidak ada penguasa yang
dengan sah dapat memerintahkannya atau mengizinkan tindakan semacam itu”
(Kongregasi untuk ajaran Iman, Deklarasi mengenai Eutanasia, 5 Mei 1980).[5]
·
Euthanasia pasif
menjabarkan kasus ketika kematian diakibatkan oleh penghentian tindakan medis.
Contoh dari kasus ini adalah penghentian pemberian nutrisi, air, dan
ventilator.[6]
Lain halnya kalau dipertimbangkan, sejauh mana haruus diteruskan pengobatan
yang tidak menyembuhkan orang dan hanya emperpanjang proses kematiannya.
Disebut Eutanasia pasif, jika pengobatan yang sia-sia dihentikan, dan eutanasia
tidak langsung, kalau obat penangkal sakit memperpendek hidupnya. Menurut moral
Gereja Katolik, itu dapat dibenarkan.[7]
Argumen Pro Euthanasia
Kelompok pro
euthanasia, yang termasuk juga beberapa orang cacad, berkonsentrasi untuk
mempopulerkan euthanasia dan bantuan bunuh diri. Mereka menekankan bahwa pengambilan
keputusan untuk euthanasia adalah otonomi individu. Jika seseorang memiliki
penyakit yang tidak dapat disembuhkan atau berada dalam kesakitan yang tak
tertahankan, mereka harus diberikan kehormatan untuk memilih cara dan waktu
kematian mereka dengan bantuan yang diperlukan. Mereka mengklaim bahwa
perbaikan teknologi kedokteran merupakan cara untuk meningkatkan jumlah pasien
yang sekarat tetap hidup. Dalam beberapa kasus, perpanjangan umur ini melawan
kehendak mereka.
Mereka yang
mengadvokasikan euthanasia non sukarela, seperti Peter Singer, berargumentasi
bahwa peradaban manusia berada dalam periode ketika ide tradisional seperti
kesucian hidup telah dijungkir balikkan oleh praktek kedokteran baru yang dapat
menjaga pasien tetap hidup dengan bantuan instrumen. Dia berargumen bahwa dalam
kasus kerusakan otak permanen, ada kehilangan sifat kemanusian pada pasien
tersebut, seperti kesadaran, komunikasi, menikmati hidup, dan seterusnya.
Mempertahankan hidup pasien dianggap tidak berguna, karena kehidupan seperti
ini adalah kehidupan tanpa kualitas atau status moral.
Falsafah Utilitarian
Singer menekankan bahwa tidak ada perbedaan moral antara membunuh dan
mengizinkan kematian terjadi. Jika konsekuensinya adalah kematian, maka tidak
menjadi masalah jika itu dibantu dokter, bahkan lebih disukai jika kematian
terjadi dengan cepat dan bebas rasa sakit.
Oposisi terhadap
Euthanasia
Banyak argumen anti
euthanasia bermula dari proposisi, baik secara religius atau sekuler, bahwa
setiap kehidupan manusia memiliki nilai intrinsik dan mengambil hidup seseorang
dalam kondisi normal adalah suatu kesalahan. Advokator hak-hak orang cacad
menekankan bahwa jika euthanasia dilegalisasi, maka hal ini akan memaksa
beberapa orang cacad untuk menggunakannya karena ketiadaan dukungan sosial,
kemiskinan, kurangnya perawatan kesehatan, diskriminasi sosial, dan depresi.
Orang cacad sering lebih mudah dihasut dengan provokasi euthanasia, dan
informed consent akan menjadi formalitas belaka dalam kasus ini. Beberapa orang
akan merasa bahwa mereka adalah beban yang harus dihadapi dengan solusi yang jelas. Secara umum, argumen anti euthanasia
adalah kita harus mendukung orang untuk hidup, bukan menciptakan struktur yang
mengizinkan mereka untuk mati.[8]
2.
Aborsi
Masa awal hidup, yaitu masa hidup dalam kandungan, mempunyai arti yang khas,
baik bagi bayi maupun bagi ibunya. Hidup manusia baru itu berelasi dengan
ibunya dan relasi dengan ibunya dan relasi itu meliputi dimensi-dimensi
biologis, medis, psikologis, dan juga pribadi. Anak di dalam kandungan menerima
hidup seluruhnya dari ibunya yang memberikan hidup, dan justru relasi erat itu
dapat menimbulkan bermacam-macam konflik, yang berakhir dengan pengguguran
(aborsi).
Mengenai pengguguran, tradisi Gereja amat jelas. Mulai dari abad-abad pertama
sejarahnya, Gereja membela hidup anak di dalam kandungan, juga kalau (seperti
dalam masyarakat Romawi abad pertama dan kedua) pengguguran diterima umum dalam
masyarakat. Orang kristen selalu menentang dan melarang pengguguran. Konsili
Vatikan II masih menyebut pengguguran suatu “tindakan kejahatan yang durhaka”,
sama dengan pembunuhan anak. “sebab Allah, Tuhan kehidupan, telah mempercayakan
pelayanan mulia melestarikan hidup kepada manusia, untuk dijalankan dengan cara
yang layak baginya. Maka kehidupan sejak saat pembuahan harus dilindungi dengan
sangat cermat.” (GS 51).
Menurut ensiklik Paus Paulus VI, Humanae Vitae
(1968) pengguguran, juga dengan alasan terapeutik, bertentangan dengan tugas
memelihara dan meneruskan hidup (14). Dalam ensilik Paus Yohanes Paulus II,
Veritatis Splendor (1993), pengguguran digolongkan diantara
“perbuatan-perbuatan yang – lepas dari situasinya- dengan sendirinya dan dalam
dirinya dan oleh karena isinya dilarang keras”. Gaudium et Spes
menyatakan, “Apa saja yang berlawanan dengan kehidupan sendiri, bentuk
pembunuhan yang mana punjuga, perumpamaan suku, pengguguran, eutanasia, dan
bunuh diri yang sengaja;apa pun yang melanggar keutuhan pribadi manusia,
seperti penganiayaan, apapun yang melukai martabat manusia ... semuanya itu
sudah merupakan perbuatan keji, mencoreng peradaban manusia ... sekalipun
sangat bertentangan dengan kemuiiaan Sang Pencipta” (GS 27; VS 80)..
Dalam KWI, Pedoman Pastoral tentang Menghormati
Kehidupan, 1991, menyatakan “Allah menyayangi Kehidupan”. Artinya: setiap
manusia disayangi Nya. Maka sebetulnya tidak cukuplah mengakui, hak hidup
manusia dalam kandungan; hidup manusia harus dipelihara supaya dapat berkembang
sejak awal.
Moral Katolik memegang teguh keyakinan bahwa begitu
hidup pribadi manusia di mula, pembunuhan sebelum kelahiran dinilai sama
seperti pembunuhan setelah kelahiran. Pengguguran dinilai sehubungan dengan
larangan membunuh manusia.
Banyak juga ahli teolog Katolik yang berpendapat
bahwa, jika seorang ibu mengandung, namun bayi yang di dalam nya tidak mampu
diselamatkan karena penyakit yang diderita seorang ibu, hidup harus tetap
dipelihara. Jika tidak mungkin hidup ibu dan anak, sekurang-kurang nya satu
yang harus hidup.
Di Indonesia pengguguran terlarang oleh Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana pasal 346-349, yang untuk itu juga ditetapkan
hukuman yang berat. Hukum pidana mau melindungi hidup sejak awal. Undang-Undang
Republik Indonesia tentang Kesehatan (1992) tampaknya ingin mengatur konflik:
“Dalam keadilan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dan
atau janinnya, dapat dilakukan tindakan medis tertentu.”[9]
3.
Transplantasi Organ
adalah transplantasi atau pemindahan seluruh atau sebagian organ dari satu tubuh ke tubuh yang lain, atau dari suatu tempat ke tempat yang lain
pada tubuh yang sama. Transplantasi ini ditujukan untuk menggantikan organ yang
rusak atau tak befungsi pada penerima dengan organ lain yang masih berfungsi
dari donor.[10]
Klasifikasi jenis darah dilakukan tahun
1900 dan transplantasi
kornea pertama dilakukan pada tahun 1905. Transplantasi ginjal tahun 1950-an sementara transplantasi jantung dimulai dari tahun 1960-an dan 1970-an. Pada tahun 1998 di Inggris ada 4903 operasi
transplantasi organ, termasuk 264 transplantasi jantung. Transplantasi organ manusia
mengangkat beberapa isu etis yang penting.
Organ dapat disumbangkan oleh donor yang masih hidup, namun kesejahteraan pendonor
harus diperhatikan, atau oleh donor mati, di mana harus membayarkan atau
memberi perhatian khusus untuk pendonor.
Isu-isu
kontroversial lainnya termasuk kloning, mengandalkan pengembangbiakan embrio manusia
yang nantinya akan dihancurkan,
masa depan pengembangan teknologi sel
induk dewasa yang mungkin memberi
manfaat yang secara etis organ buatan dapat diterima, dan 'xenotransplantation',
yaitu transplantasi organ dari spesies lain. Jones menunjukkan
bahwa transplantasi ini akan menjadi berbahaya
secara moral.
Perkembangan ajaran kepausan tentang
transplantasi dapat ditelusuri dari
Pius XII pada tahun 1950. Paus Yohanes Paulus II mengakui dorongan kemurahan
hati dan solidaritas dengan tetangga diekspresikan melalui mendonorkan darah
atau organ yang menyatakan bahwa tidak membahayakan kehidupan pendonor sendiri
atau identitas pribadinya.
Dalam Evangelium Vitae
ia menulis bahwa salah satu cara untuk
membangun budaya otentik kehidupan. . . adalah dengan menyumbangkan organ-organ, dilakukan
dengan cara yang dapat diterima secara etis, dengan maksud untuk menawarkan kesempatan kesehatan dan bahkan kehidupan itu sendiri kepada orang
sakit yang kadang tidak memiliki
harapan lain (x86). Organ vital, seperti hati,
hanya bisa diambil dari orang yang sudah mati. Ini mengangkat isu sulit tentang kriteria untuk memastikan kematian. Paus Yohanes Paulus mengakui
otonomi yang sah terhadap keputusan medis. Akhirnya, agar xenotransplantasi menjadi sah, organ yang ditransplantasikan
harus tidak mengganggu integritas dari identitas psikologis atau genetik orang
yang menerimanya, dan juga harus ada kemungkinan biologis yang telah terbukti
bahwa transplantasi akan berhasil dan tidak akan beresiko fatal bagi
penerimanya'.
Dalam
perkembangan respon Katolik terhadap transplantasi, dapat dilihat bahwa Gereja telah berhati-hati untuk mendesak martabat manusia baik dari pendonor maupun penerima sebagai subyek dan bukan
alat, dan seperti
yang diwujudkan, saling tergantung, dan kesetaraan martabat dan nilai di mata Tuhan.[11]
E.
Prinsip-prinsip
Bioetika
Ada empat
prinsip yang meupakan inti dasar dari Bioetika:
1.
Principle
of Respect of Autonomy : penghormatan terhadap otonomi
Prinsip
ini menitikberatkan bahwa pasien selaku manusia dan individu, memiliki
kebebasan penuh untuk memilih dan menentukan perlakuan apa yang akan dilakukan
terhadap dirinya, dalam hal ini, adalah tindakan-tindakan medis terapeutik.
Jika memang pasien itu sendiri memiliki kemampuan dan kapasitas untuk dapat
berpikir secara sehat dan baik untuk menentukan dan membuat suatu keputusan,
maka dokter ataupun tenaga medis yang menangani harus menghormatinya. Hal ioni
pun mengikat pada perihal tidak boleh adanya tekanan pada pasien dengan tujuann
agar sang pasien membuat suatu keputusan, naka dokter ataupun tenaga medios
yang menangani harus menghormatinya. Hal ini pun mengikat pada perihal tidak
boleh adanya tekanan pada pasien dengan tujuan agar pasien membuat suatu
keputusan tertentu atau dengan kata lain, dipengaruhi oleh suatu hal yang tidak
semestinya. Bentuk konkrit dari prinsip ini adalah dengan adanya “Informasi
Consent” yang dapat digunakan oleh pasien ataupun dokter untuk mengkoordinasi
protocol terapi yang akan dijalankan, dan mengetahui keinginan pasien dalam
menjalankan terapi yang akan diberikan.
2.
Principle
of Nonmaleficience : tidak melukai/memperburuk
Prinsip
ini berarti bahwa seorang praktisi medis tidak dibenarkan untuk melakukan suatu
hal yang menyakiti pasien dengan tidak adanya indikasi tertentu yang
mengharuskan. Hal ini dapat dinilai pada prosedur medis yang bersifat invasive
(Endokopi, Laringoskopi direct, Biopsi, dll). Beberapa prosedur medis tersebuut
dinilai sangat invasive dan dapat menyebabkan ketidaknyamanan pada pasien, maka
sebaiknya tidak dilakukan jika memng indikasi medis khusus tidak melandasi akan
diharuskannya dilakukan tindakan tersebut.
Prinsip ini
juga melibatkan masalah “ketidaksengajaan” dalam menyakiti pasien. Sebagai
praktisi medis, maka adalah suatu kewajiban untuk meminimalisasi resiko dan
memberikan yang terbaik bagi pasien. Ada beberapa kriteria untuk menilai
sesorag telah melakukan Negligence/kelalaian:
-
Praktisi
mempunyai tugas kepada pasien yang bersangkutan
-
Praktisi
tersebut melewati batasan-batasan tugasnya
-
Pasien
yang bersangkutan mengalami kesalitan/kekerasan
-
Kesaiktan/kekerasan
yang dialami karena pelanggaran terhadap batasan-batasan tugas
Prinsip ini secara tersirat menitikberatkan akan masalah
profesionalitas dan kompetensi tenaga medis untuk dapat meminimalisir resiko,
meskipun terkadang kelalaian kadang tetap terjadi.
3.
Principle
of Beneficience :
mencapai/membuahkan hasil
Prinsip
ini mempunyai inti bahwa seorang tenaga medis harus memenuhi kebutuhan pasien
semaksimal mungkin demi kesembuhan danj penyelesaian terhadap masalah pasien.
Prinsip ini juga memiliki kaitan dengan prinsip Nonmaleficience. Prinsip ini
memiliki arti khusus yaitu mkmemberikan pelayanan yang baik terhadap pasien
secara individual, ataupun arti umum yaitu memebrikan yang terbaik bagi
masyarakat luas dalam hal misalnya pencegahan penyakit menular ataupun
vaksinasi. Prinsip ini juga mengedepankan hal tentang pemilihan obat dan
manajemen terapeutik yang terbaik bagi ppasien, yang berati memang benar-benar
sesuai indikasi klinis dan memiliki efek samping yang seminimal mungkin.
Meskipun
prinsip ini mengutamakan yang terbaik, namun seorang praktisi medis memiliki
hak penuh untuk memilih apakah seseorang pasein dapat masuk dan menjadi
kewajiban praktisnya. Hal ini menjadi sulit jika seorang praktisi medis tidak
mampu menilai prediksi masa deooan pasien, dan tidak mengetahui beberapa surat
keterangan lain misalnya DNAR (Do Not Attempt Resuscitation), ataupun Advanced
Directives.
4.
Principle
of justice : keadilan
Keadilan
dalam prinsip ini berarti semua pasien berhak mendapat pelayanan medis sesuai
dengan indikasi dan kemampuan. Hal ini bukan berarti kita harus memandang akan
keadaan ekonomi pasien secara sentris, namun kita harus memberikan apa yang ia
bisa peroleh dengan kemampuan ekonominya. Berbagai peralatan canggih dan
manajemnen terapeutik modern, tak sebaiknya diberikan jika memang pasien tidak
akan mampu membayarnya kelak dikemudian hari. Tentunya, hal ini berkesan sulit
karena mungkin dapat menimbulkan rasa ketidakadilan pada pasien. Meskipun
demikian, seorang praktisi medis harus memberikan pelayanan medis kepada
seseorang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan pasien. Jadi, bukan berarti
seorang pasien dengan ekonomi lemah akhirnya dicemoohkan dan dibiarkan begitu
saja.
Beberapa
kriteria yang dapat digunakan untuk distribusi kedailan yang dapat digunakan
adalah:
-To each person
an equal share: pada setiap orang, pembagian yang sama
-To each person
according to effort : pada setiap orang, sesuai kemampuan
-To each person according to merit : pada setiap
orang, sesuai manfaat
-To each person
according to free-market exchange : pada setiap orang, sesuai kaidah jual beli.
Prinsip ini secara tak langsung mengharuskan tenaga medis untuk
mengerti akan manajemen terapeutik yang benar-benar sesuai dengan pasien baik
secara klinis ataupun kemampuan dan fungsi sosial ekonomi pasien.[12]
PENUTUP
Permasalahan mengenai bioetika memang menimbulkan masalah yang
cukup serius. Aksi-aksi pro dan kontra tersebut terjadi karena mungkin penemuan
atau penelitian yang seseorang itu lakukan kurang etis jika dipandang dari segi
kemanusiaan. Maka dari itu muncullah bioetika ini. Namun ada beberapa pihak
yang pro terhadap bioetika dan ada pula yang kontra terhadap bioetika ini.
Orang yang pro terhadap bioetika ini mungkin orang yang lebih mengedepankan
etika daripadaperkembangan dan kemajuan teknologi, sedangkan orang yang kontra
terhadap bioetika ini ialah orang yang mungkin lebih mendewakan kemajuan dan
perkembangan teknologi namun tidak begitu memperhatikan masalah etika.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Chang,
William, Bioetika Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Kanisius), Cet. 1, 2009,
google Book
2.
Hornsby-Smith
,Michael P., An Introduction Catholic To Social Thought, (New York: Cambridge
University Press), 2006
3.
Jena,
Yeremias, Moralitas etika dalam peradaban dunia, (Yogyakarta: Kanisius),
cet. 1, 2011, google book
4. Konferensi Waligereja Indonesia, Iman Katolik, (Yogyakarta:
Kanisius), cet. XII, 2007
5.
Arli
Aditya Parikesit, The Bioinformatics materials and goodies, diakses pada
05 mei 2013, dari http://bioarli.page.tl/Euthanasia-dan-Kematian-Bermartabat-d--Suatu-tinjauan-Bioetika.htm
6.
Membuka
Wahana Dunia, Bioetika, diakses pada 04 Mei 2013, dari http://duniagil.wordpress.com/2011/12/21/bioetika/
8.
Wikipedia,
Tranplantasi Organ, diakses pada 14 mei 2013, dari https://id.wikipedia.org/wiki/Transplantasi_organ
[1] Membuka
Wahana Dunia, Bioetika, diakses pada 04 Mei 2013, dari http://duniagil.wordpress.com/2011/12/21/bioetika/
[2] Chang,
William, Bioetika Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Kanisius), Cet. 1,
2009, hal. 13-17, google Book
[3]Jena,
Yeremias, Moralitas etika dalam peradaban dunia, (Yogyakarta: Kanisius),
cet. 1, 2011, google book
[4]
Arli Aditya Parikesit, The Bioinformatics materials and goodies, diakses
pada 05 mei 2013, dari http://bioarli.page.tl/Euthanasia-dan-Kematian-Bermartabat-d--Suatu-tinjauan-Bioetika.htm
[5]Konferensi
Waligereja Indonesia, Iman Katolik, (Yogyakarta: Kanisius), cet. XII,
2007, hal. 74
[6]
Arli Aditya Parikesit, The Bioinformatics materials and goodies, diakses
pada 05 mei 2013, dari http://bioarli.page.tl/Euthanasia-dan-Kematian-Bermartabat-d--Suatu-tinjauan-Bioetika.htm
[7]
Konferensi Waligereja Indonesia, Iman Katolik, ha. 74
[8]
Arli Aditya Parikesit, The Bioinformatics materials and goodies, diakses
pada 05 mei 2013, dari http://bioarli.page.tl/Euthanasia-dan-Kematian-Bermartabat-d--Suatu-tinjauan-Bioetika.htm
[9]
Konferensi Waligereja Indonesia, Iman Katolik, hal.69-73
[10]
Wikipedia, Tranplantasi Organ, diakses pada 14 mei 2013, dari https://id.wikipedia.org/wiki/Transplantasi_organ
[11] Hornsby-Smith ,Michael P., An
Introduction Catholic To Social Thought, (New York: Cambridge
University Press), 2006, hal. 164
[12] Scribd,
Bioetika, diakses pada 05 mei 2013, dari http://www.scribd.com/doc/31299150/Bioetika
0 komentar:
Posting Komentar