Kamis, 13 November 2014

Skeptisisme Terhadap Agama



     A.    Pendahuluan
Keyakinan kepada Tuhan dan keyakinan meragukan serta menolak aksistensi Tuhan tampaknya memiliki argumen-argumen tersendiri. Sebagian ateisme mengungkapkan berbagai argumen bahwa Tuhan itu tidak ada. Karena tidak bisa dibuktikan secara empiris, eksistensi Tuhan menjadi obyek perdebatan dikalangan filosof dan ilmuan. Namun sebaliknya, dikalangan umat beragama yang memiliki keyakinan yang sudah sangat matang dengan agamanya malah justru mengeluarkan berbagai argumen tentang pembuktian adanya Tuhan. Di mana dia menjelaskan korelasi antara keadaan alam dengan teks yang ada pada kitab suci.
Diantara argumen-argumen yang kontra atau mengandung keragu-raguan terhadap adanya Tuhan itu dinamakan aliran skeptisisme.
Epistemologi modern banyak berurusan dengan skeptisisme, dan memang sudah jelas mengapa harus demikian. Apabila fondasi goyah atau bangunan rmah runtuh, maka pengetahuan gagal menemukan pembenarannya dan skeptisisme akan timbul. Jadi, skeptisisme berkorelasi dengan fondasionalisme. Kaum skeptis modern dan fondasionalis memiliki pandangan yang sama tentang pengetahuan dan seorang menjadi skeptis sejauh ia menjadi sadar akan kesulitan-kesulitan program fondasionalis. Jadi, pemikiran epistemologis modern dapat dipandang jatuh pada sebuah sumbu dengan fondasionalise optimistik di satu sisi dan pesimisme (skeptisisme) di sisi lain.[1] Berikut akan dibahas mengenai skeptisime terhadap agama, yang meliputi naturalisme, materialisme, positivisme, freudanisme.

     B.     Pembahasan
1.      Skeptisisme
Istilah Skeptisisme diambil dari bahasa Yunani “Skeptomai” yang secara harfiah berarti “saya pikirkan dengan seksama” atau saya lihat dengan teliti”. Kemudian dari situ diturunkan arti yang biasa dihubungkan dengan kata tersebut, yakni “saya meragukan”. Menurut redaksi lain, asal kata Skeptisisme memiliki arti pemeriksaan dengan seksama atau penelitian dan eksplorasi. Akan tetapi seiring dengan berkembangnya zaman, kata Skeptisisme memiliki makna yang berbeda, yakni seseorang yang mengambil posisi kognitif (pengetahuan faktual yang empiris) dan memiliki batasan dalam penolakan ilmu pengetahuan. Menurut kamus besar bahasa Indonesia skep-tis berarti kurang percaya, ragu-ragu (terhadap keberhasilan ajaran dsb). Sedangkan skeptis-isme yaitu aliran (paham) yang memandang sesutau selalu tidak pasti (meragukan, mencurigakan). Jadi secara umum skeptis-isme adalah ketidakpercayaan atau keraguan seseorang terhadap sesuatu yang belum tentu kebenarannya.[2]
Modernitas sebagaimana menjadi kenyataan di Eropa sejak abad ke 17 mulai meragukan keTuhanan. Reformasi Protestan abad ke 16 sudah menolak banyak klaim Gereja. Dalam abad ke 17 empirisme menuntut agar segala pengetahuan mendasarkan diri pada pengalaman inderawi. Pada akhirya abad ke 18 muncul filosof-filosof matrealis pertama yang mengembalikan keanekaan bentuk kehidupan, termasuk manusia, pada materi dan menolak alam adi duniawi. Pada abad ke 19 dasar-dasar ateisme filosofis dirumuskan oleh Feuerbach, Marx, Nietzsche dan dari sudut psikologi, Freud. Pada abad ke 20 filsafat untuk sebagian besar menyangkal kemungkinan mengetahui sesuatu tentang hal ketuhanan, sedangkan dalam masyarakat sendiri ketuhanan semakin tersingkir oleh keasyikan budaya konsumistik. Sebagai akibat, manusia modern menjadi skeptis tentang ketuhanan kalau ia tidak menyangkalnya sama sekali sebagai mitos. Berikut perjalanan ke permulaan modernisasi; perubahan dari paradigma teosentris ke paradigma antroposentris. Modernitas dalam arti melalui rasionalisme dan masa pencerahan yang akhirnya disusul oleh penolakan terhadap ketuhanan atas nama kemajuan yang sendiri dikaitkan dengan kemenangan pandangan dunia ilmiah.[3]
1.      Teosentris ke antroposentris
Pada abad ke 13 di Eropa, manusia memandang segala sesuatu dari sudut Allah. – Dimana saat itu raja seolah diperlakukan seperti Paus –Tapi 400 tahun kemudian manusia menjadi titik acuan manusia. Apapun dipertanyakan dari sudut pandang manusia – Pada abad ke 14 Eropa yang bermula dari Italia menemukan kembali cita-cita kemanusiaan Romawi dan Yunani pra Kristen. Eropa mulai mampu berpikir sendiri, Eropa juga membebaskan diri dari perspektif budaya yang secara eksklusif ditentukan oleh agama. Karena itu gerakan kembali ke warisan budaya Romawi dan Yunani pra Kristiani ini disebut Humanisme. Humanisme yang paling mencolok adalah pada zaman renaisance.
2.      Pencerahan dan Saintisme
1.      Rasionalisme dan pencerahan
Merupakan zaman revolusi intelektual, politik, dan sosial. Pada zaman ini manusia menghilangkan kepercayaan-kepercayaan irasional. Manusia dituntut untuk berani berpikir sendiri dan tidak percaya sesuatu yang tidak dapat di nalar. Pencerahan itu akibat dari empirisme yang melahirkan rasionalisme.
2.      Deisme
Memandang bahwa setelah menciptakan alam semesta, Tuhan tidak lagi memelihara alam dan seluruh ciptannya. Semua itu berjalan menurut hukum alam. Deisme dapat memunculkan atheisme. Maka pada abad ke 18, atheisme diajarkan oleh para filosof. Sebagian kaum Prancis menganggap bahwa berjalannya alam ini dapat dijelaskan menurut hukum mekanika.
3.      Paham kemajuan dan saintisme
Pada abad ke 19 dianggap sebagai puncak dari zaman pencerahan. Ciri dari zaman ini adalah kepercayaan manusia terhadap kemajuan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan dianggap sebagai pemecah dari segala masalah manusia.
David Hume juga mengkritik mengenai ajaran agama tentang mukjizat. Ada lima argumen yang dilontarkan. Pertama, sepanjang sejarah tak pernah ada mukizat yang disaksikan secara kolektif oleh orang-orang cerdas. Kedua, adalah kecenderugan macam ini tidak membuktikan kebenaran adanya mukjizat. Ketiga, dalam sejarah mujizat hanya terjadi ketika manusia ini belum maju dalam ilmu pengetahuan, dan setelah ada kemajuan, ajaran tentang mukjizat justru dipersoalkan, maka sebetulnya mukjizat hanya diyakini oleh mereka yang berpikir infantil dan picik. Keempat, segala agama wahyu mempunyai klaimnya sendiri atas mukjizatnya masing-masing, maka tidak pernah ada kesepakatan empiris tentang mukjizat yang benar. Kelima, semakin ilmiah penelitian historis, semakin ragulah si sejarawan terhadap peristiwa-peristiwa mukjizat. Sejarawan bahkan akan menemukan bahwa mukjizat adalah tafsiran para nabi belaka untuk memperkenalkan ajaran iman yang baru.[4]
            Adapun bentuk-bentuk skeptisime diantaranya adalah:
2.         Naturalisme
Salah satu problem yang dihadapi oleh manusia modern, terutama para ilmuan adalah apakah agama bisa sejalan dengan teori-teori ilmiah? Sebab, ilmu menekan kan pembahasannya pada alam fisik, sedangkan agama pada hal yang di luar fisik. Ilmu menyelidiki natur, sedangkan agama membahas supernatur.
Ilmu tidak dapat tersusun kecuali atas dasar hukum alam yang tetap. Dasar intelektual ilmu sudah dirintis sejak zaman filsafat Yunani. Filsafat Yunani mengatakan bahwa alam berjalan menurut hukum-hukum yang tetap dan sistem yang sama. Ilmu disusun atas prinsip tersebut, baik di masa yang lalu maupun sekarang dan akan datang. Suatu teori ilmiah tidak akan dapat dicapai kalau keberagaman dan fakta-fakta yang ada dalam alam tidak mempunyai hukum atau aturan yang jelas dan tetap.
Kalau ilmu mempunyai konsep yang pasti tentang alam fisik, agama pun mempunyai doktrin-doktrin yang pasti juga tentang alam metafisik. Problemnya adalah kalau agama yang lebih benar, maka teori ilmu tersingkir, sedangkan kalau teori ilmu yang lebih benar, maka agama tersingkirkan. Sebagaian ilmuan menyatakan bahwa hukum positiflah yang lebih didahulukan sebab kenyataan itulah yang memberikan manfaat bagi kehidupan manusia. Sebagian ilmuan, terutama positivis, menolak campur tangan kekuatan supranatural dalam alam, sebagian yang lain masih mengakui bahwa Tuhan itu ada dan menciptakan dunia ini dengan sempurna. Kebanyakan ilmuan di Barat lebih cenderung pada deisme.
Kalau seseorang percaya pada campur tangan Tuhan setiap saat (fatalisme), tanpa menghiraukan keteraturan alam, dia akan terjebak dalam determinisme teologis yang sempit. Sebaliknya jika yakin akan keuniversalan dan kepastian hukum alam, dia juga terjebak dalam determinisme naturalis yang sempit. Determinisme naturalis juga dinamakan dengan sistem tertutup atau mekanistik, yaitu alam berproses sesuai dengan mekanisme yang sudah tetap.
Keberatan yang lain dari konsep naturalis ini adalah alam begitu luas dan sangat beragam. Yang diketahui oleh manusia masih terlalu sedikit dibandingkkan dengan yang belum. Oleh karena itu, sebagian ilmuan modern berkesimpulan bahwa kebenaran ilmiah tidak sampai pada tingkat 100%. Tingkat kebenarannya hanya sekitar 90% saja. Mereka memberikan istilah peluang untuk menggantikan kepastian. Menurut hukum alam, roti pasti menyenangkan, tetapi dalam istilah mereka roti berpeluang menyenangkan.
Dari segi fungsionalisme ilmu dan agama juga memiliki perbedaan. Fungsi ilmu untuk meneliti alam fisik dan mempermudah kehidupan manusia di dunia. Sedangkan, agama beranggapan bahwa penelitian terhadap alam fisik untuk kebahagiaan di dunia dan akhirat. Kendati ilmu dan agama secara fungsional dan struktural berbeda, usaha untuk mendamaikan dua pandangan tersebut, bisa berhasil apabila kedua penganut aliran itu tidak terseret pada suatu sikap ekstrimisme. Agama sebenarnya menganjurkan manusia meneliti susunan alam raya dan agar mempelajari peristiwa-peristiwa yang terjadi pada umat yang telah lalu untuk dijadikan pelajaran. Dalam hal ini agama dan ilmu bisa bekerja sama. Ilmu menyelidiki rahasia-rahasia alam semaksimal mungkin, agama memberikan dorongan moral bagi kemajuan tersebut. Ilmu menemukan teori-teori baru, agama mengarahkan teori itu agar digunakan sesuai dengan tujuan penciptaan. Dengan demikian, keraguan kaum naturalis terhadap agama dapat terjawab.[5]

3.         Materialisme
Materialisme adalah suatu istilah yang sempit dan merupakan bentuk naturalism yang lebih terbatas. Materialisme pada umumnya mengatakan bahwa di dunia tak ada selain materi, atau bahwa nature (alam) dan dunia fisik adalah satu. Istilah materialisme dapat diberi definisi dengan beberapa cara. Pertama, materialisme adalah teori yang mengatakan bahwa atom materi yang berada sendiri dan bergerak merupakan unsur-unsur yang membentuk alam dan bahwa akal dan kesadaran (consciousness) termasuk di dalamnya segala proses psikikal merupakan mode materi tersebut dan dapat disederhanakan menjadi unsur-unsur fisik. Kedua, bahwa doktrin alam semesta dapat ditafsirkan seluruhnya dengan sains fisik. Kedua definisi tersebut mempunyai implikasi yang sama, walaupun condong untuk menyajikan bentuk materialisme yang lebih tradisional. Pada akhir-akhir ini doktrin tersebut dijelaskan sebagai energisme, yang mengembalikan segala sesuatu kepada bentuk energi atau sebagai suatu bentuk dari positivisme yang memberi tekanan untuk sains dan mengingkari hal-hal seperti ultimate nature of reality (realitas yang paling tinggi).[6]
4.         Positivisme
Filsafat Positivisme lahir pada abad ke-19. Titik tolak pemikirannya, apa yang telah diketahui adalah yang faktual dan yang positif, sehingga metafisika ditolaknya. Maksud positif adalah segala gejala dan segala yang tampak seperti apa adanya, sebatas pengalaman-pengalaman objektif.
Positifisme adalah kelanjutan dari empirisme. Kalau empirisme lebih menekankan pada pengalaman saja dan merendahkan fungsi akal, adapun positivism menggabungkan keduanya. Bagi positivism, pengalaman perlu untuk mengumpulkan data sebanyak mungkin agar akal mendapatkan suatu hukum yang bersifat universal. Empirisisme menerima pengalaman subyektif, sedangakan positivism terbatas pada pengalaman yang obyektif saja.
Positivisme, kata asalnya adalah “Positif”, berarti yang diketahui, yang factual, dan yang positif. Segala uraian yang di luar fakta atau kenyataan dikesampingkan. Apa yang diketahui secara positif adalah segala yang tampak dan yang dapat diukur. Positivisme memandang agama sebagai gejala perdebatan manusia yang primitif. August Comte, tokoh positivisme, membagi sejarah umat manusia atas tiga paham. Pertama, tahap teologis, yaitu manusia masih terpaku pada hakikat batin segala sesuatu, sebab pertama dan tujuan terakhir. Kedua, tahap metafisika, yaitu perubahan bentuk saja dari zaman teologis. Kekuatan-kekuatan adikodrati yang berupa dewa diganti dengan kekuatan yang abstrak lewat proses generalisasi. Ketiga, tahap positif, yaitu ketika orang sadar bahwa tidak ada gunanya untuk berusaha mencapai pengenalan, baik teologis maupun metafisis.
   Dengan demikian, seorang positivis membatasi dunia pada hal-hal yang bisa dilihat, yang bisa diukur dan yang bisa dibuktikan kebenarannya. Suatu pernyataan dianggap benar olehpositivisme apabila pernyataan itu sesuai dengan fakta.[7]
5.         Freudianisme
Istilah Freudianisme mungkin tidak lazim digunakan dibandingkan dengan Marxisme. Marxisme lebih lazim digunakan karena marxisme di samping merupakan ideologi juga merupakan paham. Freudianisme  bukan merupakan sebuah ideologi, tetapi lebih mendekati suatu paham atau aliran. Istilah freudianisme tidak sepopuler Marxisme. Freudianisme merupakan kata yang menunjukan kepada pemikiran Sigmund Freud yang berpengaruh terhadap agama, terutama tinjauannya dari aspek psikologi.
Menurut Sigmund Freud, kepercayaan keagamaan itu tidak ada dasarnya sebab kepercayan tersebut dapat diterangkan dari segi psikologi. Hal-hal yang merupakan dogma dalam agama bukan hasil pengalaman atau hasil pemikiran, tetapi hasil ilusi, yaitu realisasi dari kemauan manusia yang tertua, terkuat dan paling mendorong.  Agama menurut Frued, mengajarkan bahwa alam diciptakan oleh pencipta yang mirip manusia, tetapi lebih agung dan berkuasa dalam beberapa hal.
Fungsi lain dari agama, menurut freud, adalah ajaran moral yang dapat juga dihubungkan dengan masa kanak-kanak. Bapak selalu menjaga anak dari bahaya dan mengajarkannya apa yang boleh dan tidak boleh. Orang beragama menurut frued, tidak ubahnya seperti anak kecil yang perlu bimbingan. Tuhan menjalankan dunia dengan memberikan aturan-aturan, pahala dan dosa. Kebahagiaan seseorang dalam agama tergantung pada penyempurnaan aturan-aturan tersebut agar selalu dicintai Tuhan. Dalam kecintaan yang demikian, dia merasa aman dan tenang, sebagaimana waktu dia masih anak-anak.
 Sebagaimana Feurebach dan Marx, Freud menginginkan manusia kembali pada kesejatian dirinya, yaituu dengan menginggalkan ilusi dan ketergantungan kepada Tuhan. Manusia dewasa, demikian Freud adalah yang tidak lagi membutuhkan bapak sebagai pelindung. Dia sudah bisa mandiri dan bertindak serta berpikir bebas. Seandainya manusia dewasa masih tergantung kepada agama, maka dia kembali menjadi anak-anak.
Dari penjelasan Freud di atas ada beberapa hal yang perlu dikoreksi. Pertama, Freud menganalogikan Tuhan sebagai pencipta alam dengan bapak dan ibu sebagai pencipta seorang anak. Bapakyang di duniajelas tidak bi8sa disamakan dengan Tuhan sebagai pencipta. Dari segi struktur zat saja sudah jauh berbeda. Bapak di dunia terdiri atas sel-sel, bentuk dan materi, sedangkan bappak pecipta alam tidak terdiri dari materi dan bentuk.
Kedua, wawasan Freud tentang Tuhan hanya terbatas pada agama Kristen, sebab ada Tuhan yang fungsinya tidak sebagaimana digambarkan oleh Freud, sebagai pencipta, pelindung, berkuasa, dan sebagainya. Tapi, ada paham yang mengatakan bahwa Tuhan hanya sebab alam kemudian Dia tidak ada lagi berhubungan dengan alam, sebagaimana yang terdapat dalam paham deistik. Jika dianalogikan Tuhan deisme dengan bapak dalam konsep Freud, jelas kacau secara logika. Plato juga mengatakan bahwa Tuhan itu semacam idea yang tertinggi dan merupakan  konsekuensi logis dari realitas yang banyak.
Ketiga, adalah suatu kesalahan jika Freud mengira Tuhan itu zat yang diinginkan manusia adaya. Memang benar ada orang yang diinginkan manusia adanya. Memang benar ada orang yang mempunyai pengalaman keagamaan sesuai dengan keinginannya, tetapi tidak benar bahwa pengalaman keagamaan semacam itu bersifat umum. Freud mengatakan bahwa semua permintaan atau doa ditujukan untukkepentingan berdoa. Jika pernyataan itu benar, bagaimana halnya dengan penganut teisme yang mengorbankan dirinya (mati syahiid dalam Islam) demi mencari keridaaan Tuhan. Lagi pula kalau mau menggali kehidupan para sufi, tentu Freud akan mendapatkan bahwa para sufi itu tidak melihat Tuhan sebagai tempat bersatu dan berdekat-dekatan. Balasan surga dan neraka bagi sufi tidak ada gunanya. Yang diharapkannya adalah kerelaan Tuhan dan kesadaran yang menyatu dengan Nya.
Keempat, Freud mengkritik orang beragama karena agama karena agama menyebabkannya menderita gangguan kejiwaan (neurosis). Kritikan ini dibantah oleh Ignace Lepp.
Latar belakang argumen ateisme dan teisme jelas berbeda. Ateisme bertitik tolak dari kenyataan empiris masyarakat di Eropa abad ke 18 dan ke 19 yang secara sosiologis banyak tertipu oleh tokoh agama. Adapun teisme berdasarkan pada kemestian logis, yaitu mustahil sesuatu disebabkan oleh dirinya sendiri. Implikasi dan pola kedua paham itu jauh berbeda. Ateisme mengatakan bahwa manusia tidak perlu terikat kepada hal-hal yang supernatural, tetapi harus terikat kepada kemampuan diri sendiri. Diri sendirilah yang menentukan nasib, bukan kekuatan dari luar. Sebaliknya, teisme berpendapat bahwa manusia terikat dengan kekuatan supernatural dan tidak bebas menentukan nasib sendiri. Sebab, manusia tidak bebas untuk hidup terus dan banyak keinginannya yang tidak dapat direalisasikan. Semuanya itu, menurut pandangan teisme, adalah bukti bahwa manusia tidak mampu menentukan nasib sendiri.
Di samping itu, Teisme juga mendasari argumennya ppada keterbatasan manusia. Salah satu argumen Teisme adalah manusia tidak mampu mengetahui semua realitas ini, ddan realitas ini sangat kompleks dan serba teratur. Keteratura dan keterbatasan itu mendorong manusia berpikir tentang alam, termasuk manusia. Kalau kemampuan manusia terbatas, demikian teisme, tentu ada sesuatu yang tidak terbatas yang merupakan zat yang menciptakan alam ini. Zat pencipta tentu maha sempurna, tidak terbatas, dan maha kuat.
Dala ateisme pengetahuan manusia terbatas pada hal-hal yang bersifat materi dan tidak mengakui realitas di luar materi. Adapun, dalam teisme pengetahuan manusia tidak hanya tentang materi, tetapi melebihii materi, seperti Pencipta dan Pengatur alam. Jadi, bedanya, ateisme memandang realitas hanya sebatas materi, sedangkan teisme melihat relitas tidak saja sebatas matei, tetapi ada realitas yang nonmatei.
Karena argumen hanya mampu memuaskan akal, sedangkan keyakinan kepada Tuhan tidak hanya bersifat logis dan rasional saja, maka faktor emosional dan ppengalaman religius harus diikutsertakan sebagai salah satu faktor dominan keberagamaan seseorang. Kalau perdebatan tentang eksistensi Tuhan dan ajaran agama yang lain dijadikan sebagai suatu perdebatan logika saja, persoalan agama tidaka akan pernah tuuntas. Oleh karena itu, alternatif yang terbaik bagi orang yang beragama adalah keyakinan dan ditambah dengan argumen yang kuat. Keyakinan ditambah dengan pengalaman religius dan diperkuat dengan argumen rasional. Iman yang berasla dari wahyu untuk diri sendiri, sedangkan argumen rasional, disamping untuk memperkuat keyakinan juga untuk menangkis serangan dari berbagai pihak.[8]
     C.    Penutup
Kesimpulan
Skeptisisme merupakan sebuah keragu-raguan seseorang terhadap agama. Skeptisisme merupakan dampak bagi masyarakat modern, yang mana mereka selalu ingin mencari-cari bukti adanya Tuhan. Manusia modern selalu ingin mengkorelasikan antara bukti nyata yang ada di alam dengan Tuhan. Adapun perjalanan ke permulaan modernisasi; tahap-tahap dari manusia yang percaya dengan adanya Tuhan menjadi skeptis adalah bermula dari perubahan dari paradigma teosentris ke paradigma antroposentris. Modernitas dalam arti melalui rasionalisme dan masa pencerahan yang akhirnya disusul oleh penolakan terhadap ketuhanan atas nama kemajuan yang sendiri dikaitkan dengan kemenangan pandangan dunia ilmiah. Diantara yang termasuk kategori dari skeptisisme yaitu meliputi:
-          Naturalisme: yaitu keragu-ragan tentang adanya Tuhan karena mereka mencari korelasi antara Tuhan dengan teori ilmiah.
-          Materialisme: yaitu keragu-raguan tentang adanya Tuhan yang mana dicari-cari bukti tentang adanya Tuhan melalui materi (fisik) yang ada di alam.
-          Positivisme: yaitu keragu-raguan tentang adanya Tuhan karena menurut kaum ini sesuatu yang benar adalah sesuatu yang tampak dan yang dapat diukur saja.
-          Freudenisme: yaitu keragu-raguan yang dilontarkan oleh Sigmun Freud. Sigmun Freud menyatakan bahwa beragama itu hanya akan menjadikan manusia menjadi manusia tidak mandiri, yang selalu bergantung pada kemampuan dari luar dirinya.


DAFTAR PUSTAKA
-          Bachtiar, Amsal., Filsafat Agama, (Jakarta: 2012, RajaGrafindo persada), cet. 3
-          Hardiman, F. Budi., Filsafat modern: dari Machiavelli sampai Nietzsche, (Jakarta, 2004, Gramedia Pustaka)
-          Petters, Ted., B. Gaymon, Menjembatani Sains dan Agama, (Jakarta: BPK Gunung Mulia)
-          Rasjidi, Filsafat Agama, (Djakarta: 1965, Pemandangan)
-          Suseno, Frans Magnis., Menalar Tuhan, (Jakarta: 2006, Kanisius)
-          Hakiem, Ichwan., Aliran Skeptisisme, diakses pada 24 September 2014, dari http://elmuzer.blogspot.com/2013/07/masisir-bersiap-sambut-pemilu-raya.html




[1] Ted Petters, Gaymon B., Menjembatani Sains dan Agama, (Jakarta: BPK Gunung Mulia), h. 47
[2] Ichwan Hakiem, Aliran Skeptisisme, diakses pada 24 September 2014, dari http://elmuzer.blogspot.com/2013/07/masisir-bersiap-sambut-pemilu-raya.html
[3] Frans Magnis Suseno, Menalar Tuhan, (Jakarta: 2006, Kanisius), h. 44-45
[4] F. Budi Hardiman, Filsafat modern: dari Machiavelli sampai Nietzsche, (Jakarta, 2004, Gramedia Pustaka), h. 92
[5] Amsal Bachtiar, Filsafat Agama, (Jakarta, RajaGrafindo persada, 2012), cet. 3, h. 137-145
[6] Amsal Bachtiar, Filsafat Agama, (Jakarta, RajaGrafindo persada, 2012), cet. 3, h. 118-128
[7] Amsal Bachtiar, Filsafat Agama, (Jakarta, RajaGrafindo persada, 2012), cet. 3, h. 114-118
[8] Amsal Bachtiar, Filsafat Agama, (Jakarta, RajaGrafindo persada, 2012), cet. 3, h. 129-135

0 komentar:

Posting Komentar