Kamis, 08 November 2012

Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi Dalam Perbandingan Agama


1.      PENDAHULUAN
Ada yang berkata ilmu filsafat adalah suatu ilmu yang sempurna dan kompleks. Karena dalam filsafat lah semua ilmu-ilmu yang ada sekarang ini ia dikaji. Bahkan dari hakekat segala sesuatu, cara memperoleh pengetahuan itu sendiri, mengenai baik dan buruk, mengenai etika dan estetika, dan lain-lain. Maka dari itulah berikut ini penulis akan membahas tentang filsafat yang membahas tentang ontologi, epistimologi, dan aksiologi.
2.      PEMBAHASAN
A.    Pengertian Ontologi, Epistimologi, Aksiologi
Ontologi merupakan suatu kajian mengenai persoalan hakikat (nature), dan struktur ada. Menurut Aristoteles, ontologi pada dasarnya dimaksudkan untuk mencari makna ada dan struktur umum yang terdapat pada ada, struktur yang dinamakan kategori dan susunan ada.[1] Filsafat merupakan ilmu yang membahas segala sesuatu. Maka untuk memahami ontologi, perlulah kita mengetahsui istilah dasar yang digunakan dalam ontologi.
v  Yang Ada dan Yang Tiada
istilah “ada” boleh dikatakan senantiasa menunjuk suatu ciri yang melekat pada apa saja. bahkan pada segala sesuatu. oleh karena itu, ia merupakan pengertian yang paling umum dan paling bersahaja dari sifat-sifat yang manapun juga. adanya barang tersebut tidaklah menjadikan barang yang satu berbeda dengan barang yang lain. salah satu cara untuk dapat mengenal “ada” ialah dengan jalan menghubungkannya dengan ciri-ciri khas yang lain atau menetapkan ukuran tersebut bagi penetapannya. cara yang lain lagi ialah dengan menggambarkan serta mengadakan klasifikasi atas pelbagai jenis hal yang dapat diterapi prediket tersebut. tetapi dengan demikian berarti meliputi segenap kenyataan yang ada, “yaitu yang sungguh ada” (actual) dan yang mungkin ada (possible). Dan sehubungan dengan itu, Aristoteles memberikan definisi metafisika sebagai “ilmu pengetahuan mengenai yang-ada sebagai yang-ada”.
v  Kenyataan dan Kenampakan
Yang nyata ada pasti ada. untuk mengetahui makna “nyata”, pertama-tama apapun yang bersifat nyata pasti ada. Tapi sesuatu yang masih dalam kemungkinan ada kiranya sulit untuk dikatakan nyata. Namun kadang-kadang kita cenderung mengatakan bahwa yang-mungkin ada bersifat nyata, untuk membedakannya dengan yang-nampak ada yang bersifat tidak nyata.
perbedaannya ialah, kenampakan sebagai kenampakan bersifat nyata, sedangkan barangnya sendiri yang tampak demikian itulah yang tidak nyata. Misal: ada seseorang yang mengira bahwa ia melihat gajah berwarna jingga. Ilusinya itu sendiri bersifat nyata, karena membawa pengaruh tertentu terhadap pola tingkah-laku orang yang bersangkutan, tetapi barangnya sendiri, yaitu gajah yang berwarna jingga, itulah yang tidak nyata.[2]
Dalam penjelasan bapak Faris Pari ini terbagi dalam tiga, Fisik (materi) ini merupakan sesuatu yang bisa dilihat dengan mata(indrawi)atau konkrit. Misalnya, benda-benda yang ada di sekitar kita seperti kursi, spidol. Metafisik (imateri) ini merupakan hal yang tidak bisa di lihat dengan mata (yaitu abstrak), hal abstrak yang dimaksudkan di sisni ialah idea,akal, atau sikap rasional seseorang. Semimeta, yang ini merupakan suatu hal yang abstrak tetapi dapat di teliti atau diketahui melalui yang konkrit. Misal, gelombang, partikel-partikel kimia.
Epistimologi berasal dari kata episteme (pengetahuan) dan logos (ilmu). Berarti ilmu pengetahuan tentang pengetahuan. Ini berarti cara untuk memperoleh pengetahuan.[3] Pengetahuan dapat diperoleh melalui data-data indera, benda-benda memori, keadaan internal, diri kita sendiri, orang lain atau benda-benda fisik. Filsafat ilmu merupakan alat untuk melakukan telahaan tentang struktur ilmu.[4] Epistimologi berhubungan dengan hakikat dari ilmu pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dasar-dasarnya, serta pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki oleh setiap manusia. Pengetahuan tersebut diperoleh manusia melalui akal (rasionalisme) dan panca indera (empirisme).[5]
v  Rasionalisme, berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak pada akal. Bukan karena rasionalisme mengingkari pengalaman, melainkan pengalaman hanya dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. para rasionalis yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di dalam ide kita, dan bukannya di dalam diri barang sesuatu. Jika kebenaran mengandung makna mempunyai ide yang sesuai dengan atau yang menunjuk pada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal budi saja.
v  Empirisme, berpendirian bahwa memperoleh suatu pengetahuan itu melalui pengalaman. sifat yang menonjol dari jawaban ini dapat dilihat bila kita memperhatikan pertanyaan seperti “bagaimanakah orang mengetahui es membeku?” jawaban kita tentu akan berbunyi, “karena saya melihatnya dengan demikian itu” sama halnya denga itu, akan berbunyi, ”karena saya melihatnya demikian itu” atau “karena seorang ilmuan telah melihatnya demikian itu”. Ialah keadaan kita bersangkutan dengan “melihat” atau “mendengar” atau suatu pengalaman inderawi yang lain. Bagaimana kita mengetahui api itu panas? Dengan menggunakan alat-alat inderawi peraba. Dengan demikian anda memperoleh pengetahuan? dijawab dengan menunjukkan pengelaman-pengalaman inderawi yang sesuai. Menurut John Locke pengetahuan itu diperoleh melalui indera. Manusia dilahirkan akalnya merupakan sejenis buku catatan kosong, dan di dalam buku catatan itulah dicatat pengalaman-pengalaman inderawi. Menurut Locke, seluruh sisa pengetahuan kita diperoleh dengan jalan menggunakan serta memperbandingkan ide-ide yang diperoleh dari penginderaan serta refleksi yang pertama-tama dan sesderhana tersebut. Ia memandang akal sebagai sejenis tempat penampungan, yang secara pasif menerima hasil-hasil penginderaan tersebut. ini berarti semua penginderaan kita betapapun rumitnya dapat dilacak kembali sampai pada pengalman-pengalaman inderawi yang pertama-tama, yang dapat diibaratkan sebagai atom-atom yang menyusun obyek-obyek material. Apa yang tidak dapat atau tidak perlu dilacak kembali secara demikian itu bukanlah pengetahuan, atau setidak-tidaknya bukanlah pengetahuan mengenai hal-hal faktual.[6]
Macam-Macam bentuk Pengetahuan bagaimana cara kita memperoleh pengetahuan? Itu tergantung pada macam pengetahuan. I. Kant membedakannya  sebagai berikut:
v  yang analitis a priori yaitu merupakan pengetahuan yang dihasilkan oleh analisa terhadap unsur-unsur yang tidak berdasarkan pengalaman (pra pengalaman). Misal kita mengetahui bahwa semua benda bereksistensi, karena eksistensi tersirat di dalam definisi tentang benda. Semua benda bukanlah benda jika tidak bereksistensi.
v  yang sintesis a priori yaitu merupakan pengetahuan yang dihasilkan dari penyelidikan akal terhadap bentuk-bentuk pengalamannya sendiri dan  penggabungan unsur-unsur yang tidak saling bertumpu. Misal 7 + 5 = 12. Kant yakin bahwa sebagian besar kebenaran-kebenaran matematika bersifat sintesis a priori.
v  yang analitis a posteriori yaitu merupakan pengetahuan yang dihasilkan dari analisa yang merupakan akibat dari adanya pengalaman. Misal
v  sintesis a posteriori yaitu merupakan pengetahuan yang dihasilkan dari penyelidikan akal yang merupakan akibat dari adanya pengalaman. Misal pernyataan “meja itu bagus” disini predikat dihubungkan dengan subjek berdasakan pengalaman inderawi, karena dinyatakan setelah mempunyai pengalaman dengan aneka ragam meja yang telah diketahui. Pengetahuan sintesis a posteriori diperoleh setelah adanya pengalaman; pengetahuan ini merupakan bentuk pengetahuan yang empiris yang lazim.[7]
Aksiologi Secara etimologis, aksiologi berasal dari perkataan “axios” (Yunani) yang berarti “nilai”, dan logos yang berarti “teori”. Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai. Atau “aksiologi adalah teori nilai-nilai (value) sebagai tolak ukur kebenaran (ilmiah),etnik, dan moral sebagai dasar normatif dalam penelitian dan penggalian, serta penerapan ilmu. Jadi aksiologi adalah suatu teori tentang nilai yang berkaitan dengan bagaimana suatu ilmu digunakan.[8] Aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat nilai, pada umumnya ditinjau dari sudut pandangan kefilsafatan. Di dunia ini terdapat banyak cabang pengetahuan yang bersangkutan dengan masalah-masalah nilai yang khusus seperti, ekonomi, esetika, Etika, filsafat agama. Etika bersangkutan dengan masalah kebaikan (dalam arti kesusilaan), dan estetika bersangkutan dengan masalah keindahan.[9]

B.     Hubungan Antara Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi
Seperti telah disebutkan dalam uraian di atas, bahwa dalam pembagian ontologi ada fisik (inderawi) yang merupakan suautu objek yang dapat di lihat. Sedangkan dalam epistimologi terdapat pembagian empirisme yaitu cara memperoleh pengetahuan melalui pengalaman (inderawi). Hubungan antara ontologi dan epistimologi di sini adalah fisik (bagian dari ontologi) merupakan objek yang dikaji, sedangkan empirisme (bagian dari epistimologi) yaitu subjek yang merupakan cara untuk mengetahui pengetahuan. Konsep nya di sini adalah benda fisik dapat diketahui melalui pengalaman atau inderawi. Sebagai contohnya, kita mengetahui kursi (sebagai objek fisik) dengan cara empiris (pengalaman inderawi) karena memang benda tersebut dapat di lihat dengan salah satu panca indera.
Sedangkan yang metafisik dengan rasionalisme dapat di analogikan seperti misal, kita mengetahui tentang objek yang metafisik  (misal ide) dapat dilakukan melalui rasional (akal). karena bahwasanya ide tersebut tidak dapat di teliti dengan panca indera, maka haruslah diteliti dengan akal.  Dan dari hubungan antar keduanya tersebut menghasilkan sebuah konsep yaitu suatu pengetahuan.
Jika membahas masalah tentang ontologi dengan aksiologi maka salah satu kajiannya ialah tentang keberadaan nilai-nilai dari sudut pandang ontologi. Sesungguhnya nilai-nilai merupakan hasil ciptaan yang-tahu (subjek yang mengetahui). Hanya saja kaum idealis misalnya, W.M Urban dalam buku “The Intelligable World” memandang nilai sebagai satuan-satuan yang sejak semula sudah terkandung dalam susunan kenyataan itu sendiri. Sesungguhnya salah satu pendiriran dasar idealisme mengatakan, ditinjau dari segi eksistensi adanya segenap kenyataan tergantung pada yang bernilai. Dengan begitu Urban memberikan suatu kedudukan ontologis kepada nilai-nilai yang serupa dengan pandangan kaum realis mengenai alam. Dalam salah satu segi nya, metafisika idealisme merupakan semacam akibat dari pandangan realistis tentang nilai tersebut di atas. Jika nilai sudah sejak semula  terdapat di dalam segenap kenyataan, mungkin orang harus mengatakan bahwa dengan demikian tidaklah mungkin terdapat perbedaan antara “apa yang ada” (apa yang ada kini)- yaitu eksistensi dengan “apa yang seharusnya ada” (maksudnya apa yang akan ada).[10]
sedangkan jika kita membahas mengenai hubungan antara epistimologi dengan aksiologi  yaitu berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Hal ini menyangkut suatu teori tentang bagaimana suatu ilmu itu digunakan.[11]Dalam aksiologi ilmu itu terikat dengan nilai-nilai, baik itu nilai etika ataupun moral sebagai landasan normatifnya. Begitu pula teknologi, ia merupakan produk dari ilmu hendaknya dipergunakan untuk membantu manusia dalam memecahkan masalah dan membantu manusia dalam mencapai tujuannya. Seorang ilmuwan secara aksiologi memiliki tanggung jawab sosial dipundaknya.[12]
Jika hubungan aksiologi dengan epistemologi itu menghasilkan suatu konsep mengenai kegunaan pengetahuan, maka apa kegunaan dari pengetahuan itu sendiri? Secara aksiologi pengetahuan yang dimiliki manusia yang berupa ilmu itu digunakan untuk kepentingan manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia yang terus bertambah seiring dengan berkembangnya zaman. Dalam pengertian lain ilmu merupakan suatu cara berpikir dalam menghasilkan suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan yang dapat diandalkan. Ilmu merupakan produk dari proses berpikir menurut langkah-langkah tertentu yang secara umum dapat disebut berpikir ilmiah. Dalam pengembangannya ilmu mengalami dua tahap yaitu pertama tahap pengembangan konsep. Ini dipelajari secara metafisik. Pada tahap ini ilmu bersifat kontemplatif (yaitu ilmu bertujuan mempelajari gejala-gejala alam untuk tujuan pengertian dan pemahaman).
Yang kedua yaitu tahap penerapan konsep. Hasil-hasil kegiatan ilmu dalam tahap ini dialih ragamkan (ditransformasikan) manjadi bahan, atau piranti, atau prosedur, atau teknik pelaksanaan suatu proses pengelolaan atau produksi yang nantinya akan menghasilkan sesuatu yang kita sebut teknologi. Jadi bisa dikatakan teknologi dikembangkan dalam tahap ini. Kearah mana dan terhadap apa teknologi digunakan, amat tergantung pada kepentingan si penguasa teknologi itu dan nilai-nilai moral etikanya.[13]

C.     Hubungan Ketiganya dalam Konteks Perbandingan Agama
Dilihat dari konteks pembahasannya yaitu perbandingan agama, maka sini akan membahas mengenai bagaimana hubungan antara ontologi  dengan epistimologi dalam konteks agama-agama, hubungan antara ontologi dengan aksiologi dalam konteks agama-agama, dan hubungan antara epistimologi dengan aksiologi dalam konteks agama-agama.
Pertama membahas mengenai hubungan antara ontologi dengan epistimologi dalam konteks agama-agama. Yaitu bagaimana kita meneliti suatu objek yang fisik (indrawi) dan cara menelitinya yaitu dengan salah satu panca indera. Maka disini saya akan mencontohkan meneliti perayaan hari raya dari berbagai agama. Misal pada hari raya islam yaitu idul fitri, umat islam melaksanakan salat idul fitri dalam masjid secara bersama-sama selain itu juga menjadi tradisi muslim di indonesia yaitu berkunjung ke rumah keluarga dan teman-teman mereka, dalam masing-masing rumah terdapat banyak sekali kue-kue yang akan dibagikan pada keluarga, teman, maupun tetangga mereka. Dalam agama kristen dan katolik, umat kristen dan katolik merayakannya di gereja, berdoa bersama-sama. Selain itu banyak pula terdapat pohon cemara di masing-masing rumah mereka, santa claus yang memberi hadiah bagi anak-anak. Dalam agama budha penganut ajaran budha akan mengunjungi kuil budha pada waktu pagi untuk memberikan penghormatan kepada budha, yang dilambangkan oleh simbol-simbol budha seperti Pagoda, patung budha, pokok Bodhi dan Sarikata (relik budha). Para penganut juga akan melafazkan semula Tisarana (Tiga Perlindungan: budha, Dhamma dan Sangha) untuk memperbaharui komitmen mereka kepada ajaran budha. Perlindungan, dalam pengertian ajaran budha merujuk kepada perlindungan daripada kesengsaraan dan ketidakpuasan duniawi.[14] Dalam agama hindu tiap merayakan hari raya nyepi tidak ada aktifitas seperti biasa. Semua kegiatan ditiadakan, termasuk pelayanan umum, seperti Bandar Udara Internasional pun tutup, namun tidak untuk rumah sakit, pada hari ini suasana seperti mati. tidak ada kesibukan aktifitas seperti biasa.[15]
Pada beberapa agama yang telah saya sebutkan memiliki persamaan yaitu sama-sama memiliki hari raya tetapi tidak dengan konsep yang sama. Maka penulis menemukan tiga unsur yang terkandung dalam keterangan di atas:
v  Kegiatan peristiwa perilaku ritual (yang merupakan bentuk ontologi) dapat diperoleh melalui empiris (pengalaman inderawi)
v  Penyembahan pada Tuhan (bentuk ontologi) yang dapat diperoleh melalui rasional (dengan akal)
v  Perbandingan konsep dari berbagai agama (bentuk ontologi) dapat diketahui melalui empiris (melihat dari konsep satu ke konsep yang lain) dan rasional (membedakannya dengan akal)
Yang kedua yaitu hubungan antara ontologi dengan aksiologi (yakni keberadaan nilai dari sudut pandang ontologi) dalam konteks perbandingan agama  dapat yaitu mengenai keeksistensian atas keberadaan sesuatu. Ini saya analogikan dengan ruh dalam manusia. Umumnya semua agama itu mengakui adanya ruh dan nilai ruh lebih tinggi daripada badan, lebih tinggi nilainya dari materi bagi kehidupan manusia. Ruh itu dianggap sebagai hakikat yang sebenarnya. Sehingga materi hanyalah badannya bayangan atau penjelmaan. Bapak Faris menjelaskan bahwa menururt W.M. Urban ruh itu merupakan sesuatu yang di anggap baik dan bernilai lebih tinggi dari badan. Dan jasad itu merupakan sesuatu yang buruk dan bernilaih lebih rendah dari ruh. Namun konsep ruh dalam masing-masing agama itu berbeda-beda. Dalam agama islam, ruh akan hilang dari jasad manusia, dan akan kembali ke sisi tuhan. Begitu juga dalam agama kristen, ruh orang yang mati akan pergi dari jasad nya dan akan berpindah ke surga. Dalam agama budha, ruh orang yang meninggal mengalami reinkarnasi, yaitu setelah hilangnya ruh orang yang bayi yang baru lahir.
Dari beberapa agama setuju jika manusia meninggal ruh nya akan keluar dari jasad nya, hal ini menunjukkan bahwa ada ruh tetapi tidak terdapat eksistensi ruh itu sendiri (nilai dari sudut pandangan ontologi) tapi dengan konsep yang berbeda pada tiap agama. Dari uaraian di atas terdapat beberapa unsur, yaitu:
v  Ruh (bentuk dari ontologi) yang mana dapat diperoleh melalui rasional (akal)
v  Jasad (bentuk dari ontologi) yang mana dapat diperoleh melalui empiris (pengalaman inderawi)
v  Perbandingan atau perbedaan dari ruh dan jasad dapat diperoleh melalui rasional dan empiris
Hubungan antara epistimologi dengan aksiologi (bersangkutan dengan kegunaan  pada pengetahuan) dalam konteks perbandingan agama. Ini dapat dicontohkan dengan keberadaan seorang pembawa ajaran  pada  setiap agama. Misal dalam agama islam terdapat nabi sebagai pembawa ajaran pada para umat islam. Dalam agama kristen terdapat yesus sebagai pembawa ajaran tuhan yang mana yesus ini merupakan firman tuhan dalam daging, yesus disebut juga anak tuhan. Dalam agama budha ada pula pembawa ajaran budha yaitu sidharta gautama. Dalam agama kong hu chu juga memiliki seorang pembawa agama, dan dia disebut dengan nama kong hu chu pula.
Dari hubungan antara epistimologi dengan aksiologi dalam konteks perbandingan agama saya contohkan dengan seorang pembawa agama yang mana dapat dianalogikan pada ajaran yang dibawa merupakan epistimologi dan unsur dari ajaran tersebut (etika) merupakan aksiologi. Namun perlu diketahui bahwa berbeda agama maka berbeda pula konsep dan cerita yang terkandung di dalamnya. Dari sini penulis menemukan beberapa unsur yang terkandung dalam ajaran nabi (atau pembawa ajaran) yaitu:
v  Contoh perilaku (bentuk ontologi) yang mana dapat diperoleh melalui empiris atau pengalaman inderawi (epistimologi)
v  Ajaran (bentuk dari ontologi) __ajaran yang dibawa oleh nabi itu berupa teks­­__ maka hal ini dapat diketahui melalui rasional atau akal (epistimologi). Dan yang diajarkan itu meliputi:
·         Etika __tentang baik dan buruk__ (ontologi) yang mana hal ini dapat diperoleh melalui rasional atau akal.
·         Tuhan (ontologi) yang mana dapat diperoleh melalui rasional atau akal.
v  Perbedaan antar pembawa ajaran (ontologi) yang mana dapat diperoleh melalui rasional atau akal (epistimologi). Karena kita dapat mengetahui perangai dari seorang pembawa ajaran yang merupakan panutan itu melalui buku atau kitab, dan juga membandingkannya juga menggunakan rasional atau akal.
3.      PENUTUP
Kesimpulan
A.    Pengertian
Ø  Ontologi merupakan suatu kajian mengenai persoalan hakikat (nature), dan struktur ada. Fisik(materi) ini merupakan sesuatu yang bisa dilihat dengan mata(indrawi)atau konkrit. Metafisik(imateri) ini merupakan hal yang tidak bisa di lihat dengan mata(abstrak) hal abstrak yang dimaksudkan di sisni ialah ide atau akal. Semimeta, yang ini merupakan suatu hal yang abstrak tetapi dapat di teliti atau diketahui melalui yang konkrit.
Ø  Epistimologi berasal dari kata episteme (pengetahuan) dan logos (ilmu). Berarti ilmu pengetahuan tentang pengetahuan. Ini berarti cara untuk memperoleh pengetahuan. Sumber penegtahuan pada manusia: Rasionalisme, berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak pada akal. Dan Empirisme, berpendirian bahwa memperoleh suatu pengetahuan itu melalui pengalaman.
Ø  Aksiologi berasal dari perkataan “axios” (Yunani) yang berarti “nilai”, dan logos yang berarti “teori”. Ini membahas tentang teori nilai-nilai (value) sebagai tolak ukur kebenaran (ilmiah),etnik, dan moral sebagai dasar normatif dalam penelitian dan penggalian, serta penerapan ilmu.
B.     Hubungan antara ontologi, epistimologi, dan Aksiologi
Ø  Hubungan antara ontologi dengan epistimologi, ada dua cara. pertama subjek yang merupakan cara untuk mengetahui pengetahuan. Kedua mengetahui tentang objek yang metafisik  (misal ide) dapat dilakukan melalui rasional (akal).
Ø  Hubungan antara ontologi dengan aksiologi yaitu keberadaan nilai-nilai dari sudut pandang ontologi.
Ø  Hubungan antara epistimologi dengan aksiologi yaitu bersangkutan dengan kegunaan (ilmu pengetahuan).
C.     Hubungan Ketiganya Dalam Konteks Perbandingan Agama
Ø  Hubungan antara ontologi dengan epistimologi dalam konteks Perbandingan Agama yaitu meneliti suatu objek yang fisik(indrawi) dan cara menelitinya yaitu dengan salah satu panca indera. Di sini saya contohkan penelitian pada perayaan hari raya pada agama. Unsur-unsur yang terkandung di dalamnya:
·         Kegiatan perilaku ritual
·         Penyembahan pada Tuhan
·         Perbandingan atau perbedaan antar keduanya
Ø  Hubungan antara ontologi dengan aksiologi dalam konteks Perbandingan Agama yaitu keeksistensian atas keberadaan sesuatu. Di sini saya menganalogikan dengan pandangan agama terhadap keadaan ruh setelah manusia mati.
·         Ruh
·         Jasad
·         Perbandingan antar keduanya
Ø  Hubungan antara epistimologi dengan aksiologi dalam konteks Perbandingan Agama yaitu menyangkut kegunaan dari pengetahuan. Di sini saya menganalogikan dengan  pembawa ajaran pada tiap agama.
·         Contoh perilaku
·         Ajaran
·         Perbedaan antar pembawa ajaran

Daftar Pustaka
·         Abidin, Zainal,Pengantar Filsafat Barat, Jakarta:RajajGrafindo Persada, cet l, 2001
·         Daito, Apollo, Ontologi, Epistimologi, Aksiologi, Jakarta: Mitra Wacana Media, 2011
·         Katsof, O. Luis, Pengantar Filsafat,Yogyakarta:Tiara Wacana Yogya,cet, v, 1992
·         Tafsir, Ahmad, Filsafat Umum, Bandung: Remaja Rosdakarya, cet. IX, 2001







[1] Abidin, Zainal,Pengantar Filsafat Barat, Jakarta:RajaGrafindo Persada, cet l, 2001, h. 64-65
[2] Katsof, O. Luis, Pengantar Filsafat ,Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya,cet, v, 1992, h.191-207
[3] Tafsir, Ahmad, Filsafat Umum, Bandung: Remaja Rosdakarya, cet. IX, 2001, h. 23
[4] Daito, Apollo, Ontologi, Epistimologi, Aksiologi, Jakarta: Mitra Wacana Media, 2011, h. 55
[5] Daito, Apollo, Ontologi, Epistimologi, Aksiologi, h. 56
[6] Katsof, O. Luis, Pengantar Filsafat, h. 136-139
[7] Katsof, O. Luis, Pengantar Filsafat, h.143-144
[8] Daito, Apollo, Ontologi, Epistimologi, Aksiologi, h. 408
[9] Katsof, O. Luis, Pengantar Filsafat, h. 327
[10] Katsof, O. Luis, Pengantar Filsafat, h. 344
[11] Daito, Apollo, Ontologi, Epistimologi, Aksiologi, h. 408
[12] Daito, Apollo, Ontologi, Epistimologi, Aksiologi, h. 409
[13] Daito, Apollo, Ontologi, Epistimologi, Aksiologi, h. 409

0 komentar:

Posting Komentar