PENDAHULUAN
Dalam ajaran agama
Buddha, terdapat ajaran tentang Panca Saddha, yang disebut juga Sradha. Yang
dimaksud Panca Saddha atau Panca Sradha yaitu lima keyakinan. Lima keyakinan
tersebut adalah keyakinan terhadap Sanghyang Adhi Buddha, keyakinan terhadap
para Boddhisatva dan para Buddha, keyakinan terhadap hukum-hukum kesunyataan,
keyakinan terhadap kitab suci, keyakinan terhadap Nibbana.
Menurut Buddha,
kehidupan ini adalah penderitaan. Penderitaan yang dialami manusia berasal dari tanha. Maka dari itu, manusia
harus melenyapkannya. Untuk melenyapkan penderitaan, manusia harus melaksanakan
beberapa jalan, yaitu sering disebut jalan tengah atau jalan menuju Nibbana.
Dan Nibbana merupakan tujuan akhir dari kehidupan manusia. Berikut akan
membahas tentang saddha yang ke lima, yaitu Nibbana.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian jalan
menuju Nibbana
Jalan
menuju ke Nibbana adalah jalan tengah (Majjima Patipada) yang
menghindari ekstrim penyiksaan diri yang melemahkan kecerdasan dan ekstrim
pengumbaran nafsu yang menghalangi kemajuan moral.[1]
Bodhisatva pangeran Siddharta Gotama, melalui pengalaman-pengalamannya sendiri
telah menemukan jalan tengah yang telah menghasilkan pandangan dan pengetahuan
yang membawa beliau ke keterangan. Pengertian benar, kesadaran Agung dan Nibbana.
Pada hakekatnya seluruh ajaran YMS Buddha Gotama, dengan yang disiarkan nya
sendiri untuk 45 tahun lamanya, dalam satu dan lain cara ada hubungannya dengan
jalan ini.[2]
Hal ini dilakukan oleh Buddha Gotama dan beliau hanya tidur satu jam setiap
harinya. Selama 45 tahun menyampaikan Dhamma kepada setiap orang dengan penuh
rasa kasih sayang. Setiap pagi beliau melihat sekeliling alam, memberikan
berkah cinta kasih dan kasih sayang yang sempurna; membawa kebahagiaan dan
membimbing berjuta-juta umat manusia untuk maju menuju pembebasan mutlak ialah
Nibbana.[3]
Beliau telah menerangkan dalam berbagai cara, dengan memakai aneka perkataan
kepada bermacam-macam orang, sesuai dengan tingkatan pengetahuan masing-masing
dan kesanggupan mereka untuk mengerti dalam mengikuti beliau. Sari dari ribuan
sutta dalam kitab suci agama buddha adalah mengenai delapan ruas jalan utama. Jalan tengah adalah jalan yang menuju
lenyapnya penderitaan. Ada delapan jalan dalam melakukan jalan tengah ini.[4]
Jalan tengah disebut juga jalan utama.[5] Buddha pun mengetahui bahwa tidak semua
manusia memiliki kemampuan yang sama untuk seketika mencapai kematangan
spiritual. Jadi ia menjelaskan secara rinci Jalan Mulia Berfaktor delapan untuk perkembangan bertahap cara hidup spiritual
dalam cara yang praktis. Ia tahu bahwa tidak semua orang dapat menjadi sempurna
dalam satu kehidupan. Ia berkata bahwa sila, samadhi, panna harus dan dapat
dikembangkan dalam banyak masa kehidupan dengan usaha yang tekun. Jalan ini
akhirnya menuju pada pencapaian kedamaian tertinggi dimana tiada lagi duka.[6]
B.
Jalan untuk
mencapai Nibbana
Ada
delapan jalan (cara) untuk mencapai Nibbana. Delapan ruas jalan utama dan jalan
tengah itu lazim disebut tiga golongan yang lebih besar, yaitu:
a. Ucapan
Benar (Samma Vacca)[8]
Ucapan
benar meliputi hormat akan kebenaran dan hormat akan kesejahteraan orang lain.
Hal ini berarti menghindari berdusta, memfitnah, berkata kasar, dan beromong
kosong. Kita sering menganggap remeh kekuatan ucapan dan cenderung kurang
mengendalikan ucapan kita. Tapi kita semua pernah terluka oleh kata-kata
seseorang pada suatu waktu dalam hidup kita, dan juga pernah tersemangati oleh
kata-kata orang lain. Kata-kata kasar dapat melukai lebih dalam daripada
senjata, sedangkan kata-kata halus dapat mengubah hati dan pikiran penjahat yang paling keji. Jadi
untuk mengembangkan suatu masyarakat yang harmonis, kita harus mengendalikan,
membudayakan, dan menggunakan ucapan kita secara positif. Kita mengucap kata-kata
yang penuh kebenaran, membawa harmoni, baik, dan penuh makna. Buddha pernah
berkata, “Ucapan yang menyenangkan itu manis bagai madu, ucapan yang penuh
kebenaran itu indah bagai bunga, dan ucapan yang salah itu tidak berguna
seperti sampah”.[9]
Syarat-syarat
Ucapan benar:
Ø Kata-kata
itu benar
Ø Kata-kata
itu beralasan
Ø Kata-kata
itu berfaedah
Ø Kata-kata
itu tepat pada waktunya
Ucapan benar duniawi (lokiya samma
vaca), yaitu:
Ø Menghindari
kedustaan
Ø Menghindari
pergunjingan
Ø Menghindari
kata-kata kasar/kotor
Ø Menghindari
omong kosong
Ucapan benar luhur (lokuttara samma
vaca), yaitu Tidak melakukan empat jenis ucapan salah.
Hubungan dengan ruas jalan lain, yaitu:
Ø Pandangan
terang: menyelami ucapan salah sebagai salah dan ucapan benar sebagai benar
Ø Daya
upaya benar: berdaya upaya mengatasi ucapan salah dan membina ucapan benar
Ø Perhatian
benar: mengatasi ucapan salah dengan pikiran sadar serta memiliki ucapan benar
dengan pikiran sadar.[10]
b. Perbuatan
Benar (Samma kammanta)[11]
Perbuatan
benar melibatkan rasa hormat pada kehidupan, hormat pada kepemilikan, dan
hormat pada hubungan pribadi. Hal ini berkaitan dengan tiga prinsip pertama
dari Lima sila yang harus dijalani oleh setiap umat Buddha, yaitu pantang:
membunuh, mencuri, dan berasusila. Hidup itu bernilai bagi semua makhluk, semua
gentar pada hukuman, semua takut akan kematian, dan menghargai kehidupan. Karena
itu sebaiknya kita menjauhkan diri dari mengambil kehidupan yang kita sendiri
tidak dapat berikan dan kita sebaiknya tidak menyakiti makhluk lainnya. Hormat pada
kepemilikan berarti bahwa kita sebaiknya tidak mengambil apa yang tidak
diberikan dengan mencuri, menipu, atua memaksa. Hormat pada hubungan pribadi
berarti bahwa kita sebaiknya tidak melakukan perilaku seksual yang menyimpang,
yang mana hal ini penting untuk memelihara kehormatan dan kepercayaan orang
yang kita cintai serta membuat masyarakat yang lebih baik untuk ditinggali.[12]
Untuk perbuatan
benar duniawi, yaitu:
Ø Menghindari
pembunuhan
Ø Menghindari
pencurian
Ø Menghindari
perjinahan
Untuk perbuatan
benar luhur, yaitu: Tidak melakukan tiga perbuatan salah, dan berhubungan
dengan jalan suci.
Hubungan dengan
ruas jalan:
Ø Pandangan
benar: menyelami perbuatan salah sebagai salah dan perbuatan benar sebagai
benar
Ø Daya
upaya benar: berdaya upaya untuk mengatasi perbuatan salah dan membina
perbuatan benar
Ø Perhatian
benar: mengatasi perbuatan salah dengan pikiran sadar serta memiliki perbuatan
benar dengan pikiran benar.[13]
c. Penghidupan
atau Mata Pencaharian Benar (Samma ajiva)[14]
Penghidupan
benar adalah faktor sikap moral mengenai bagaimana kita mencari nafkah dalam
masyarakat. Hal ini merupakan sambungan dari kedua faktor lainnya, perkataan
benar dan perbuatan benar. Penghidupan benar berarti kita sebaiknya mencari
nafkah tanpa melanggar prinsip-prinsip sikap moral ini. Umat Buddha tidak
dianjurkan untuk terlibat dalam lima jenis mata pencaharian ini: perdagangan
makhluk, perdagangan senjata, perdagangan daging yang menyebabkan pembinasaan
hewan, perdagangan minuman keras, dan narkotika, serta perdagangan racun.
Sebagian orang mungkin berkata bahwa mereka harus melakukan pekerjaan semacam
itu untuk hidup mereka dan, karenanya, mereka tidak bisa dipersalahkan. Tetapi
argumen ini sama sekali tidak berdasar. Jika hal ini sahih, maka pencuri,
pembunuh, bandit, penjahat keji, penyelundup, dan penipu juga bisa berkilah
dengan mudah bahwa mereka juga melakukan perbuatan keliru itu demi penghidupan
mereka dan karenanya, tidak ada yang salah dengan cara hidup mereka.
Sebagian
orang percaya bahwa memancing dan berburu binatang untuk kesenangan dan
membantai binatang untuk makanan tidak melawan prinsip-prinsip Buddhis. Ini
adalah kesalahpahaman lain yang muncul karena kurangnya pengetahuan tentang
Dhamma. Semua ini bukanlah tindakan yang layak dan mendatangkan penderitaan
bagi makhluk lain. Tetapi dari semua perbuatan ini, orang yang paling jahat
adalah orang yang melakukan tindakan buruk demi kesenangan semata.
Mempertahankan kehidupan melalui jalan yang salah tidaklah sesuai dengan ajaran
Buddha. Buddha pernah berkata, “Barang siapa hidup seratus tahun kurang
bermoral, tidak kokoh, lebih baik hidup satu hari bermoral luhur, bermedirasi.”
( Dhammapada 110). Lebih baik mati sebagai orang yang beradab dan
terhormat daripada hidup sebagai orang jahat.[15]
Seorang Bhikhu diharapkan untuk menjalankan empat jenis
kesusilaan yang lebih tinggi, yaitu:
1.
Patimokkha sila - Tata tertib
moral yang mendasar.
2.
Indriyasamavara Sila – kesusilaan
berkenaan dengan pengendalian indria
3.
Ajivaparisuddhi Sila – Kesusilaan
berkenaan dengan kesucian kehidupan
4.
Paccayasannissita Sila –
Kesusilaan berkenaan dengan penggunaan keperluan-keperluan hidup.
Empat jenis kesusilaan ini secara bersamaan disebut Sila Visuddhi
(kesucian kebajikan), yang pertama dari tujuh tingkatan kesucian menuju jalan
ke Nibbana.[16]
Adapun
tingkatan-tingkatan kesucian ada tujuh, yaitu:
1. Kesucian kemoralan
(silavisuddhi)
2. Kesucian pikiran
(cittavisuddhi)
3. Kesucian Pandangan
(ditthivisuddhi)
4. Kesucian pandangan terang
yang mengatasi keragu-raguan (kankha-vitaranavisuddhi)
5. Kesucian pandangan terang yang menyadari apa yang merupakan Sang Jalan
dan apa yang bukan (maggamagga-ñanadassanavisuddhi)
6. Kesucian pandangan terang
yang mengetahui cara praktek (patipada-ñanadassanavisuddhi)
7.
Kesucian pandangan terang (ñanadassanavisuddhi).[17]
Ketika seseorang memasuki persaudaraan Sangha dan menerima
penghabisan yang lebih tinggi (Upasampada), ia disebut seorang Bhikhu. Tidak
ada kata yang cukup tepat untuk menjelaskan arti istilah Pali Bhikhu. “Pertapa
yang meminta” dapat diusulkan sebagai terjemahan yang agak mendekati, tidak
dalam arti orang yang meminta tapi dalam arti orang yang hidup dari
persembahan.
Tidak ada sumpah bagi seorang Bhikhu. Atas kehendak sendiri
ia menjadi Bhikhu dalam rangka menjalankan kehidupan suci selama ia suka. Ia
bebas untuk meninggalkan persaudaraan Sangha kapan saja.
Seorang Bhikhu terikat untuk melaksanakan 220 aturan, diluar
beberapa aturan kecil lainnya. Empat aturan utama yang berhubungan dengan
kehidupan selibat yang sempurna, pencurian, pembunuhan, dan pengakuan palsu
terhadap kekuatan spiritual yang tinggi, harus dilaksanakan dengan ketat. Jika
ia melanggar salah satu diantara nya, ia terkalahkan (parajika) dan secara langsung
berakhir kehidupan seorang Bhikhu. Jika ia menghendaki, ia dapat memasuki
persaudaraan Sangha lagi dan tetap sebagai seorang Samapera (pemula). Dalam hal
aturan lain yang dilanggarnya, ia harus memperbaiki sesuai dengan bobot
kesalahannya.
Diantara ciri-ciri seorang Bhikhu yang menonjol adalah
kesucian kehidupan selibat yang sempurna, kemiskinan dengan suka rela,
kerendahan hati, kesederhanaan, pengabdian yang tulus, kasih sayang dan
kedamaian.
Kehidupan seorang Bhikhu atau dengan kata lain, penglepasan dari kesenangan-kesenangan
duniawi dan ambisi, hanyalah satu sarana efektif untuk mencapai Nibbana, tetapi
bukanlah suatu tujuan akhir.[18]
Kejujuran, dapat dipercaya dan kelurusan juga merupakan
ciri-ciri seorang dengan pengertian benar. Orang semacam itu berusaha untuk
tidak melakukan segala bentuk pencurian, baik dalam bentuk terselubung atau nyata.[19]
Untuk mata pencaharian duniawi, orang harus menghindari
pencaharian salah dan melaksanankan mata pencaharian benar, yaitu:
Ø Penipuan
Ø Ketidak setiaan
Ø Penujuman
Ø Kecurangan
Ø Memungut bunga yang tinggi (praktek lintah darat).
Harus
menghindari lima macam perdagangan:
Ø Perdagangan alat-alat senjata
Ø Berdagang mahluk hidup
Ø Berdagang daging atau segala sesuatu yang berasal dari
penganiayaan makhluk-makhluk hidup
Ø Berdagang minuman yang memabukkan, yang bisa menimbulkan
ketagihan
Ø Berdagang racun.
Untuk
mata pencaharian benar luhur:
Tidak
melaksanakan mata pencaharian yang salah, dan berhubungan dengan jalan suci.
Hubungan
dengan ruas jalan:
Ø Pandangan benar: menyelami mata pencaharian salah sebagai salah,
dan mata pencaharian benar sebagai benar
Ø Daya upaya benar: berdaya upaya untuk mengatasi pencaharian
salah dan membina mata pencaharian benar
Ø Perhatian benar: mengatasi pencaharian salah dengan pikiran
sadar serta memiliki mata pencaharian benar dengan pikiran sadar.[20]
a. Usaha/Daya
Upaya Benar (Samma vayama)
Pengupayaan
benar berarti bahwa kita mengembangkan suatu niat positif dan antusias dalam
hal-hal yang kita lakukan, baik dalam karier, studi, atau praktik Dhamma kita. Dengan semangat terus
menerus dan tekad yang ceria semacam itu, kita akan sukses dalam hal-hal yang
kita lakukan. Ada empat aspek pengupayaan benar, dua aspek mengenai keburukan dan dua lainnya
mengenai kebaikan. Pertama, adalah upaya untuk menolak keburukan yang telah
muncul; kedua, upaya untuk mencegah munculnya keburukan; Ketiga, upaya untuk
mengembangkan kebaikan yang belum muncul; keempat, upaya untuk memelihara
kebaikan yang telah muncul. Dengan menerapkan pengupayaan benar dalam hidup
kita, kita dapat mengurangi dan akhirnya menghapuskan keadaan batin yang buruk
serta meningkatkan dan memantapkan batin yang sehat sebagai hal yang alamiah.[22]
Pelaksanaan daya
upaya benar, adalah:
Ø Mencegah
munculnya unsur-unsur jahat dan tidak baik di dalam batin dengan sekuat tenaga
Ø Berdaya
upaya dengan sekuat tenaga untuk memusnahkan unsur jahat dan tidak baik di
dalam batin
Ø Berdaya
upaya untuk membangkitkan unsur baik dan sehat di dalam batin
Ø Berdaya
keras untuk mempernyata, memperbanyak, memupuk, mengembangkan, menyelesaikan
unsur-unsur baik dan sehat.[23]
Pengupayaan
benar berhubungan erat dengan penyadaran benar. Praktik penyadaran adalah
penting dalam ajaran Buddha. Buddha berkata bahwa penyadaran penuh adalah jalan
untuk merealisasi akhir duka. Penyadaran dapat dikembangkan dengan selalu
menyadari empat aspek khusus. Aspek itu adalah penerapan penyadaran terhadap
tubuh (postur tubuh, bernapas, dan sebagainya), perasaan (menyenangkan, tak
menyenangkan, atau netral), pikiran (tamak, marah, buyar, terkelabui atau
tidak), dan fenomena (rintangan batin, empat kebenaran mulia, faktor
pencerahan, dan sebagainya). Penyadaran itu penting bahkan dalam kita
sehari-hari, tatkala kita bertindak dengan penuh penyadaran akan perbuatan,
perasaan, pikiran, dan kesekitaran kita. Batin sebaiknya senantiasa jernih dan
penuh perhatian, alih-alih kabur dan terpecah.[26]
Perhatian
benar ini merupakan kunci delapan ruas
jalan utama, ini terdiri dari latihan-latihan Vipassana Bhavana (meditasi
pandangan terang) yang dapat menghasilkan penembusan kesunyatan yang
diperolehnya tingkat-tingkat kesucian, latihan itu secara singkat terdiri dari:
1. Perenungan
terhadap tubuh (Kayanupassana)
a. Perenungan
terhadap pernapasan
b. Perenungan
terhadap gerak-gerik tubuh
c. Perenungan
terhadap isi tubuh
d. Perenungan
terhadap empat unsur yang merupakan rupakkhanda (unsur padat, cair, panas,
gerak)
e. Perenungan
terhadap muncul dan lenyapnya tubuh.
Tiap-tiap pernapasan
dilakukan dengan sadar.
2. Perenungan
terhadap perasaan (Vedananupassana), ialah setiap perasaan disadari dengan
seksama, demikianpun muncul lenyapnya perasaan itu.
3. Perenungan
terhadap perasaan (Cittanupassana)
a. Menyadari
adanya ketamakan, kebencian, dan kebodohan dalam kesadaran.
b. Menyadari
bebasnya kesadaran dari ketamakan, kebencian, dan kebodohan.
c. Menyadari
muncul lenyapnya kesadaran.
4. Perenungan
terhadap bentuk-bentuk pikiran (Dhammanupassana)
a. Menyadari
muncul-lenyapnya kekotoran batin yang merintangi kemajuan samadhi
b. Menyadari
muncul lenyapnya kelima khandha
c. Menyadari
muncul lenyapnya belenggu-belenggu yang berhubungan dengan enam landasan
indriya (mata, telinga, hidung, lidah, tubuh, dan batin)
d. Merenungkan
empat kasunyatan.
Hasil dari perenungan
ini, ialah ditembusnya anatta dan empat kasunyatan, dengan demikian
diperolehnya Tingkat Kesucian.[27]
c. Konsentrasi
atau Meditasi Benar (Samma samadhi)[28],
atau dapat disebut dengan pengheningan benar.[29]
Sementara
penyadaran benar mengarahkan perhatian kita pada tubuh, perasaan, pikiran, atau
obyek mental kita, atau peka terhadap orang lain, dengan kata lain, menaruh
perhatian pada sesuatu yang kita pilih, pengheningan benar adalah penerapan
sinambung perhatian itu pada suatu obyek tanpa terpecahnya pikiran.
Pengheningan adalah praktik mengembangkan pemusatan pikiran pada satu objek
tunggal, baik fisik maupun mental. Pikiran terserap total pada objek tanpa
terpecah, goyang, cemas, atau bingung. Melalui latihan dibawah bimbingan guru
yang berpengalaman, pengheningan benar membawa dua manfaat. Pertama, hal ini
menuju pada kesejahteraan mental dan fisik, kenyamanan, kegembiraan,
ketenangan. Kedua, hal ini mengubah batin menjadi mampu melihat sesuatu
sebagaimana adanya, dan menyiapkan batin untuk mencapai kebijaksanaan.[30]
Samadhi bisa diartikan dengan konsentrasi atau
kontemplasi.[31] Yang
dimaksud meditasi (samadhi) adalah terpusatnya batin pada satu titik,
yaitu batin atau perhatian yang terpusat pada satu benda khusus atau suatu
paham sampai semua pikiran-pikiran yang berhamburan dihentikan.[32]
Sedangkan menurut Matius Ali, disebutkan bahwa yang dimaksud
dengan samadhi atau pembersihan pikiran adalah mengenai seluruh
pengendalian dan perkembangan dari pikiran serta kekuatan batin, yang dalam
bahasa pali disebut bhavana.
Secara etimologis, kata samadhi berarti: penempatan
yang kuat bersama dan di dalam sutta-sutta dijelaskan sebagai: keadaan pikiran
yang ditujukan pada suatu objek (citta ekaggata= pemusatan pikiran).
Jika ditinjau dalam arti yang luas, samadhi berarti suatu tingkat
tertentu dari pemusatan pikiran, yang bersatu dan tak dapat dipisahkan dari
unsur-unsur kesadaran.[33]
Dalam referensi lain, samadhi diartikan sebagai tehnik
meditasi untuk menenangkan pikiran gangguan emosi dan pengalihan mental dengan
melekatkan kuat-kuat pada objek tunggal perhatian dan kesadaran menjaganya
sampai pikiran benar-benar menyerap dalam pre okupasi tunggal menyingkirkan hal
lain, dan seluruhnya menyatu dalam keadaan kesadaran yang sederhana dan
bersatu. Keadaan tenang, hening, dan konsentrasi disebut samadhi.[34]
Harus dipahami bahwa hening dan kesunyian ada dalam diri
kita. Jika pikiran kita tidak tenang, bahkan hutan yang sunyi pun tidak akan
menjadi cocok. Tetapi jika kita tenang, bahkan jantung kota yang ramai bisa
menjadi cocok. Suasana tempat kita hidup berfungsi sebagai pembantu tak
langsung untuk menenangkan pikiran kita.[35]
Samadhi berarti terpusatnya pikiran pada suatu hal. Ia
merupakan konsentrasi pikiran pada suatu objek dengan mengeluarkan semua yang
lain.[36]
Samadhi yang benar (samma samadhi) adalah
bersatu dengan kesadaran dari karma yang baik; sedangkan samadhi yang salah
(miccha-samadhi) adalah bersatu dengan semua kesadaran dari karma yang
tidak baik. Bilamana dipergunakan istilah samadhi, yang dimaksud adalah samadhi
yang benar.[37] Miccha
samadhi dapat pula terjadi disamping samma samadhi. Pada bentuk yang
pertama, kekuatan hasilnya dipergunakan untuk kepentingan diri sendiri, apakah
untuk keuntungan-keuntungan materi atau untuk tujuan-tujuan yang merugikan.
Pada bentuk yang kedua, itu dikembangkan hanya untuk penyucian batin dan
sebagai dasar-dasar pencapaian Jhana yang kemudian dipergunakan untuk
melatih pandangan terang.[38]
Ada dua macam samadhi: Samatha Bhavana dan Vipassana Bhavana.
Bhavana artinya menjadi, terbuka, perkembagan. Ada dua macam perkembangan:
a. Perkembangan ketenangan batin (Samatha bhavana) atau
konsentrasi (samadhi bhavana). Perkembangan pandangan – terang (Vipassana
bhavana) atau perkembangan –kebijaksanaan (panna bhavana).
Ketenangan (samatha) adalah keadaan pikiran yang tidak dapat
digoncangkan, tenang, aman, damai, dan nyata. Ketenangan batin, sebenarnya
menurut keterangan sankhepa vannana, mendatangkan tiga macam berkah,
yakni reinkarnasi yang baik, hidup bahagia, dan kesucian pikiran untuk mencapai
pandangan terang (vipassana).
b. Pandangan-Terang (vipassana) adalah nyata pikiran yang
seperti kilat menembus ketidak-kekalan, ketidak puasan, dan tidakadanya aku, (anicca,
dukha, anatta)dari seluruh badan, perasaan, dan bentuk pikran,
yakni: kelima kelompok kehidupan (khandha), yang terdiri atas: badan
jasmani (rupa khandha), perasaan (vedana), pencerapan (sanna),
bentuk-bentuk pikiran (sankhara)dan kelompok kesadaran (vinnana
khandha).
Pemusatan pikiran, sebenarnya merupakan dasar penting untuk
menuju tingkat awal pandangan terang, dengan membebaskan pikiran dari
kotoran-kotoran dan rintangan batin; tapi pandangan terang adalah yang langsung
membawa ke salah satu tingkat kesucian. Pandangan terang, jika sudah timbul,
terusirlah kegelapan dari kebodohan (avijja) dan terbitlah cahaya
kebijaksanaan (panna).[39]
Konsentrasi
benar adalah diiringi dengan pikiran benar, daya upaya benar, perhatian benar.
Samadhi ini disebut Jhana, bertujuan untuk mencapai konsentrasi pikiran, dan
ketenangan.
Jhana
tingkat 1
Keadaan batin
terdiri dari lima corak, yaitu:
1. Usaha
untuk memegang objek (vittaka)
2. Pikiran
telah berhasil memegang objek dengan kuat (vicara)
3. Kegiuran
atau kenikmatan, karena telah terbebas dari tekanan perasaan (piti)
4. Kebahagiaan
yang tidak terhingga (Sukkha)
5. Pemusatan
pikiran yang kuat (cittekaggata)
Jhana
tingkat 2
1. Kegiuran
atau piti
2. Kebahagiaan
atau sukkha
3. Pemusatan
pikiran yang kuat atau Cittekaggata
Jhana
tingkat 3
1. Kebahagiaan
atau sukkha
2. Pemusatan
pikiran atau Cittekaggata
Jhana
tingkat 4
Semua perasaan
lenyap, batin seimbang dan pikiran terpusat/manunggal atau upekkha dan
cittekaggata.
Setelah
mencapai Jhana tingkat 4, penganut agama Buddha yang mulia dapat
memperkembangkan tenaga-tenaga batin, ialah Abhinna, yang terdiri dari:
1. Tenaga
batin duniawi atau lokiya abhinna
Ø Kekuatan
magis (iddhividha) yang terdiri dari:
·
Iddhitana iddhi:
dengan kekuatan kehendak dapat merubah tubuh sendiri dari satu menjadi banyak
atau dari banyak kembali menjadi satu
·
Vikkubhana
iddhi: kemampuan untuk menyalin rupa, (seperti menyalin rupa seperti anak
kecil, raksasa, membuat diri menjadi tidak tertampak)
·
Manomaya iddhi:
kemampuan menciptakan dengan menggunaan pikiran, umpamanya menciptakan harimau,
pohon, dan sebagainya.
·
Hanavipphara
iddhi: kekuatan menembus ajaran.
·
Samadhivipphara
iddhi: konsentrasi lebih jauh:





Ø Telinga
batin (dibbasota), ialah kemampuan untuk mendengar suara-suara dari alam-alam
manusia dewa, yang jauh maupun yang dekat.
Ø Mata
batin (dibbacakkhu), ialah kemampuan untuk melihat alam-alam dan berkesanggupan
melihat lenyap – muncul – lenyapnya makhluk yang menitis sesuai dengan kammanya
masing-masing.
Ø Kemampuan
untuk membaca pikiran makhluk-makhluk lain atau cetopariyanana.
Ø Kemampua
untuk mengingat penitisan-penitisan yang lampau atau pubbenivasanussati.
2. Tenaga
bathin luhur atau lokuttara abhinna
Ø Kemampuan
untuk memusnahkan arus-kekotoran batin (asava) atau asavakkhaya.
Lokkiya
abhinna dapat dimiliki puthujjana, tapi lokuttara abhinna hanya dimiliki oleh
para arahat karena dengan lenyapnya semua asava berarti dicapainya arahat.
Dalam kitab Visuddhi Magga pasal XII membentangkan latihan-latihan untuk
memperoleh iddhi.[40]
Tiga faktor ini adalah faktor untuk pengembangan
kebijaksanaan melalui pemurnian batin. Faktor-faktor ini jika dilatih,
memungkinkan seseorang untuk memperkuat dan mengendalikan batin, dan karena itu
memastikan tindakannya akan terus baik dan batinnya dipersiapkan untuk
menyadari kebenaran, yang akan membuka pintu menuju keterbatasan, menuju
pencerahan.[41]
Pandangan
benar dijelaskan sebagai mengetahui pengetahuan akan empat kebenaran mulia.
Dengan kata lain, hal ini adalah pemahaman sesuatu sebagaimana adanya.
Pandangan benar juga berarti bahwa seseorang memahami sifat karma yang
bermanfaat (baik) dan karma yang tidak bermanfaat (buruk), dan bagaimana hal
itu dapat dilakukan oleh pikiran, ucapan, dan tubuh. Dengan memahami karma,
seseorang akan belajar untuk memantang keburukan dan melakukan kebaikan , demi
menciptakan hasil yang diinginkan dalam hidup. Jika seseorang memiliki
pandangan benar, ia juga memahami tiga sifat keberadaan (bahwa segala hal yang
terkondisi adalah tak tetap, tak memuaskan, dan tiada diri) dan memahami
musabab yang saling bergantung. Seseorang dengan pandangan benar yang sempurna
adalah orang yang bebas dari ketaktahuan, dan dengan sifat pencerahan itu
menyingkirkan akar keburukan dari batinnya yang menjadi terbebas. Tujuan mulia
umat Buddha adalah mengembangkan batin untuk memperoleh pandangan benar tentang
diri sendiri, kehidupan, dan semua fenomena.[45]
Pandangan benar
ini adalah:
1. Menembus
empat kasunyatan
2. Menembus
tiga corak umum, ialah barang siapa menyelami, bahwa bentuk jasmani (rupa),
perasaan (vedana), pencerapan (sanna), bentuk-bentuk mental (sankhara) dan
kesadaran (vinnana) adalah fana, terpengaruh oleh derita dan tanpa diri
(anatta), dialah orangnya yang memiliki pandangan benar.
3. Menembus
pokok permulaan sebab akibat yang saling bergantungan, ialah sesungguhnya,
barangsiapa menembusnya, dialah orangnya yang menembus kesunyatan; dan
barangsiapa menembus kesunyatan, dialah orangnya yang menembusnya.
Untuk pandangan benar duniawi:
Memberi, sedekah,
bermurah hati adalah tidak sia-sia, sesungguhnya terdapat buah dan akibat dari
perbuatan-perbuatan baik dan buruk. Berbakti pada orang tua menghasilkan
pahala, di alam-alam luhur terdapat makhluk-makhluk yang lahir dengan spontan. Di
dalam dunia terdapat petapa-petapa dan pandita yang tanpa noda serta sempurna,
yang dapat menerangkan hidup sekarang dan hidup kemudian yangv telah mereka
selami.
Untuk pandangan benar luhur:
Kebijaksanaan,
penembusan, pandangan benar yang berhubungan dengan Ariya Atthangika Magga,
batin berpaling dari dunia dan dihubungi dengan jalan suci yang ditempuh,
inilah pandangan benar luhur.
Hubungan dengan ruas jalan:
Ø Pandangan
benar: menyelami pandangan salah sebagai salah dan pandangan benar sebagai
benar
Ø Daya
upaya benar: berdaya untuk mengatasi pandangan salah dan membina pandangan
benar
Ø Perhatian
benar: mengatasi pandangan salah dengan pikiran sadar serta memiliki pandangan
benar dengan pikiran sadar.[46]
Jika
seseorang memiliki pandangan benar, ia mengembangkan perniatan benar juga.
Faktor ini kadang-kadang disebut sebagai pemikiran benar, kehendak benar, atau
gagasan benar. Hal ini mengacu pada keadaan batin yang melenyapkan ide atau
gagasan yang salah dan meningkatkan faktor moral lainnya untuk diarahkan menuju
Nibbana. Faktor ini memberikan tujuan ganda, yaitu melenyapkan perniatan buruk
dan mengembangkan perniatan murni. Perniatan benar penting karena niatlah yang
memurnikan atau mengotori seseorang.
Ada
tiga aspek perniatan benar. Pertama, seseorang sebaiknya memelihara sikap
ketaklekatan pada kesenangan duniawi alih-alih melekat secara egois
terhadapnya. Ia sebaiknya tidak mementingkan diri sendiri dan memikirkan
kesejahteraan pihak lain. Kedua, seseorang sebaiknya memelihara cinta kasih,
niat baik, dan kebajikan dalam batinnya, yang merupakan lawan kebencian, niat
buruk, dan kejahatan. Ketiga, seseorang sebaiknya berniat untuk tidak menyakiti
atau berwelas terhadap semua makhluk, yang merupakan lawan kekejaman dan kurang
tenggang rasa terhadap pihak lain. Saat seseorang maju dalam jalan spiritual,
batinnya akan semakin jadi bajik, tidak menyakiti, tidak memntingkan diri
sendiri, dan dipenuhi cinta dan kewelasan.[49]
Pikiran Benar
atau Samma Sankappa adalah:
Untuk pikiran
Benar Dunia (Lokkiya Samma Sankappa) adalah:
Ø Pikiran
yang bebas dari hawa nafsu (nekhama sankappa)
Ø Pikiran
yang bebas dari kebencian (avyapada sankappa)
Ø Pikiran
yang bebas dari kekejaman (avihimsa sankappa)
Untuk pikiran benar luhur (Lokuttara
Samma Sankappa):
Pemikiran,
pertimbangan, pembahasan yang berpaling dari dunia, batin yang suci berhubungan
dengan jalan suci yang ditempuh.
Hubungan dengan Ruas Jalan adalah:
Ø Pandangan
benar: menyelami pikiran salah sebagai salah, dan pikiran benar sebagai benar
Ø Daya
upaya benar: berdaya untuk mengatasi pikiran jahat dan membina pikiran benar
Ø Perhatian
benar: mengatasi pikiran jahat dengan sadar serta dengan sadar memiliki pikiran
benar.
Jalan duniawi (Lokiya
Magga) ditempuh oleh para Puthujjana dan menghasilkan buah-buah kamma duniawi
yang baik. Akan tetapi Jalan Ssuci (Lokuttara Magga) ditempuh oleh parra Ariya
puggala dan menghasilkan kesucian, bahkan pembebasan dari derita.[50]
Disiplin mengatur
kata-kata dan perbuatan; konsentrasi mengawasi pikiran; tetapi pandangan terang
(panna), langkah ketiga dan terakhir, yang memungkinkan seseorang calon
pencapai kesucian untuk menghancurkan semua kekotoran yang ditenangkan oleh
samadhi.
Pada mulanya ia
mengembangkan “pandangan yang bersih” (ditthivisuddhi) dalam rangka melihat
segala sesuatu sebagai mereka adanya. Dengan pikiran terpusat ia menganalisa
dan menguji apa yang disebut makhluk. Pengujian ini menunjukkan apa yang ia
sebut “sku”, (pribadi), hanyalah perpaduan kompleks dari batin dan jasmani yang
selalu dalam keadaan mengalir. Setelah seseorang mencapai pandangan benar dari
sifat sesungguhnya yang disebut makhluk, bebas dari paham suatu jiwa yang
kekal, ia mencari sebab dari pribadi, “sang aku”. Ia menyadari bahwa tiada apapun
di dunia yang tidak disyarati oleh sebab atau sebab-sebab tertentu, masa lampau
atau sekarang, dan keberadaannya saat ini karena ketidak-tahuan (avijja),
nafsu keinginan (tanha), kemelekatan (upadana) yang lalu, Kamma
dan makanan jasmani pada saat ini. Karena ke lima sebab ini apa yang disebut
makhuk muncul dan karena sebab-sebab masa lalu telah membentuk keadaan
sekarang, jadi keadaan saat ini akan membentuk masa yang akan datang. Dengan
bermeditasi, ia mengatasi semua keraguan berkenaan dengan masa lalu, saat ini
dan yang akan datang. Selanjutnya ia merenungkan kesunyataan bahwa semua benda
semua benda bersyarat tidak kekal (annica), terkena penderitaan (dukkha),
dan kosong dari satu jiwa yang abadi (anatta). Kemanapun ia mengarahkan
pandangan mata ia tidak melihat apapun kecuali tiga ciri utama yang tampak
nyata. Ia menyadari bahwa kehidupan hanyalah keadaan yang mengalir oleh
sebab-sebab dari dalam dan luar. Dimanapun tidak ia dapatkan ketenangan sejati,
karena segala sesuatu dalam keadaan berubah. Karena ia merenungkan sifat
kehidupan dengan cara itu dan larut dalam meditasi, diluar dugaannya, tiba saat
ketika ia menjadi saksi dari satu cahaya (dukkha) yang dipancarkan oleh
dirinya. Ia merasakan kenikmatan, kebahagiaan, dan ketenangan yang tak terbandingkan.
Ia mengembangkan kesenangan pada keadaan batin ini. Segera kesadaran datang
bahwa perkembangan baru adalah ini adalah rintangan pada kemajuan moral, dan ia
mengembangkan kejelasan pengetahuan berkenaan dengan sang jalan dan bukan
jalan.
Dengan mengamati jalan
yang benar, ia memulai lagi meditasinya pada munculnya (udaya nana) dan
lenyapnya (vaya nana) semua benda bersyarat. Dari dua keadaan itu, yang
terakhir menjadi lebih mengesankan bagi batin karena perubahan lebih nyata
daripada pemunculan. Oleh karena itu ia mengarahkan perhatiannya untuk
merenungkan hancurnya benda-benda (bhanga nana). Ia mengamati bahwa baik
batin maupun jasmani yang membentuk apa yang disebut makhluk dalam keadaan
selau berubah, tidak tepat sama dalam dua saat yang berurutan. Padanya muncul
pengetahuan bahwa semua benda yang hancur adalah menakutkan (bhaya nana).
Seluruh dunia tampak padanya seperti setitik lobang bara api yang merupakan
satu sumber bahaya. Selanjutnya ia merenungkan tentang kesengsaraan dan
kekosongan (adhinava nana) dunia yang menakutkan dan kotor, serta
memperoleh perasaan jijik (nibhida nana) diikuti oleh kehendak kuat
unutk bebas dari padanya (muncitukamyata nana). Dengan pandangan ini, ia
mengamati meditasinya pada tiga ciri utama dari ketidak kekalan, penderitaan
dan ketiadaan jiwa (pati sankha nana), dan setelah itu mengembangkan
keseimbangan penuh terhadap semua benda bersyarat- tidak mempunyai kemelekatan
maupun keenganan terhadap obyek duniawi yang manapun (upekkha nana).
Dengan mencapai titik perkembangan spiritual ini, ia memilih salah satu dari
tiga ciri utama sebagai obyek khusus dari usahanya dan dengan tekun
mengembangkan pandangan terang pada arah itu sampai hari yang agung ketika ia
untuk pertama kali memahami Nibbana, tujuannya yang tertinggi. Ketika orang ini
menyadari Nibbana pertama kali disebut Sotapanna, ia memasuki arus yang
membimbing menuju ke Nibbana untuk pertama kali. Arus itu mewakili jalan Ariya
Berunsur Delapan. Seorang pemenang arus bukan lagi orang biasa (puthujanna),
tetapi orang Ariya (mulia).[51]
Adapun tingkata-tingkatan
kesucian ialah:[52]
Sotapana
|
Sakadagami
|
Anagami
|
Arahat
|
Ialah orang suci tingkst pertama
|
Ialah orang suci tingkat kedua
|
Ialah orang suci tingkat ketiga
|
Ialah orang suci tingkat ke empat
|
Mematahkan tiga belenggu:Sakyaditti, Vikiccha,
silabbataparamasa
|
Mematahkan 3 belenggu sotapana dan
melemahkan belenggu anagami : kamaraga, patigha
|
Mematahkan 3 belenggu sotapana dan 2
belenggu anagami. Jadi ia mematahkan 5 belenggu
|
Mematahkan 5 belenggu anagami dan lima
belenggu yang lain lagi. Jadi ia mematahkan 10 belenggu
|
Akan lahir tujuh kali lagi
|
Akan lahir satu kali lagi
|
Akan lahir satu kali lagi
|
Terbebas dari kelahiran dan kematian
|
Adapun sepuluh belenggu
(samyojana) diatas ialah:[53]
No.
|
Belenggu
|
Keterangan
|
1
|
Sakkayaditthi
|
Kepercayaan adanya Atta/diri yang
kekal dan terpisah
|
2
|
Vicikiccha
|
Keraguan terhadap YMS Gotama dan
ajarannya
|
3
|
Silabattaparamasa
|
Kepercayaan tahayul, bahwa upacara
sembahyang tak dapat membebaskan manusia dari segala derita
|
4
|
Kamaraga (kamachanda)
|
Nafsu, birahi
|
5
|
Patigha (vyapada)
|
Dendam
|
6
|
Ruparaga
|
Nafsu untuk hidup di alam halus yang
bermateri
|
7
|
Aruparaga
|
Nafsu untuk hidup di alam halus yang
tanpa materi
|
8
|
Mana
|
Ketinggian hati/kesombongan
|
9
|
Uddhaca
|
Kegelisahan
|
10
|
Avijja
|
Ketidaktahuan/ kebodohan batin
|
Pada waktu mencapai
tingkat pertama dari kesucian, ia menghancurkan tiga belenggu (samyojana)
yang mengikatnya pada kelahiran yaitu:
1. Sakkaya
dithi: sati+kaya+ditthi – secara harfiah, pandangan ketika sekelompok atau
perpaduan berada. Kaya menunjuk pada kelima kelompok jasmani, perasaan,
persepsi, keadaan mental, dan kesadaran. Pandangan bahwa ada kesatuan yang
tidak berubah, satu jiwa yang kekal, ketika ada perpaduan kompleks dari unsur
batin dan jasmani, ia disebut sakkaya-ditthi.
Dhammasangani menyebutkan dua puluh jenis teori jiwa semacam itu.
Sakkaya-ditthi biasanya diterjemahkan sebagai khayalan pribadi, teori tentang
pribadi, atau khaylan tentang aliran pribadi.
2. Vicikiccha:
keragu-raguan. Mereka adalah keragu-raguan tentang Sang Buddha, Dhamma, Sangha,
aturan tata kedisiplinan (sikkha), masa lalu, masa yang akan datang, baik masa
lalu maupun masa yang akan datang, dan sebab musabab yang saling bergantungan
(paticca samupada).
3. Silabbataparamasa:
kemelekatan (yang salah) pada ritual dan upacara.
Dhammasangani
menerangkan hal itu sebagai berikut, “Ia merupakan teori yang dipegang oleh
para pertapa dan Brahim diluar ajaran ini bahwa kesucian dicapai dengan aturan
tindakan moral dan upacara.
Untuk mengahancurkan
sisa tujuh belenggu yang lain seorang Sotapanna bertumimbal lahir paling banyak
tujuh kail. Ia memperoleh keyakinan penuh pada Sang Buddha, Dhama dan Sangha.
Ia dengan alasan apapun tak akan melanggar Lima Sila yang manapun. Ia tidak
akan bertumimbal lahir dalam keadaan sengsara karena ia pasti mencapai
penerangan. Si peziarah suci menyempurnakan pandangan terangnya untuk menjadi
seorang sakadagami (Yang hanya kembali satu kali saja), tingkat kesucian yang
kedua, dengan melemahkan dua belenggu lagi yaitu nafsu keinginan indriya
(Kamaraga) dan keinginan jahat (patigha). Sekarang ia disebut Ia yang Hanya
Kembali Satu Kali saja di dalam manusia seandainya ia tidak dapat mencapai
tingkat kesucian Arahat pada kehidupan itu juga. Sangatlah menarik untuk
dicatat bahwa para makhluk suci yang telah mencapai tingkat kesucian ke dua
hanya dapat melemahkan dua belenggu yang kuat itu yang mengikatnya, sejak waktu
lampau yang tak terkira. Kadang-kadang walaupun sangat jarang, ia dapat
dikuasai pikiran penuh nafsu dan kemarahan. Dengan mencapai tingkat kesucian
ketiga, yaitu Anagami (Yang sudah tidak kembali), ia lengkap menghancurkan dua
belenggu tadi. Setelah itu ia tidak kembali di dunia ini maupun alam surgawi
lain, karena ia telah mencabut keinginan untuk memuaskan indria. Setelah
kematiannya ia bertumimbal lahir di Alam Yang Murni (Suddhavasa), satu
lingkungan khusus untuk para Anagami. Di sana ia mencapai tingkat Arahat dan
hidup sampai akhir hayatnya. Ketika seorang umat awam menjadi seorang Anagami,
ia menjalankan kehidupan selibat.
Para Anagami sekarang
membuat kemajuan terakhir dan menghancurkan sisa lima belenggu yaitu kemelekata
pada alam yang berbentuk (ruparaga), kemelekatan pada alam yang tidak berbentuk
(aruparaga), kesombongan (mana), keresahan (uddhacca) dan ketidaktahuan
(avijja) mencapai tingkat Arahat, yaitu jenjang terakhir kesucian.
Pemasuk Arus, Yang
hanya kembli satu kali saja, dan yang sudah tidak kembali disebut sekha karena
mereka belum menyelesaikan latihan. Arahat disebut Aseka (Mahir) karena mereka
sudah tidak menjalani latihan apapun.
Arahat, secara harfiah
Yang Berharga, tidak bertumimbal lahir lagi karena ia tidak menimbun Kamma
baru. Benih pembuahannya sudah dihancurkan semua. Arahat memahami bahwa hal
yang harus diselesaikan tela dikerjakan, beban berat dukacita akhirnya sudah
dilepaskan, dan semua bentuk kerinduan dan semua bayangan atau ketidak tahuan
sudah dihilangkan sama sekali. Tumimbal lahir tak dapat mengenai dirinya lagi
karena tidak ada lagi benih pembuahan dibentuk oleh kegiatan Kamma yang baru.
Walaupun sebagai Arahat
ia tak bebas sepenuhnya dari penderitaan jasmani, karena pengalaman
kebahagiaan. Kebebasan hanyalah berselang-seling demikian pula ia belum
melepaskan badan jasmaninya. Seorang Arahat disebut Asekha, yaitu ia yang sudah
tidak menjalani latihan, karena ia sudah menjalani kehidupan suci dan sudah
menyelesaikan sasarannya. Para suci lain dari tingkat Sotapatti sampai tingkat
jalur Arahat sisebut Sekha karena masih menjalani latihan.
Dapat disebutkan bahwa
dalam hubungan ini para Anagami dan Arahat yang sudah mengembangkan Rupa dan
Arupa Jhana dapat mengalami kebahagian Nibbana tanpa terputus selama tujuh
hari, bahkan dalam kehidupan itu juga. Dalam bahasa Pali ini dikenal sebagai
Niroddha Samapatti. Seorang Ariya, dalam keadaan ini,seluruhnya bebas dari rasa
sakit, dan semua kegiatan mentalnya ditunda. Aliran kesadarannya berhenti
mengalir untuk sementara.
Berkenaan dengan
perbedaan antara orang yang telah mencapai Nirodha Samapatti dan orang mati,
dalam Visuddhi Magga disebutkan, tidak hanya kekuatan plastis dari tubuh (yaitu
pernafasan), pembicaraan dan pikiran diam tak bergerak, tetapi tenaga hidup
juga habis, panas padam, dan unsur-unsur indria rusak, sedangkan pada Bhikku
dalam kebahagiaan yang amat sangat tenaga hidup ada, jantung bekerja, dan
unsur-unsur indria jelas, walaupun pernafasan, pengamatan, dan pemahaman diam
dan tidak bergerak.
Menurut agama Buddha,
dalam istilah konvensional, inilah bentuk kebahagiaan tertinggi yang mungkin
ada dalam kehidupan sekarang.[54]
C.
Macam-Macam
Nibbana
Sesungguhnya
ini bukan macam Nibbana, karena hanya ada satu Nibbana. Perbedaan namanya
sesuai dengan cara dicapainya, yaitu sebelum atau sesudah kematian.
Menurut pencapaiannya, Nibbana ada
dua macam, yaitu:
1.
Sa- Upadisesa Nibbana
Yaitu
nibbana masih bersisa, yang dapat dicapai dalam kehidupan sekarang ini juga.
Yang dimaksud dengan bersisa di sini adalah masih adanya Lima Khanda. Ketika
Pertapa Gotama mencapai Penerangan Sempurna dan menjadi Buddha, Beliau
dikatakan telah dapat mencapai Sa-upadisesa-Nibbana tetapi masih memiliki Lima
Khanda (jasmani, kesadaran, bentuk pikiran, pencerapan dan perasaan).[55]
Adapun Panca Khanda diantaranya:[56]
Ada dua bagian
utama, yaitu:
1. Rupa
atau jasmani
2. Nama
atau bathin.
Panca Khanda
terdiri dari:
1. Rupa
: bentuk, tubuh, badan jasmani.
2. Vinana
: kesadaran
3. Sanna
: pencerapan
4. Sankara
: pikian, bentuk-bentuk mental
5. Vedana
: perasaan.
Sa-upadisesa-Nibbana
juga dapat dikatakan sebagai kondisi batin (state of mind) yang murni, tenang,
dan seimbang.[57] Mereka
yang mencapai Nibbãna, dengan batin yang telah bebas, tapi karena jasmaninya
masih ada, maka dia masih menjadi obyek penderitaan jasmaniah.[58]
2.
An- Upadisesa Nibbana
Yaitu
nibbana tanpa sisa. Setelah meninggal dunia, seorang Arahat akan mencapai
anupadisesa-nibbana, ialah Nibbana tanpa sisa atau juga dinamakan Parinibbana,
dimana tidak ada lagi Lima Khanda (jasmani, kesadaran, bentuk pikiran,
pencerapan dan perasaan), tidak ada lagi sisa-sisa dan sebab-sebab dari suatu
bentuk kemunculan. Sang Arahat telah beralih ke dalam keadaan yang tidak dapat dilukiskan
dengan kata-kata. Hal ini dapat diumpamakan dengan padamnya api dari sebuah
pelita, kemanakah api itu pergi ? Hanya satu jawaban yang tepat, yaitu ‘tidak
tahu’. Ketika Guru Buddha mangkat /wafat, Beliau dikatakan telah mencapai
anupadisesa-nibbana.[59]
Lalu setelah mereka mati, batin juga dibebaskan dari penderitaan
jasmaniah dan seorang mencapai Nibbãna sempurna.[60]
Bagaimana
jika seseorang telah meninggal namun belum mencapai nibbana? Ada pernyataan
bahwa:
“Anggapan
bahwa alam setelah manusia mati nanti, baik menuju ke alam menyedihkan maupun
membahagiakan adalah kekal-abadi, mutlak keliru. Karena, masing-masing alam
tersebut mempunyai masa / waktu hidup sendiri-sendiri, dan setelah masa waktu
untuk hidup di salah satu alam tersebut habis, maka semua makhluk yang belum
mencapai “Kebebasan-Sempurna” ( Nibbana ) akan melanjutkan hidupnya di
alam-alam yang lain.”[61]
Ada 31alam
kehidupan yang terdiri dari:[62]
a. 11 Kamma
Bhumi yaitu 11 alam kehidupan dimana makhluk-makhluknya masih senang dengan
nafsu-nafsu indera dan terikat dengan panca indera
b. 16 Rupa
Bhumi yaitu 16 alam kehidupan yg makhluk-makhluknya mempunyai Rupa Jhana
c. 4 Arupa
Bhumi yaitu 4 alam kehidupan yg makhluk-makhluknya mempunyai Arupa Jhana
Beberapa
alam tersebut ialah:
No.
|
11 Kamma
Bhumi
|
16 Rupa
Bhumi
|
4 Arupa
Bhumi
|
|
a.
Niraya Bhumi (alam neraka) terbagi menjadi beberapa kelompok di antaranya ada
yg disebut kelompok Maha Neraka 8 (sanjiva neraka, kalasutta neraka, sanghata
neraka, roruva neraka, maharoruva neraka, tapana neraka, mahatapana neraka,
avici neraka).
b. Tiracchana Bhumi (alam binatang). Binatang berkaki terbagi menjadi 4 kelompok yaitu: 1) Apadatiracchana yaitu kelompok binatang yg tidak mempunyai kaki 2) Dvipadatiracchana yaitu kelompok binatang yg berkaki 2 3) Catupadatiracchana yaitu kelompok binatang yg berkaki 4 4) Bahuppadatiracchana yaitu kelompok binatang yg berkaki banyak c. Peta Bhumi (alam setan) terdiri dari beberapa kelompok yg disebut peta 4, peta 12 dan peta 21(dibahas tersendiri) d. Asurakaya Bhumi (alam raksasa) terdiri dari: 1) Deva asura yaitu kelompok dewa yg disebut asura 2) Peta asura yaitu kelompok setan yg disebut asura 3) Niraya asura yaitu kelompok makhluk neraka yg disebut asura 2. Kamasugati Bhumi 7 (7 alam kehidupan nafsu yg menyenangkan) yaitu: a. Manussa Bhumi (alam manusia) b. Catummaharajika Bhumi (alam 4 raja dewa: Dhatarattha, Virulaka, Virupakkha & Kuvera) terbagi dalam 3 kelompok yaitu: 1) Bhumamattha Devata yaitu para dewa yg berdiam di atas tanah (di gunung, sungai, laut, rumah, vihara,dll) 2) Rukakkhattha Devata yaitu para dewa yg berdiam di atas pohon 3) Akasattha Devata yaitu para dewa yg berdiam di angkasa (di bulan, bintang,dll) c. Tavatimsa Bhumi (alam 33 dewa). Disebut alam 33 dewa karena dahulu kala ada sekelompok pria yg berjumlah 33 orang yg selalu bekerja sama dalam berbuat kebaikan. Sewaktu mereka meninggal dunia semuanya terlahir dalam satu alam dewa. d. Yama Bhumi (alam dewa Yama). Para dewa di alam ini terbebas dari kesulitan, yg ada hanya kesenangan. e. Tusita Bhumi (alam kenikmatan). Para dewa di alam ini terbebas dari "kepanasan hati", yg ada hanya kesenangan dan kenikmatan f. Nimmanarati Bhumi (alam yg menikmati ciptaannya). Para dewa di alam ini menikmati kesenangan panca inderanya dari hasil ciptaannya sendiri. g. Paranimmitavasavatti Bhumi (alam dewa yg menyempurnakan ciptaan dewa lain). Para dewa di alam ini di samping menikmati kesenangan panca indera juga mampu membantu menyempurnakan ciptaan dewa2 lainnya. |
1.
Pathama Jhana Bhumi 3 (3 alam kehidupan Jhana pertama) yaitu:
a. Brahma Parissaja Bhumi (alam pengikut2nya Brahma) b. Brahma Purohita Bhumi (alam para menterinya Brahma) c. Maha Brahma Bhumi (alam Brahma yg besar) 2. Dutiya Jhana Bhumi 3 (3 alam kehidupan Jhana kedua) yaitu: a. Brahma Parittabha Bhumi (alam para brahma yg kurang cahaya) b. Brahma Appamanabha Bhumi (alam para Brahma yg tak terbatas cahayanya) c. Brahma Abhassara Bhumi (alam para Brahma yg gemerlap cahayanya) 3. Tatiya Jhana Bhumi 3 (3 alam kehidupan Jhana ketiga) yaitu: a. Brahma Parittasubha Bhumi (alam para Brahma yg kurang auranya) b. Brahma Appamanasubha Bhumi (alam para Brahma yg tak terbatas auranya) c. Brahma Sibhakinha Bhumi (alam para Brahma yg auranya penuh & tetap) 4. Catuttha Jhana Bhumi 7 (7 alam kehidupan Jhana keempat) yaitu: a. Brahma Vehapphala Bhumi (alam para Brahma yg besar pahalanya) b. Brahma Asannasatta Bhumi (alam para Brahma yg kosong dari kesadaran) c. Alam Suddhavasa 5 (5 alam kediaman yg murni) terdiri dari: 1) Brahma Aviha Bhumi (alam para Brahma yg tidak bergerak atau alam bagi Anagami yg kuat dalam keyakinan/saddhindriya) 2) Brahma Atappa Bhumi (alam para Brahma yg suci atau alam bagi Anagami yg kuat dalam usaha/viriyindriya) 3) Brahma Sudassa Bhumi (alam para Brahma yg indah atau alam bagi Anagami yg kuat dalamkesadaran/satindriya) 4) Brahma Sudassi Bhumi (alam para Brahma yg berpandangan terang atau alam bagi Anagami yg kuat dalam konsentrasi/samadindriya) 5) Brahma Akanittha Bhumi (alam para Brahma yg luhur atau alam bagi Anagami yg kuat dalam kebijaksanaan/pannindriya) |
1. Akasanancayatana
Bhumi (keadaan dari konsepsi ruangan tanpa batas)
2. Vinnanancayatana Bhumi (keadaan dari konsepsi kesadaran tanpa batas) 3. Akincannayatana Bhumi (keadaan dari konsepsi kekosongan) 4. Nevasannanasannayatana Bhumi (keadaan dari konsepsi bukan pencerapan maupun bukan tidak pencerapan) |
D.
Manfaat dari
Sila, Samadhi, dan Panna
1.
Hasil dari pelaksanaan Sila ialah diperolehnya kesucian Sila atau Silavisuddhi
(kesucian pikiran, ucapan, dan perbuatan). Dengan begitu orang melaksanakan
Sila, akan dapat mengendalikan tanha untuk kemudian menjadi seorang manusia
yang hidupnya susila.
2.
Hasil pelaksanaan Samadhi ialah diperolehnya kesucian batin atau Cittavisuddhi
(kesadaran/batin yang bebas dari kekotoran-kekotoran). Dengan melaksanakan
samadhi, akan dapat melemahkan kekuatan tanha dengan menjalankan sila. Karena
Sila tanpa Samadhi adalah sulit untuk dapat berhasil dalam melakukan perbuatan
yang susila. Tapi Samaditanpa Sila tidak akan berhasil. Karena itu, keduanya
harus dijalankan bersama-sama.
3.
Hasil pelaksanaan Panna, ialah diperolehnya kesucian pandangan atau
Ditthivisuddhi (melihat segala sesuatunya dalam kewajaran dari anicca,dukkha,
dan anatta). Bila Sila dan Samadhi tercapai sempurna, maka tercapailah
Panna. Panna gunanya untuk melenyapkan
tanha yang menjadi sebab utama terjadinya penderitaan jasmani-rohani.
Berhasilnya Panna diperoleh, Sila dan Samadhi sekaligus telah dijalankan. Maka
avijja, asava, dan tanha dapat dibasmi.[63]
E.
Tiga jalan
Tengah dan hubungannya dengan kekotoran bathin (Asava)
Terdapat
tiga lapisan kekotoran batin pada diri manusia:
1. Lapisan
pertama : kekotoran yang tercetus dalam ucapan dan perbuatan badan, tapi tersimpan
dalam sekali. Kekotoran ini dinamakan Anusaya. Kekotoran batin lapisan pertama
ini dapat diatasi dengan Panna.
2. Lapisan
kedua : kekotopran batin yang tersimpan sebagai akar kekotoran batin (Anusaya)
itu, bergerak ke tingkat pikiran, emosi dan perasaan yang dibangunkan oleh
suatu obyek, baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan. Kekotoran
batin pada lapisan kedua ini dinamakan kekotoran batin agak halus atau
Nivarana. Nivarana ini dapat diatasi dengan dengan Samadhi.
3. Lapisan
ketiga : kekotoran batin yang agak halus yang terdapat pada lapisan kedua akan
muncul ke permukaan, menjadi dahsyat dan tak terkendalikan. Kekotoran batin
lapisan ketiga ini adalah dinamakan kekotoran batin yang kasar menjadi noda
perbuatan atau Kilesa. Kekotoran batin lapisan ketiga (Kilesa) ini dapat diusir
dengan melakukan Sila.
Ketiga
lapusan kekotoran tersebut diatas adalah yang dinamakan Arus Kekotoran Batin
atau Asava.[64]
F.
Yang lenyap di
Nibbana
Orang yang telah
mencapai Nibbana dapat disebut “orang yang sempurna” seperti YMS Buddha Gotama.
Orang yang sempurna telah membuang semua ikatan, semua ikatan terhadap badan
jasmaninya, perasaannnya, pencerapan, bentuk- bentuk pikiranya dan kesadarannya
sampai ke akar-akarnya dan selanjutnya tidak dilahirkan kembali dalam
kehidupan. Sekarang orang yang sempurna setelah wafat, telah bebas dari ikatan
badan jasmaninya, perasaannya, bentuk pikirannya, dan kesadarannya. Orang yang
sempurna hanya dapat dilihat oleh orang yang melihat Dhamma, dan siapa yang
melihat orang sempurna ia melihat Dhamma. Demikianlah yang sempurna merupakan
badannya Dhamma dan bersatu dengan Sanghyang Adi Buddha.
G. Orang
yang telah mencapai Nibbana Bebas dari Lahir, Derita, Umur Tua, dan mati:
lobha, dosa, dan moha
Tiada lagi penderitaan
bagi mereka yang telah mencapai Nibbana, yang
telah terbebas dari penderitaan yang telah membebaskan diri dari segala
ikatan nafsu, yang telah memutuskan semua ikatan. Orang yang sempurna, sikapnya
toleran, seperti tanha, seperti ambang pintu yang menjalankan tugasnya, yang
bagaikan danau yang tidak berlumpur, manusia yang demikian tidak lagi terikat
oleh lingkaran Tumimbal lahir dan kematian.
Pikiran tenang, tutur
kata dan perbuatannya senantiasa dilakukan dengan tenang setelah ia mencapai
kebebasan melalui pengetahuan sejati dan menjadi tenang serta seimbang. Orang
sempurna telah bebas dari ketahyulan. Ia mengetahui yang tak diciptakan, yang
telah memutuskan semua nafsu keinginan. Dialah manusia yang paling luhur, suci
dari segala manusia.
Dimana saja bersemayam
orang suci, tempat itu pasti sangat menyenangkan, baik di kota, di kampung
maupun di dalam hutan, di laut maupun di darat. Cita-cita semua umat Buddha,
petama-tama ialah untuk mencapai tingkat kesucian, untuk menjadi manusia suci
atau Arahat, atau menjadi Bodhisattva untuk mencapai tingkat ke Buddhaan dan
Nibbana.[65]
Arahat melanjutkan hidup
pada saat ia telah mencapai Nibbana karena kekuatan kamma yang menghasilkan
kelahiran belum berakhir. Arahat hidup sepanjang rentang hidupnya tanpa
penambahan Kamma baru pada timbunannya, dan sama sekali tidak mempersoalkan
kematian.
Ketika Arahat telah
mati, ia telah hilang. Untuk mereka yang hilang, tercantum dalam Sutta Nippana, tidak ada bentuk apapun
yang dapat mereka katakan sebagai kehadirannya. Jika semua keadaan terputus
semua materi untuk didiskusikan juga terputus.[66]
PENUTUP
Jalan
menuju ke Nibbana adalah jalan tengah (Majjima Patipada) yang
menghindari ekstrim penyiksaan diri yang melemahkan kecerdasan dan ekstrim
pengumbaran nafsu yang menghalangi kemajuan moral.
Tidak
semua manusia memiliki kemampuan yang sama untuk seketika mencapai kematangan
spiritual. Buddha menjelaskan secara rinci Jalan Mulia Berfaktor delapan
untuk perkembangan bertahap cara hidup
spiritual dalam cara yang praktis.
Jalan
untuk mencapai Nibbana ada delapan cara, namun telah dikelompokkan menjadi
tiga, yaitu:
1.
Sila :
kesusilaan, meliputi perkataan benar, penghidupan benar, penghidupan benar.
2.
Samadhi:
keheningan, meliputi pengupayaan benar, penyadaran benar, pengheningan benar.
3.
Panna:
kebijaksanaan, meliputi pandangan benar dan perniatan benar.
Orang
yang telah mencapai Nibbana disebut orang yang sempurna. Tiada lagi penderitaan
bagi mereka yang telah mencapai Nibbana.
Macam-Macam
Nibbana:
1. Sa
– Upadisesa Nibbana
2. An
– Upadisesa Nibbana
Manfaat
Sila, Samadhi, dan Panna:
1. Sila:
kesucian Sila (kesucian pikiran, ucapan, dan perbuatan), dapat mengendalikan
tanha.
2. Samadhi:
kesucian batin (kesadaran/batin yang bebas dari kekotoran-kekotoran), dapat
melemahkan kekuatan tanha.
3. Panna
: kesucian pandangan (melihat segala sesuatunya dalam kewajaran dari
anicca,dukkha, dan anatta), melenyapkan tanha.
DAFTAR PUSTAKA
- Abhijato, Acharm Suchart, Kenikmatan inderawi adalah menykitkan
- Ali, Matius, Filsafat India, (Tangerang: Sanggar Luxor), 2010, cet. l,
- Dhammananda, Sri, Keyakinan Umat Buddha, (Kuala Lumpur:Ehipassiko Foundation), 2012
- Diputhera, Oka, Pedoman Penerangan Agama Buddha, (Jakarta: Yayasan Sariputra Sadono), 1977
- Mahatera, Ven Narada, Sang Budha dan ajaran-ajarannya, (Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama), 1992
- Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma
7. Forum
Wihara, Tingkat-Tingkat Kesucian, diakses pada 22 mei 2013, dari http://www.wihara.com/forum/ruang-dharma/13302-anusaya-methunasanyoga-vinnanathiti-visuddhi.html
8. Indonesiaindonesia,
31 alam dalam Buddha, diakses pada 27 Mei 2013, dari
http://indonesiaindonesia.com/f/34617-31-alam-kehidupan-agama-buddha/
9. Pustaka
Dhamma, Nibbana, diakses pada 09 April 2013, dari
http://tanhadi.blogspot.com/2012/02/bab-viii-nibbana.html
10. Samagi
Phala, Dhamma Vibhaga, diakses pada 27 Mei 2013, dari
http://www.samaggi-phala.or.id/naskah-dhamma/jilid-ii-kelompok-tiga/
- Wikipedia, Nirwana, diakses pada 11 maret 2013, dari file:///BUDHISME/nibbana%20wiki.htm
[1]
Mahatera, Ven Narada, Sang Budha dan
ajaran-ajarannya, (Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama), 1992, h. 191
[2]
Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 136
[3]
Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 12
[4]
Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 136
[5]
Diputhera, Oka, Pedoman Penerangan Agama Buddha, (Jakarta: Yayasan
Sariputra Sadono), 1977, h. 62
[6]
Dhammananda, Sri, Keyakinan Umat Buddha, (Kuala Lumpur:Ehipassiko
Foundation), 2012, h. 119
[7]
Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 136
[8]
Wikipedia, Nirwana, diakses pada 11 maret 2013, dari file:///BUDHISME/nibbana%20wiki.htm.
[9]
Dhammananda, Sri, Keyakinan Umat Buddha, h. 121
[10]
Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 119
[11]
Wikipedia, Nirwana, diakses pada 11 maret 2013, dari file:///BUDHISME/nibbana%20wiki.htm.
[12]
Dhammananda, Sri, Keyakinan Umat Buddha, h. 122
[13]
Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 120
[14]
Wikipedia, Nirwana, diakses pada 11 maret 2013, dari file:///BUDHISME/nibbana%20wiki.htm.
[15]
Dhammananda, Sri, Keyakinan Umat Buddha, h. 122-123
[16]
Mahatera, Ven Narada, Sang Budha dan
ajaran-ajarannya, h. 191-196
[17]
Forum Wihara, Tingkat-Tingkat Kesucian, diakses pada 22 mei 2013, dari http://www.wihara.com/forum/ruang-dharma/13302-anusaya-methunasanyoga-vinnanathiti-visuddhi.html
[18]
Mahatera, Ven Narada, Sang Budha dan
ajaran-ajarannya, h. 191-196
[19]
Mahatera, Ven Narada, Sang Budha dan
ajaran-ajarannya, h. 195
[20]
Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 120-121
[21]
Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 136
[22]
Dhammananda, Sri, Keyakinan Umat Buddha, h. 123-124
[23]
Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 121
[24]
Wikipedia, Nirwana, diakses pada 11 maret 2013, dari file:///BUDHISME/nibbana%20wiki.htm.
[25]
Dhammananda, Sri, Keyakinan Umat Buddha, h. 119
[26]
Dhammananda, Sri, Keyakinan Umat Buddha, h. 124
[27]
Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 121-122
[28]
Wikipedia, Nirwana, diakses pada 11 maret 2013, dari file:///BUDHISME/nibbana%20wiki.htm.
[29]
Dhammananda, Sri, Keyakinan Umat Buddha, h. 119
[30]
Dhammananda, Sri, Keyakinan Umat Buddha, h. 124-125
[32]
Vajirananavarorasa, prince, Dhamma Vibhaga, h. 21
[33]
Ali, Matius, Filsafat India, h. 170
[34]
Abhijato, Acharm Suchart, Kenikmatan inderawi adalah menykitkan, h. 125
[35]
Mahatera, Ven Narada, Sang Budha dan
ajaran-ajarannya, h. 200
[36]
Mahatera, Ven Narada, Sang Budha dan
ajaran-ajarannya, h. 197
[37]
Ali, Matius, Filsafat India, 170
[38]
Vajirananavarorasa, prince, Dhamma Vibhaga, h. 22
[39]
Ali, Matius, Filsafat India, 171
[40]
Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 123-124
[41]
Dhammananda, Sri, Keyakinan Umat Buddha, h. 123
[42]
Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 136
[43]
Wikipedia, Nirwana, diakses pada 11 maret 2013, dari file:///BUDHISME/nibbana%20wiki.htm.
[44]
Dhammananda, Sri, Keyakinan Umat Buddha, h. 119
[45]
Dhammananda, Sri, Keyakinan Umat Buddha, h. 120
[46]
Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 125-126
[47]
Wikipedia, Nirwana, diakses pada 11 maret 2013, dari file:///BUDHISME/nibbana%20wiki.htm.
[48]
Dhammananda, Sri, Keyakinan Umat Buddha, h. 119
[49]
Dhammananda, Sri, Keyakinan Umat Buddha, h. 120-121
[50]
Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 126
[51]
Mahatera, Ven Narada, Sang Budha dan
ajaran-ajarannya, h. 217-223
[52]
Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 37-39
[53]
Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 35
[54]
Mahatera, Ven Narada, Sang Budha dan
ajaran-ajarannya, h. 217-223
[55]
Pustaka Dhamma, Nibbana, diakses pada 09 April 2013, dari http://tanhadi.blogspot.com/2012/02/bab-viii-nibbana.html
[56]
Dhamma sari, Panca Khanda, diakses pada 22 mei 2013, dari http://bhagavant.com/home.php?link=dhamma_sari&n_id=54
[57]
Pustaka Dhamma, Nibbana, diakses pada 09 April 2013, dari http://tanhadi.blogspot.com/2012/02/bab-viii-nibbana.html
[58]
Pustaka Dhamma, Buku Pintar Agama Buddha, diakses pada 09 April 203,
dari http://tanhadi.blogspot.com/2011/03/buku-pintar-agama-buddha-n.html
[59]
Pustaka Dhamma, Nibbana, diakses pada 09 April 2013, dari http://tanhadi.blogspot.com/2012/02/bab-viii-nibbana. html
[60]
Pustaka Dhamma, Buku Pintar Agama Buddha, diakses pada 09 April 203,
dari http://tanhadi.blogspot.com/2011/03/buku-pintar-agama-buddha-n.html
[61]
Arsip Buddhism, Tabel Alam, diakses Indonesiaindonesia, 31 alam dalam
Buddha, diakses pada 27 Mei 2013, dari http://indonesiaindonesia.com/f/34617-31-alam-kehidupan-agama-buddha/pada
27 Mei 2013, dari http://bhalanetra.wordpress.com/31-alam/
[62]
Indonesiaindonesia, 31 alam dalam Buddha, diakses pada 27 Mei 2013, dari
http://indonesiaindonesia.com/f/34617-31-alam-kehidupan-agama-buddha/
[63]
Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 127
[64]
Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 127-128
[65]
Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 136-137
[66]
Mahatera, Ven Narada, Sang Budha dan
ajaran-ajarannya, h. 224
0 komentar:
Posting Komentar