Jumat, 24 Oktober 2014

Teori Ibnu Sina tentang Alam



           Pendahuluan
Ibnu Sina adalah seorang filosof muslim yang dikenal dari masa ke masa. Karena karya-karya nya yang begitu banyak dan luar biasa yang digunakan oleh beberapa kaum intelektual di Barat dan Timur. Ibnu Sina sejak muda telah menguasai beberapa disiplin ilmu seperti matematika, logika, fisika, kedokteran, astronomi, hukum, dan lain-lainnya, bahkan sejak usia sepuluh tahun ia telah hafal al Qur’an.
Ibnu Sina secara tidak langsung berguru pada al Farabi. Hal ini terjadi ketika ia kesulitan untuk memahami metafisika Aristoteles, sekalipun telah ia baca 40 kali dan hampir hafal diluar kepala. Akhirnya, ia tertolong berkat bantuan risalah kecil al Farabi. Ini berarti bahwa Ibnu Sina adalah pewaris filsafat Neoplatonisme Islam yang dikembangkan oleh al Farabi. Dengan istilah lain, Ibnu Sina adalah pelanjut dan pengembang filsafat Yunani yang sebelumnya telah dirintis al Farabi dan dibukakan pintu oleh al Kindi. [1]
Diantara karya tulis Ibnu Sina ialah:
1.      Al Syifa. Berisikan uraian tentang filsafat yang terdiri atas empat bagian: keTuhanan, fisika, matematika, dan logika
2.      Al Najat: berisikan keringkasan dari kitab al Syifa. Karya tulis ini ditujukannya khusus untuk kelompok terpelajar yang ingin mengetahui dasar-dasar ilmu hikmah secara lengkap.
3.      Al Qanun fi al Thibb: berisikan ilmu kedokteran yang terbagi atas lima kitab dalam berbagai ilmu dan berjenis-jenis penyakit dan lain-lainnya
4.      Al Isyarat wa al Tanbihat: isinya mengandung uraian tentang logika dan hikmah.[2]
      Pembahasan
1.      Riwayat Ibnu Sina
Ibnu Sina dilahirkan di Asyfana dekat Bukhara pada tahun 980 M dan meninggal dunia pada tahun 1037 M dalam usia 58 tahun. Dan dikebumikan di Hamadzan.[3] Ibnu Sina menunjukkan prestasi yang luar biasa. Ia telah khatam al qur’an dan sebagian sastra arab pada usia sepuluh tahun.[4]
2.      Alam menurut Ibnu Sina (Teori Emanasi)
Ibnu Sina dan Al Farabi menemui kesulitan dalam menjelaskan bagaimana terjadinya yang banyak yang bersifat materi (alam) dari Yang Esa, jauh dari arti banyak, jauh dari materi, Mahasempurna, dan tidak berkehendak apa pun (Allah). Untuk memecahkan masalah ini, ia mengemukakan penciptaan secara emanasi. Filsafat emanasi berasal dari Plotinus yang menyatakan bahwa alam ini terjadi karena pancaran dari Yang Esa. Kemudain, filsafat Plotinus yang berprinsip bahwa dari yang satu hanya satu yang melimpah. Ini diislamkan oleh Ibnu Sina dan al Farabi bahwa Allah menciptakan alam secara emanasi. Hal ini memungkinkan karena dalam al Qur’an tidak ditemukan informasi yang rinci tentang penciptaan alam dari materi  yang sudah ada atau dari tiadanya. Dengan demikian, walaupun prinsip Ibnu Sina dan Plotinus sama, namun hasil dan tujuan berbeda. Oleh karena itu, dapat dikatakan, Yang Esa Plotinus sebagai penyebab yang pasif bergeser menjadi  Allah Pencipta yang aktif. Ia menciptakan alam dari materi yang sudah ada secara pancaran.[5]
Table emanasi Ibnu Sina:
(Subjek) Akal yang ke
Sifat
Allah sebagai Wajib al Wujud menghasilkan
Dirinya sendiri sebagai wajib wujad lighairihi, menghasilkan
Dirinya sendiri mumkin wujud lizhatihi
Keterangan
I
Wajib al wujud
Akal ll
Jiwa l yang menggerakkan
Langit pertama
Masing-masing jiwa berfungsi sebagai penggerak satu planet karena (immateri) tidak bisa langsung menggerakkan jisim (materi),
Ll
Mumkin al wujud
Akal lll
Jiwa ll yang menggerakkan
Bintang-bintang
Lll
Mumkin al wujud
Akal lV
Jiwa lll yang menggerakkan
saturnus
lV
Mumkin al wujud
Akal V
Jiwa IV yang menggerakkan
Yupiter
V
Mumkin al wujud
Akal VI
Jiwa V yang menggerakkan
Mars
VI
Mumkin al wujud
Akal VII
Jiwa VI yang menggerakkan
Matahari
VII
Mumkin al wujud
Akak VIII
Jiwa VII yang menggerakkan
Venus
VIII
Mumkin al wujud
Akal IX
Jiwa VIII yang meggerakkan
Merkuri
IX
Mumkin al wujud
Akal X
Jiwa IX yang menggerakkan
Bulan
X
Mumkin al wujud
--
Jiwa X yang menggerakkan
Bumi, roh, materi pertama yang menjadi dasar dari keempat unsur (udara, api, air, tanah)
Akal X tidak lagi memancarkan akal-akal berikutnya karena kekuatannya sudah lemah.
Akal-akal dan planet-planet dalam emanasi di atas dipancarkan Allah secara hierarkis. Keadaan ini bisa terjadi karena ta’aqul Allah tentang zat Nya sebagai sumber energi dan menghasilkan energi maha dahsyat. Ta’aqul Allah tentang zat Nya adalah ilmu Allah tentang diri Nya dan ilmu itu adalah daya (al qudrat) yang menciptakan segalanya. Agar sesuatu itu tercipta, cukup sesuatu itu diketahui Allah. Dari hasil ta’aqul Allah terhadap zat Nya (energi) itulah di antaranya menjadi akal-akal, jiwa-jiwa, dan yang lainnya memadat menjadi planet-planet.
Emanasi Ibnu Sina juga menghasilkan sepuluh akal dan Sembilan planet. Sembilan akal mengurusi Sembilan planet dan akal ke sepuluh mengurusi bumi. Masing-masing jiwa berfungsi sebagai penggerak satu planet, karena akal (imateri) tidak bisa langsung menggerakkan planet yang bersifat materi. Akal-akal adalah para malaikat, akal pertama adalah malaikat tertinggi dan akal ke sepuluh adalah malaikat Jibril yang bertugas mengatur bumi dan isinya. 
Ibnu Sina memajukan emanasi ini untuk mentauhidkan Allah semutlak-mutlaknya. Oleh karena itu, Allah tidak bisa menciptakan alam yang banyak jumlah unsurnya ini secara langsung. Jika Allah berhubungan langsung dengan alam yang plural ini tentu dalam pemikiran Allah terdapat hal yang plural. Hal ini merusak citra tauhid.
Telah disebutkan bahwa perbedaan yang mendasar antara emanasi Plotinus dengan Ibnu Sina ialah bagi Plotinus ala mini hanya terpancar dari Yang Satu, yang mengesankan Allah tidak pencipta dan tidak aktif. Hal ini ditangkap dari metafora yang ia gunakan bagaikan mentari memancarkan sinarnya. Sementara itu dalam islam, emanasi ini dalam rangka menjelaskan cara Allah menciptakan alam. Karena alam adalah ciptaan Allah, dalam agama Islam termasuk ajaran pokok atau qath’i al dalalah. Dengan kata lain, kekhalikan Allah ini mesti diimani seutuhnya. Orang yang mengingkarinya dapat membawa pada kekafiran. Atas dasar itulah, maka ibarat mentari dengan sinarnya merupakan ibarat mentari dengan sinarnya merupakan ibarat yang menyesatkan.
Sejalan dengan filsafat emanasi, alam ini kadim Karena diciptakan oleh Allah sejak kidam dan azali. Akan tetapi, Ibnu Sina membedakan antara kadimnya Allah dan alam. Perbedaan yang mendasar terletak pada sebab membuat alam terwujud. Keberadaan alam tidak didahului oleh zaman, maka alam kadim dari segi zaman (taqaddum zamany). Adapun dari segi esensi, sebagai hasil ciptaan Allah secara pancaran, ala mini baharu (hudus zaty). Sementara itu, Allah adalah taqaddum zaty, Ia sebab semua yang ada dan Ia Pencipta alam.  Jadi, alam ini baru dan kadim, baru dari segi esensi dan kadim dari segi zaman.[6]
3.      Teori Ibnu Sina tentang Jiwa
Jiwa manusia sebagai jiwa-jiwa lain dan segala apa yang terdapat dibawah rembulan, memancar dari akal sepuluh. Secara garis besarnya pembahasan Ibnu Sina tentang jiwa terbagi pada dua bagian berikut:
a.       Fisika, membicarakan tentang jiwa tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia.
1.      Jiwa tumbuh-tumbuhan mempunyai tiga daya: makan, tumbuh dan berkembang biak. Jadi, jiwa pada tumbuh-tumbuhan hanya berfungsi untuk makna, tumbuh, dan berkembang biak.[7]
2.      Jiwa binatang mempunyai dua daya: gerak (al mutaharrikat) dan menangkap (al mudrikat). Daya yang terakhir ini terbagi menjadi dua bagian:
a.       Menangkap dari luar dengan panca indera
b.      Menangkap dari dalam dengan indera-indera batin.[8]
3.      Jiwa manusia mempunyai dua daya: praktis dan teoretis. Daya prektis hubungannya dengan jasad, sedangkan daya teoretis hubungannya dengan hal-hal yang abstrak. Daya teoretis ini hubungannya empat tingkatan berikut:
a.       Akal materiil yang semata-mata mempunyai potensi untuk berpikir dan dilatiih walaupun sedikit.
b.      Akal al malakat yang telah mulai dilatih untuk berpikir tentang hal-hal yang abstrak.
c.       Akal aktual yang telah dapat berpikir tentang hal-hal abstrak.
d.      Akal mustafad, yaitu akal yang telah sanggup berpikir tentang hal-hal abstrak tanpa perlu daya upaya. Akal seperti inilah yang dapat berhubungan dan menerima limpahan ilmu pengetahuan dari akal aktif.[9]
b.      Metafisika
1.      Wujud jiwa
Dalam membuktikan adanya jiwa, Ibnu Sina mengemukakan empat dalil berikut.
a.       Dalil alam kejiwaan
Dalil ini didasarkan pada fenomena gerak dan pengetahuan. Gerak terbagi menjadi dua jenis.
1.      Gerak paksaan, yaitu gerakan yang timbul pada suatu benda disebabkan adanya dorongan dari luar
2.      Gerakan tidak paksaan, yaitu gerakan yang terjadi baik yang sesuai dengan hokum alam maupun yang berlawanan. Gerakan yang sesuai dengan hokum alam, seperti batu jatuh dari atas ke bawah. Sementara itu yang berlawanan dengan hokum alam, seperti manusia berjalan dan burung terbang. Padahal menurut berat badannya manusia mesti diam, sedangkan burung seharusnya jatuh ke bumi. Hal ini dapat terjafi karena adanya penggerak khusus yang berbeda dengan unsur jisim. Penggerak ini disebut dengan jiwa.
b.      Konsep aku dan kesatuan fenomena psikologis
Dalil ini oleh Ibnu Sina didasarkan pada hakikat manusia. Jika seseorang membicarakan pribadinya atau mengajak orang lain berbicara, yang dimaksudkan pada hakikatnya adalah jiwanya, bukan jisimnya. Ketika anda berkata, saya akan keluar atau saya akan tidur, maka ketika itu yang dimaksud bukanlah gerak kaki atau memejamkan mata, tetapi hakikatnya adalah jiwa.
c.       Dalil kontinuitas (al istimrar)
Dalil ini didasarkan pada perbandingan jiwa dan jasad. Jasad manusia senantiasa mengalami perubahan dan pergantian. Kulit yang kita pakai sekarang ini tidak sama dengan kulit sepuluh tahun yang lewat karena telah menglami perubahan, seperti mengerut dan berkurang. Demikian pula halnya dengan bagian jasad yang lain, selalu mengalami perubahan. Sementara itu, jiwa bersifat kontinu, tidak mengalami perubahan dan pergantian. Jiwa yang kita pakai sekarang adalah jiwa sejak lahir juga dan akan berlangsung selama umur tanpa mengalami perubahan. Oleh karena itu, jiwa berbeda dengan jasad.
d.      Dalil manusia terbang atau manusia melayang di udara
Dalil ini dasarnya adalah khayalan.
Diandaikan ada seorang tercipta sekali jadi dan mempunyai wujud yang sempurna. Kemudian diletakkan di udara dengan mata tertutup. Ia tidak melihat apapun. Anggota jasadnya dipisah-pisahkan sehingga ia tidak merasakan apa-apa. Dengan kondisi demikian, ia tetap yakin bahwa dirinya ada. Di saat itu ia mengkhayalkan adanya tangan, kaki, dan organ jasad lainnya, tetapi semua organ jasad tersebut ia khayalkan bukan bagian dari dirinya. Dengan demikian berarti penetapan tentang wujud dirinya bukan hal dari indra dan jasmaninya, melainkan dari sumber lain yang berbeda dengan jasad, yakni jiwa.[10]
2.      Hakekat jiwa
Ibnu Sina mendefinisikan jiwa dengan jauhar rohani. Definisi ini mengisyaratkan bahwa jiwa merupakan subsatansi rohani, tidak tersusun dari materi-materi sebagaimana jasad.  Kesatuan antara keduanya bersifat accident, hancurnya jasad tidak membawa pada hancurnya jiwa (roh). Pendapat ini lebih dekat pada Plato yang mengatakan bahwa jiwa adalah substansi yang berdiri sendiri. [11]
3.      Hubungan jiwa dengan jasad
Ibnu Sina mengatakan bahwa adanya hubungan yang erat antara jiwa dan jasad. Jasad adalah tempat bagi jiwa, adanya jasad merupakan syarat mutlak terciptanya jiwa.  Dengan kata lain, jiwa tidak akan diciptakan tanpa adanya jasad yang akan ditempatinya. Jika tidak demikian, tentu akan terjadi adanya jiwa tanpoa jasad atau adanya satu jasad ditempati beberapa jiwa. [12]
4.      Kekekalan jiwa
Menurut Ibnu Sina jiwa manusia berbeda dengan tumbuhan dan hewan yang hancur dengan hancurnya jasad. Jiwa manusia akan kekal dalam bentuk individual, yang akan menerima pembalasan di akhirat. Akan tetapi kekalnya ini dikekalkan Allah. Jadi jiwa adalah baru karena diciptakan (punya awal) dan kekal (tidak punya akhir).
Dalam menetapkan kekalnya jiwa, Ibnu Sina mengemukakan tiga dalil berikut:
a.       Dalil al infishal, yaitu perpaduan antara jiwa dan jasad bersifat aksiden, masing-masing unsur mempunyai substansi tersendiri, yang berbeda antara satu dan lainnya. Karenanya, jiwa kekal walaupun jasad binasa. Sementara itu, jiwa tidak dapat hidup tanpa adanya jiwa.
b.      Dalil al basathat, yaitu jiwa adalah jauhar rohani yang hidup selalu dan tidak mengenal mati. Pasalnya, hidup merupakan sifat bagi jiwa, dan mustahil bersifat dengan lawannya, yakni fana dan mati. Karenanya jiwa dinamakan juga dengan jauhar basith (hidup selalu).
c.       Dalil al musyabahat, dalil ini bersifat metafisika. Jiwa manusia, sesuai dengan filsafat emanasi, bersumber dari Akal Fa’al (akal sepuluh) sebagai pemberi segala bentuk. Karena akal sepuluh ini merupakan esensi yang berpikir, azali, dan kekal, maka jiwa sebagai ma’lul (akibat) nya akan kekal sebagaimana illat (sebab) nya.
Ibnu Sina mengatakan bahwa yang dibangkitkan di kahirat nanti hanya rohnya. Pembalasan di akhirat hanya disediakan untuk roh semata, sedangkan jasad akan lenyap seperti jasad tumbuhan dan hewan. Padahal, manusia ynag diberi beban oleh agama adalah manusia yang tersusun dari jasad akan lenyap seperti jasad tumbuhan dan hewan. Sebenarnya terjadinya perbedaan interpretasi tentang hal ini disebabkan berbedanya pemahaman ajaran dasar dalam islam yang tidak akan membawa pada kekafiran.[13]
4.      Ketuhanan
Ibnu Sina dalam membuktikan adanya Tuhan dengan dalil wajib al wujud dan mumkin al wujud. Dalam filsafat wujud nya, bahwa segala yang ada ia bagi dalam tiga tingkatan:
a.       Wajib al wujud, esensi yang mesti mempunyai wujud.
Di sini esensi tidak dapat dipisahkan dari wujud, keduanya adalah sama dan satu. Esensi ini wajib dan mesti berwujud selama-lamanya.
b.      Mumkin al wujud, esensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak berwujud.
Mumkin al wujud ini jika dilihat dari segi esensi nya, tidak mesti ada dan tidak mesti tidak ada karenanya ia disebut dengan mumkin al wujud bi dzatihi. Ia pun dapat pula dilihat dari sisi lainnya sehingga disebut mumkin al wujud bi dzatihi dan wajib al wujud bi ghairihi. Jenis mumkin mencakup semua yang ada selain Allah.
c.       Mumtani’ al wujud, esensi yang tidak dapat mempunyai wujud. Seperti adanya sekarang ini kosmos lain di sampind kosmos yang ada.
Tentng sifat-sofat Allah, Ibnu Sina juga menyucikan Allah dari segala sifat yang dikaitkan dengan esensi Nya Karen Allah Maha Esa dan Mahasempurna. Ia adalah tunggal, tidak terdiri dari bagian-bagian. Jika sifat Allah dipisahkan dari zat Nya, tentu akan membawa zat Allah menjadi pluralitas (ta’adud al qudama).
Ibnu Sina juga berpendapat bahwa ilmu Allah hanya mengetahui yang universal di alam dan Ia tidak mengetahui yang parsial. Ini dimaksudkan Ibnu Sina bahwa Allah mengetahui Allah mengetahui yang parsial di alam ini secara tidak langsung, yakni melalui zat Nya sebagai sebab adanya alam. Dengan istilah lain, pengetahuan Allah tentang yang parsial melalui sebab akibat yang terakhir pada sebab pertama, yakni zat Allah. Dari pendapatnya ini, Ibnu Sina berusaha mengesakan A llah semutlak-mutlaknya dan ia juga memelihara kesempurnaan Allah. Jika tidak demikian, tentu ilmu Allah yang Mahasempurna akan sama dengan sifat ilmu manusia, bertambhanya ilmu membawa perubahan pada esensi manusia.[14]
5.      Al Tawfiq (Rekonsiliasi) antara Agama dengan filsafat
Menurutnya, nabi dan filosof menerima kebenaran dari sumber yang sama, yakni Malaikat Jibril yang juga disebut Akal kesepuluh atau akal aktif. Perbedaannya pada cara memperolehnya, bagi nabi terjadinya hubungan dengan Malaikat Jibril melalui akal materiil yang disebut hads (kekuatan, suci, qudsiyyat), sedangkan filosof melalui akal mustafad. Nabi memperoleh akal materiil yang dayanya lebih kuat daripada akal mustafad sebagai anugrah Tuhan kepada orang pilihan Nya. Sementara itu, filosof memperoleh akal mustafad yang daya nya jauh kebih rendah daripada akal materiil melalui latihan berat. Pengetahuan yang diperoleh nabi disebut wahyu, berlainan dengan pengetahuan yang diperoleh filosof hanya dalam bentuk ilham, tetapi antara keduanya tidaklah bertentangan.
Dalam pandangan Ibnu Sina para nabi sangat diperlukan bagi kemaslahatan manusia dan alam semesta. Hal ini disebabkan para nabi dengan mukjizatnya dapat dibenarkan dan diiikuti manusia. Dengan kata lain, kebenaran yang disampaikan nabi benar adanya hari akhirat dan lain-lain, dapat diterima dan dibenarkan manusia, baik secara rasional maupun secara syar’i.[15]



[1] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 93
[2] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, h. 94
[3] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, h. 91
[4]Sudarsono, Filsafat Islam, (Jakarta: 2010, Rineka Cipta), h. 41
[5] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: 2009, Raja Grafindo Persada), h. 220
[6] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, h. 102-104
[7] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, h. 104
[8] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, h. 104-105
[9] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, h. 105-106
[10] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, h. 106-108
[11] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, h. 108-109
[12] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, h. 110
[13] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, h. 110-112
[14] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, h. 97-99
[15] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, h. 95-96