A.
Pendahuluan
Keyakinan
kepada Tuhan dan keyakinan meragukan serta menolak aksistensi Tuhan tampaknya
memiliki argumen-argumen tersendiri. Sebagian ateisme mengungkapkan berbagai
argumen bahwa Tuhan itu tidak ada. Karena tidak bisa dibuktikan secara empiris,
eksistensi Tuhan menjadi obyek perdebatan dikalangan filosof dan ilmuan. Namun
sebaliknya, dikalangan umat beragama yang memiliki keyakinan yang sudah sangat
matang dengan agamanya malah justru mengeluarkan berbagai argumen tentang
pembuktian adanya Tuhan. Di mana dia menjelaskan korelasi antara keadaan alam
dengan teks yang ada pada kitab suci.
Diantara
argumen-argumen yang kontra atau mengandung keragu-raguan terhadap adanya Tuhan
itu dinamakan aliran skeptisisme.
Epistemologi
modern banyak berurusan dengan skeptisisme, dan memang sudah jelas mengapa
harus demikian. Apabila fondasi goyah atau bangunan rmah runtuh, maka
pengetahuan gagal menemukan pembenarannya dan skeptisisme akan timbul. Jadi,
skeptisisme berkorelasi dengan fondasionalisme. Kaum skeptis modern dan
fondasionalis memiliki pandangan yang sama tentang pengetahuan dan seorang
menjadi skeptis sejauh ia menjadi sadar akan kesulitan-kesulitan program
fondasionalis. Jadi, pemikiran epistemologis modern dapat dipandang jatuh pada
sebuah sumbu dengan fondasionalise optimistik di satu sisi dan pesimisme
(skeptisisme) di sisi lain.[1]
Berikut akan dibahas mengenai skeptisime terhadap agama, yang meliputi
naturalisme, materialisme, positivisme, freudanisme.
B.
Pembahasan
1.
Skeptisisme
Istilah
Skeptisisme diambil dari bahasa Yunani “Skeptomai” yang secara harfiah berarti
“saya pikirkan dengan seksama” atau saya lihat dengan teliti”. Kemudian dari
situ diturunkan arti yang biasa dihubungkan dengan kata tersebut, yakni “saya
meragukan”. Menurut redaksi lain, asal kata Skeptisisme memiliki arti
pemeriksaan dengan seksama atau penelitian dan eksplorasi. Akan tetapi seiring
dengan berkembangnya zaman, kata Skeptisisme memiliki makna yang berbeda, yakni
seseorang yang mengambil posisi kognitif (pengetahuan faktual yang empiris) dan
memiliki batasan dalam penolakan ilmu pengetahuan. Menurut kamus besar bahasa
Indonesia skep-tis berarti kurang percaya, ragu-ragu (terhadap keberhasilan
ajaran dsb). Sedangkan skeptis-isme yaitu aliran (paham) yang memandang sesutau
selalu tidak pasti (meragukan, mencurigakan). Jadi secara umum skeptis-isme
adalah ketidakpercayaan atau keraguan seseorang terhadap sesuatu yang belum
tentu kebenarannya.[2]
Modernitas
sebagaimana menjadi kenyataan di Eropa sejak abad ke 17 mulai meragukan
keTuhanan. Reformasi Protestan abad ke 16 sudah menolak banyak klaim Gereja.
Dalam abad ke 17 empirisme menuntut agar segala pengetahuan mendasarkan diri
pada pengalaman inderawi. Pada akhirya abad ke 18 muncul filosof-filosof
matrealis pertama yang mengembalikan keanekaan bentuk kehidupan, termasuk
manusia, pada materi dan menolak alam adi duniawi. Pada abad ke 19 dasar-dasar
ateisme filosofis dirumuskan oleh Feuerbach, Marx, Nietzsche dan dari sudut
psikologi, Freud. Pada abad ke 20 filsafat untuk sebagian besar menyangkal
kemungkinan mengetahui sesuatu tentang hal ketuhanan, sedangkan dalam
masyarakat sendiri ketuhanan semakin tersingkir oleh keasyikan budaya
konsumistik. Sebagai akibat, manusia modern menjadi skeptis tentang ketuhanan kalau
ia tidak menyangkalnya sama sekali sebagai mitos. Berikut perjalanan ke
permulaan modernisasi; perubahan dari paradigma teosentris ke paradigma
antroposentris. Modernitas dalam arti melalui rasionalisme dan masa pencerahan
yang akhirnya disusul oleh penolakan terhadap ketuhanan atas nama kemajuan yang
sendiri dikaitkan dengan kemenangan pandangan dunia ilmiah.[3]
1.
Teosentris
ke antroposentris
Pada
abad ke 13 di Eropa, manusia memandang segala sesuatu dari sudut Allah. –
Dimana saat itu raja seolah diperlakukan seperti Paus –Tapi 400 tahun kemudian
manusia menjadi titik acuan manusia. Apapun dipertanyakan dari sudut pandang
manusia – Pada abad ke 14 Eropa yang bermula dari Italia menemukan kembali
cita-cita kemanusiaan Romawi dan Yunani pra Kristen. Eropa mulai mampu berpikir
sendiri, Eropa juga membebaskan diri dari perspektif budaya yang secara
eksklusif ditentukan oleh agama. Karena itu gerakan kembali ke warisan budaya
Romawi dan Yunani pra Kristiani ini disebut Humanisme. Humanisme yang paling mencolok
adalah pada zaman renaisance.
2.
Pencerahan
dan Saintisme
1.
Rasionalisme
dan pencerahan
Merupakan
zaman revolusi intelektual, politik, dan sosial. Pada zaman ini manusia
menghilangkan kepercayaan-kepercayaan irasional. Manusia dituntut untuk berani
berpikir sendiri dan tidak percaya sesuatu yang tidak dapat di nalar.
Pencerahan itu akibat dari empirisme yang melahirkan rasionalisme.
2.
Deisme
Memandang
bahwa setelah menciptakan alam semesta, Tuhan tidak lagi memelihara alam dan
seluruh ciptannya. Semua itu berjalan menurut hukum alam. Deisme dapat
memunculkan atheisme. Maka pada abad ke 18, atheisme diajarkan oleh para
filosof. Sebagian kaum Prancis menganggap bahwa berjalannya alam ini dapat
dijelaskan menurut hukum mekanika.
3.
Paham
kemajuan dan saintisme
Pada
abad ke 19 dianggap sebagai puncak dari zaman pencerahan. Ciri dari zaman ini
adalah kepercayaan manusia terhadap kemajuan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan
dianggap sebagai pemecah dari segala masalah manusia.
David Hume juga mengkritik mengenai ajaran agama tentang mukjizat.
Ada lima argumen yang dilontarkan. Pertama, sepanjang sejarah tak pernah ada
mukizat yang disaksikan secara kolektif oleh orang-orang cerdas. Kedua, adalah
kecenderugan macam ini tidak membuktikan kebenaran adanya mukjizat. Ketiga,
dalam sejarah mujizat hanya terjadi ketika manusia ini belum maju dalam ilmu
pengetahuan, dan setelah ada kemajuan, ajaran tentang mukjizat justru
dipersoalkan, maka sebetulnya mukjizat hanya diyakini oleh mereka yang berpikir
infantil dan picik. Keempat, segala agama wahyu mempunyai klaimnya sendiri atas
mukjizatnya masing-masing, maka tidak pernah ada kesepakatan empiris tentang
mukjizat yang benar. Kelima, semakin ilmiah penelitian historis, semakin
ragulah si sejarawan terhadap peristiwa-peristiwa mukjizat. Sejarawan bahkan
akan menemukan bahwa mukjizat adalah tafsiran para nabi belaka untuk
memperkenalkan ajaran iman yang baru.[4]
Adapun
bentuk-bentuk skeptisime diantaranya adalah:
2.
Naturalisme
Salah
satu problem yang dihadapi oleh manusia modern, terutama para ilmuan adalah
apakah agama bisa sejalan dengan teori-teori ilmiah? Sebab, ilmu menekan kan
pembahasannya pada alam fisik, sedangkan agama pada hal yang di luar fisik. Ilmu
menyelidiki natur, sedangkan agama membahas supernatur.
Ilmu
tidak dapat tersusun kecuali atas dasar hukum alam yang tetap. Dasar
intelektual ilmu sudah dirintis sejak zaman filsafat Yunani. Filsafat Yunani
mengatakan bahwa alam berjalan menurut hukum-hukum yang tetap dan sistem yang
sama. Ilmu disusun atas prinsip tersebut, baik di masa yang lalu maupun
sekarang dan akan datang. Suatu teori ilmiah tidak akan dapat dicapai kalau
keberagaman dan fakta-fakta yang ada dalam alam tidak mempunyai hukum atau
aturan yang jelas dan tetap.
Kalau
ilmu mempunyai konsep yang pasti tentang alam fisik, agama pun mempunyai
doktrin-doktrin yang pasti juga tentang alam metafisik. Problemnya adalah kalau
agama yang lebih benar, maka teori ilmu tersingkir, sedangkan kalau teori ilmu
yang lebih benar, maka agama tersingkirkan. Sebagaian ilmuan menyatakan bahwa
hukum positiflah yang lebih didahulukan sebab kenyataan itulah yang memberikan
manfaat bagi kehidupan manusia. Sebagian ilmuan, terutama positivis, menolak
campur tangan kekuatan supranatural dalam alam, sebagian yang lain masih
mengakui bahwa Tuhan itu ada dan menciptakan dunia ini dengan sempurna.
Kebanyakan ilmuan di Barat lebih cenderung pada deisme.
Kalau
seseorang percaya pada campur tangan Tuhan setiap saat (fatalisme), tanpa
menghiraukan keteraturan alam, dia akan terjebak dalam determinisme teologis
yang sempit. Sebaliknya jika yakin akan keuniversalan dan kepastian hukum alam,
dia juga terjebak dalam determinisme naturalis yang sempit. Determinisme
naturalis juga dinamakan dengan sistem tertutup atau mekanistik, yaitu alam
berproses sesuai dengan mekanisme yang sudah tetap.
Keberatan
yang lain dari konsep naturalis ini adalah alam begitu luas dan sangat beragam.
Yang diketahui oleh manusia masih terlalu sedikit dibandingkkan dengan yang
belum. Oleh karena itu, sebagian ilmuan modern berkesimpulan bahwa kebenaran
ilmiah tidak sampai pada tingkat 100%. Tingkat kebenarannya hanya sekitar 90%
saja. Mereka memberikan istilah peluang untuk menggantikan kepastian. Menurut
hukum alam, roti pasti menyenangkan, tetapi dalam istilah mereka roti
berpeluang menyenangkan.
Dari
segi fungsionalisme ilmu dan agama juga memiliki perbedaan. Fungsi ilmu untuk
meneliti alam fisik dan mempermudah kehidupan manusia di dunia. Sedangkan,
agama beranggapan bahwa penelitian terhadap alam fisik untuk kebahagiaan di
dunia dan akhirat. Kendati ilmu dan agama secara fungsional dan struktural
berbeda, usaha untuk mendamaikan dua pandangan tersebut, bisa berhasil apabila
kedua penganut aliran itu tidak terseret pada suatu sikap ekstrimisme. Agama
sebenarnya menganjurkan manusia meneliti susunan alam raya dan agar mempelajari
peristiwa-peristiwa yang terjadi pada umat yang telah lalu untuk dijadikan
pelajaran. Dalam hal ini agama dan ilmu bisa bekerja sama. Ilmu menyelidiki
rahasia-rahasia alam semaksimal mungkin, agama memberikan dorongan moral bagi
kemajuan tersebut. Ilmu menemukan teori-teori baru, agama mengarahkan teori itu
agar digunakan sesuai dengan tujuan penciptaan. Dengan demikian, keraguan kaum
naturalis terhadap agama dapat terjawab.[5]
3.
Materialisme
Materialisme
adalah suatu istilah yang sempit dan merupakan bentuk naturalism yang lebih
terbatas. Materialisme pada umumnya mengatakan bahwa di dunia tak ada selain
materi, atau bahwa nature (alam) dan dunia fisik adalah satu. Istilah
materialisme dapat diberi definisi dengan beberapa cara. Pertama, materialisme
adalah teori yang mengatakan bahwa atom materi yang berada sendiri dan bergerak
merupakan unsur-unsur yang membentuk alam dan bahwa akal dan kesadaran
(consciousness) termasuk di dalamnya segala proses psikikal merupakan mode
materi tersebut dan dapat disederhanakan menjadi unsur-unsur fisik. Kedua,
bahwa doktrin alam semesta dapat ditafsirkan seluruhnya dengan sains fisik.
Kedua definisi tersebut mempunyai implikasi yang sama, walaupun condong untuk
menyajikan bentuk materialisme yang lebih tradisional. Pada akhir-akhir ini
doktrin tersebut dijelaskan sebagai energisme, yang mengembalikan segala
sesuatu kepada bentuk energi atau sebagai suatu bentuk dari positivisme yang
memberi tekanan untuk sains dan mengingkari hal-hal seperti ultimate nature of
reality (realitas yang paling tinggi).[6]
4.
Positivisme
Filsafat
Positivisme lahir pada abad ke-19. Titik tolak pemikirannya, apa yang telah
diketahui adalah yang faktual dan yang positif, sehingga metafisika ditolaknya.
Maksud positif adalah segala gejala dan segala yang tampak seperti apa adanya,
sebatas pengalaman-pengalaman objektif.
Positifisme
adalah kelanjutan dari empirisme. Kalau empirisme lebih menekankan pada
pengalaman saja dan merendahkan fungsi akal, adapun positivism menggabungkan
keduanya. Bagi positivism, pengalaman perlu untuk mengumpulkan data sebanyak
mungkin agar akal mendapatkan suatu hukum yang bersifat universal. Empirisisme
menerima pengalaman subyektif, sedangakan positivism terbatas pada pengalaman
yang obyektif saja.
Positivisme,
kata asalnya adalah “Positif”, berarti yang diketahui, yang factual, dan yang
positif. Segala uraian yang di luar fakta atau kenyataan dikesampingkan. Apa
yang diketahui secara positif adalah segala yang tampak dan yang dapat diukur.
Positivisme memandang agama sebagai gejala perdebatan manusia yang primitif.
August Comte, tokoh positivisme, membagi sejarah umat manusia atas tiga paham.
Pertama, tahap teologis, yaitu manusia masih terpaku pada hakikat batin segala
sesuatu, sebab pertama dan tujuan terakhir. Kedua, tahap metafisika, yaitu
perubahan bentuk saja dari zaman teologis. Kekuatan-kekuatan adikodrati yang
berupa dewa diganti dengan kekuatan yang abstrak lewat proses generalisasi.
Ketiga, tahap positif, yaitu ketika orang sadar bahwa tidak ada gunanya untuk
berusaha mencapai pengenalan, baik teologis maupun metafisis.
Dengan
demikian, seorang positivis membatasi dunia pada hal-hal yang bisa dilihat,
yang bisa diukur dan yang bisa dibuktikan kebenarannya. Suatu pernyataan
dianggap benar olehpositivisme apabila pernyataan itu sesuai dengan fakta.[7]
5.
Freudianisme
Istilah
Freudianisme mungkin tidak lazim digunakan dibandingkan dengan Marxisme.
Marxisme lebih lazim digunakan karena marxisme di samping merupakan ideologi
juga merupakan paham. Freudianisme bukan
merupakan sebuah ideologi, tetapi lebih mendekati suatu paham atau aliran.
Istilah freudianisme tidak sepopuler Marxisme. Freudianisme merupakan kata yang
menunjukan kepada pemikiran Sigmund Freud yang berpengaruh terhadap agama,
terutama tinjauannya dari aspek psikologi.
Menurut
Sigmund Freud, kepercayaan keagamaan itu tidak ada dasarnya sebab kepercayan
tersebut dapat diterangkan dari segi psikologi. Hal-hal yang merupakan dogma
dalam agama bukan hasil pengalaman atau hasil pemikiran, tetapi hasil ilusi,
yaitu realisasi dari kemauan manusia yang tertua, terkuat dan paling
mendorong. Agama menurut Frued, mengajarkan
bahwa alam diciptakan oleh pencipta yang mirip manusia, tetapi lebih agung dan
berkuasa dalam beberapa hal.
Fungsi
lain dari agama, menurut freud, adalah ajaran moral yang dapat juga dihubungkan
dengan masa kanak-kanak. Bapak selalu menjaga anak dari bahaya dan
mengajarkannya apa yang boleh dan tidak boleh. Orang beragama menurut frued,
tidak ubahnya seperti anak kecil yang perlu bimbingan. Tuhan menjalankan dunia
dengan memberikan aturan-aturan, pahala dan dosa. Kebahagiaan seseorang dalam
agama tergantung pada penyempurnaan aturan-aturan tersebut agar selalu dicintai
Tuhan. Dalam kecintaan yang demikian, dia merasa aman dan tenang, sebagaimana
waktu dia masih anak-anak.
Sebagaimana Feurebach dan Marx, Freud
menginginkan manusia kembali pada kesejatian dirinya, yaituu dengan
menginggalkan ilusi dan ketergantungan kepada Tuhan. Manusia dewasa, demikian
Freud adalah yang tidak lagi membutuhkan bapak sebagai pelindung. Dia sudah
bisa mandiri dan bertindak serta berpikir bebas. Seandainya manusia dewasa
masih tergantung kepada agama, maka dia kembali menjadi anak-anak.
Dari
penjelasan Freud di atas ada beberapa hal yang perlu dikoreksi. Pertama, Freud
menganalogikan Tuhan sebagai pencipta alam dengan bapak dan ibu sebagai
pencipta seorang anak. Bapakyang di duniajelas tidak bi8sa disamakan dengan
Tuhan sebagai pencipta. Dari segi struktur zat saja sudah jauh berbeda. Bapak
di dunia terdiri atas sel-sel, bentuk dan materi, sedangkan bappak pecipta alam
tidak terdiri dari materi dan bentuk.
Kedua,
wawasan Freud tentang Tuhan hanya terbatas pada agama Kristen, sebab ada Tuhan
yang fungsinya tidak sebagaimana digambarkan oleh Freud, sebagai pencipta,
pelindung, berkuasa, dan sebagainya. Tapi, ada paham yang mengatakan bahwa
Tuhan hanya sebab alam kemudian Dia tidak ada lagi berhubungan dengan alam, sebagaimana
yang terdapat dalam paham deistik. Jika dianalogikan Tuhan deisme dengan bapak
dalam konsep Freud, jelas kacau secara logika. Plato juga mengatakan bahwa
Tuhan itu semacam idea yang tertinggi dan merupakan konsekuensi logis dari realitas yang banyak.
Ketiga,
adalah suatu kesalahan jika Freud mengira Tuhan itu zat yang diinginkan manusia
adaya. Memang benar ada orang yang diinginkan manusia adanya. Memang benar ada
orang yang mempunyai pengalaman keagamaan sesuai dengan keinginannya, tetapi
tidak benar bahwa pengalaman keagamaan semacam itu bersifat umum. Freud
mengatakan bahwa semua permintaan atau doa ditujukan untukkepentingan berdoa.
Jika pernyataan itu benar, bagaimana halnya dengan penganut teisme yang
mengorbankan dirinya (mati syahiid dalam Islam) demi mencari keridaaan Tuhan.
Lagi pula kalau mau menggali kehidupan para sufi, tentu Freud akan mendapatkan
bahwa para sufi itu tidak melihat Tuhan sebagai tempat bersatu dan
berdekat-dekatan. Balasan surga dan neraka bagi sufi tidak ada gunanya. Yang
diharapkannya adalah kerelaan Tuhan dan kesadaran yang menyatu dengan Nya.
Keempat,
Freud mengkritik orang beragama karena agama karena agama menyebabkannya
menderita gangguan kejiwaan (neurosis). Kritikan ini dibantah oleh Ignace Lepp.
Latar
belakang argumen ateisme dan teisme jelas berbeda. Ateisme bertitik tolak dari
kenyataan empiris masyarakat di Eropa abad ke 18 dan ke 19 yang secara
sosiologis banyak tertipu oleh tokoh agama. Adapun teisme berdasarkan pada
kemestian logis, yaitu mustahil sesuatu disebabkan oleh dirinya sendiri.
Implikasi dan pola kedua paham itu jauh berbeda. Ateisme mengatakan bahwa
manusia tidak perlu terikat kepada hal-hal yang supernatural, tetapi harus
terikat kepada kemampuan diri sendiri. Diri sendirilah yang menentukan nasib,
bukan kekuatan dari luar. Sebaliknya, teisme berpendapat bahwa manusia terikat
dengan kekuatan supernatural dan tidak bebas menentukan nasib sendiri. Sebab,
manusia tidak bebas untuk hidup terus dan banyak keinginannya yang tidak dapat
direalisasikan. Semuanya itu, menurut pandangan teisme, adalah bukti bahwa
manusia tidak mampu menentukan nasib sendiri.
Di
samping itu, Teisme juga mendasari argumennya ppada keterbatasan manusia. Salah
satu argumen Teisme adalah manusia tidak mampu mengetahui semua realitas ini,
ddan realitas ini sangat kompleks dan serba teratur. Keteratura dan
keterbatasan itu mendorong manusia berpikir tentang alam, termasuk manusia.
Kalau kemampuan manusia terbatas, demikian teisme, tentu ada sesuatu yang tidak
terbatas yang merupakan zat yang menciptakan alam ini. Zat pencipta tentu maha
sempurna, tidak terbatas, dan maha kuat.
Dala
ateisme pengetahuan manusia terbatas pada hal-hal yang bersifat materi dan
tidak mengakui realitas di luar materi. Adapun, dalam teisme pengetahuan
manusia tidak hanya tentang materi, tetapi melebihii materi, seperti Pencipta
dan Pengatur alam. Jadi, bedanya, ateisme memandang realitas hanya sebatas
materi, sedangkan teisme melihat relitas tidak saja sebatas matei, tetapi ada
realitas yang nonmatei.
Karena
argumen hanya mampu memuaskan akal, sedangkan keyakinan kepada Tuhan tidak
hanya bersifat logis dan rasional saja, maka faktor emosional dan ppengalaman
religius harus diikutsertakan sebagai salah satu faktor dominan keberagamaan
seseorang. Kalau perdebatan tentang eksistensi Tuhan dan ajaran agama yang lain
dijadikan sebagai suatu perdebatan logika saja, persoalan agama tidaka akan
pernah tuuntas. Oleh karena itu, alternatif yang terbaik bagi orang yang
beragama adalah keyakinan dan ditambah dengan argumen yang kuat. Keyakinan
ditambah dengan pengalaman religius dan diperkuat dengan argumen rasional. Iman
yang berasla dari wahyu untuk diri sendiri, sedangkan argumen rasional,
disamping untuk memperkuat keyakinan juga untuk menangkis serangan dari
berbagai pihak.[8]
C.
Penutup
Kesimpulan
Skeptisisme
merupakan sebuah keragu-raguan seseorang terhadap agama. Skeptisisme merupakan
dampak bagi masyarakat modern, yang mana mereka selalu ingin mencari-cari bukti
adanya Tuhan. Manusia modern selalu ingin mengkorelasikan antara bukti nyata
yang ada di alam dengan Tuhan. Adapun perjalanan ke permulaan modernisasi; tahap-tahap
dari manusia yang percaya dengan adanya Tuhan menjadi skeptis adalah bermula dari
perubahan dari paradigma teosentris ke paradigma antroposentris.
Modernitas dalam arti melalui rasionalisme dan masa pencerahan yang
akhirnya disusul oleh penolakan terhadap ketuhanan atas nama kemajuan yang
sendiri dikaitkan dengan kemenangan pandangan dunia ilmiah. Diantara yang
termasuk kategori dari skeptisisme yaitu meliputi:
-
Naturalisme:
yaitu keragu-ragan tentang adanya Tuhan karena mereka mencari korelasi antara Tuhan
dengan teori ilmiah.
-
Materialisme:
yaitu keragu-raguan tentang adanya Tuhan yang mana dicari-cari bukti tentang
adanya Tuhan melalui materi (fisik) yang ada di alam.
-
Positivisme:
yaitu keragu-raguan tentang adanya Tuhan karena menurut kaum ini sesuatu yang
benar adalah sesuatu yang tampak dan yang dapat diukur saja.
-
Freudenisme:
yaitu keragu-raguan yang dilontarkan oleh Sigmun Freud. Sigmun Freud menyatakan
bahwa beragama itu hanya akan menjadikan manusia menjadi manusia tidak mandiri,
yang selalu bergantung pada kemampuan dari luar dirinya.
DAFTAR
PUSTAKA
-
Bachtiar, Amsal.,
Filsafat
Agama, (Jakarta: 2012, RajaGrafindo persada), cet. 3
-
Hardiman,
F. Budi., Filsafat modern: dari Machiavelli sampai Nietzsche, (Jakarta,
2004, Gramedia Pustaka)
-
Petters,
Ted., B. Gaymon, Menjembatani Sains dan Agama, (Jakarta: BPK Gunung
Mulia)
-
Rasjidi,
Filsafat Agama, (Djakarta: 1965, Pemandangan)
-
Suseno,
Frans Magnis., Menalar Tuhan, (Jakarta: 2006, Kanisius)
-
Hakiem,
Ichwan., Aliran Skeptisisme, diakses pada 24 September 2014, dari http://elmuzer.blogspot.com/2013/07/masisir-bersiap-sambut-pemilu-raya.html
[1]
Ted Petters, Gaymon B., Menjembatani Sains dan Agama, (Jakarta: BPK
Gunung Mulia), h. 47
[2]
Ichwan Hakiem, Aliran
Skeptisisme, diakses pada 24 September 2014, dari http://elmuzer.blogspot.com/2013/07/masisir-bersiap-sambut-pemilu-raya.html
[3]
Frans Magnis Suseno, Menalar Tuhan, (Jakarta: 2006, Kanisius), h. 44-45
[4]
F. Budi Hardiman, Filsafat modern: dari Machiavelli sampai Nietzsche,
(Jakarta, 2004, Gramedia Pustaka), h. 92
[5]
Amsal Bachtiar, Filsafat
Agama, (Jakarta, RajaGrafindo persada, 2012), cet. 3, h. 137-145
[6]
Amsal Bachtiar, Filsafat
Agama, (Jakarta, RajaGrafindo persada, 2012), cet. 3, h. 118-128
[7]
Amsal Bachtiar, Filsafat
Agama, (Jakarta, RajaGrafindo persada, 2012), cet. 3, h. 114-118
[8]
Amsal Bachtiar, Filsafat
Agama, (Jakarta, RajaGrafindo persada, 2012), cet. 3, h. 129-135
0 komentar:
Posting Komentar